Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

Kepala Desa Berpolitik Praktis Itu Berbahaya

Ketua Umum Assosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia Arifin Abdul Majid menjelaskan apa yang dia persoalkan dari kegiatan silaturahmi nasional yang mengusung isu Jokowi 3 periode. 

16 April 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ketua Umum DPP APDESI 2021-2026, Arifin Abdul Majid, di Bandung, Jawa Barat, 15 April 2022/TEMPO/Prima mulia

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Ternyata ada dua organisasi pemerintahan desa yang namanya sama-sama Apdesi.

  • Ada yel-yel dukungan preisden tiga periode di acara Apdesi pimpinan Surtawijaya.

  • Apdesi pimpinan Arifin Abdul Majid memprotesnya.

SILATURAHMI nasional yang diselenggarakan oleh Dewan Pimpinan Pusat Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (Apdesi) pada Selasa, 29 Maret lalu, memicu kehebohan. Peserta tidak hanya menyampaikan aspirasinya sebagai aparat pemerintah dan kepala desa kepada Presiden Jokowi, tapi juga muncul yel-yel dukungan terhadap Jokowi 3 periode.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kabar bahwa Apdesi mendukung perpanjangan masa jabatan presiden ini mengusik Arifin Abdul Majid, Ketua Umum Assosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia, organisasi lain yang juga disingkat Apdesi. “Kepala desa dan aparat desa itu punya aturan main. Di Undang-Undang Desa, kepala desa tidak boleh atau dilarang keras untuk berpolitik. Contoh berpolitik itu seperti mendukung calon bupati atau calon anggota legislatif. Itu kan sebenarnya bukan ranahnya,” katanya kepada wartawan Tempo, Abdul Manan, pada Sabtu, 9 April lalu, di kantornya di Jakarta.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nama kedua organisasi itu mirip tapi kelembagaannya berbeda. Apdesi yang menyelenggarakan silaturahmi nasional itu dipimpin Surtawijaya dan berbentuk organisasi kemasyarakatan yang terdaftar di Kesatuan Bangsa dan Politik Kementerian Dalam Negeri. Adapun Apdesi pimpinan Arifin adalah organisasi berbadan hukum yang disahkan oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Nama keduanya juga beda tipis: Apdesi Arifin menggunakan kata “assosiasi”, sedangkan Apdesi Surtawijaya memakai “asosiasi”.

Arifin memprotes pemakaian nama itu dan berencana menempuh jalur hukum untuk menyelesaikannya. Alasannya, dukungan terhadap presiden tiga periode tersebut mengesankan aparat desa berpolitik praktis. Dalam wawancara sekitar 1,5 jam, Arifin menjelaskan dampak buruk jika aparat desa berpolitik dan masalah pemilihan kepala desa yang sarat politik uang.

Kapan Anda mendengar ihwal acara silaturahmi nasional itu?

Ada undangan kepada anggota kami. Ada pertanyaan kepada saya dan juga sekretaris jenderal, “Ini kok bukan Arifin yang mengundang tapi pakai nama Apdesi?” Lalu kami bikin klarifikasi berupa surat edaran ke kementerian bahwa itu bukan kegiatan kami.

Ada anggota Anda yang ikut?

Ada. (Mereka) enggak dilarang (datang). Saat ada teriakan tiga periode, kecewa dia. Saya sampaikan ke teman-teman bahwa itu bukan Apdesi kami. Kalau kalian mau ke sana, silakan.

(Ada sejumlah organisasi yang menaungi kepala desa dan aparat pemerintah desa. Selain dua Apdesi, ada Parade Nusantara, Asosiasi Kepala Desa, dan Forum Kepala Desa. Apdesi pimpinan Arifin mengklaim memiliki anggota sekitar 25 ribu kepala desa dan aparat pemerintah desa. Apdesi Surtawijaya mengklaim anggotanya sebanyak 74.961 kepala desa.)

Apa agendanya dalam undangan itu?

Agendanya penyampaian aspirasi. Antara lain ingin bentuk laporan pertanggungjawaban dipermudah dan cap stempelnya ingin berupa lambang garuda. Ada juga permintaan dana operasional kepala desa dari dana desa. Tapi kami tidak ada firasat akan ada yel-yel itu. Kami kan juga tidak tahu. Tahunya setelah ada klarifikasi dari media, “Kok Apdesi mendukung tiga periode?”.

Apa dampak dukungan terhadap presiden tiga periode itu?

Seolah-olah Apdesi tidak taat konstitusi atau ikut berpolitik.

Apakah sebelumnya Anda pernah dihubungi tokoh atau pejabat supaya mendukung perpanjangan masa jabatan presiden?

Enggak pernah. Kepada saya tidak ada komunikasi.

Kepada pengurus lain?

Sementara ini tidak ada. Tidak ada yang datang, baik telepon maupun bertemu tatap maka mengajak penggiringan itu. Kalaupun ada, kami akan berpikir dua kali dan tidak mau terjebak kepentingan politik praktis, meskipun itu hak warga negara. Warga negara berhak untuk mengeluarkan pendapat, tapi kan ada rambu-rambunya. Polisi, misalnya, apakah boleh anggota dan keluarganya mendukung calon presiden? Kan tidak boleh. Kepala desa sama. Secara harfiah mereka tidak diperkenankan karena kepala desa dan perangkat desa itu penyelenggara pemerintah terdepan di Indonesia. Kalau mereka diperbolehkan mengeluarkan pendapat atau memberikan dukungan politik praktis, bahaya.

Apa bahayanya kalau pemerintah desa berpolitik?

Karena langsung bersentuhan dengan warganya. Beda dengan bupati, wali kota, gubernur, atau presiden yang didukung kekuatan partai politik. Kalau kepala desa kan tidak. Mereka mewakili dirinya, mewakili ketokohan di desa. Kalau bupati, wali kota, gubernur, dan presiden mencalonkan diri kan harus atas dukungan partai. Kampanye kepada masyarakat pasti bawa partai. Tapi, kalau kepala desa, celaka kalau bawa partai. Bisa terjadi pengeblokan.

Dulu kan pernah sekelompok aparat desa minta diberi hak berpolitik. Setahu saya ditolak oleh Mahkamah Konstitusi. Kalau kepala desa menjadi calon anggota legislatif, menjadi ketua partai tingkat desa, atau kecamatan, tidak boleh, karena takut kepala desa itu akan mengotak-ngotakkan masyarakatnya. Kan bahaya. Nanti bisa-bisa ada warga tidak diberi bantuan karena berbeda partai. Karena bersentuhan langsung dengan konstituen. Kalau bertemu bupati, wali kota, atau gubernur malam-malam belum tentu bisa diterima. Kalau kepala desa, jam berapa saja bebas. Itu yang membedakan. Penyelenggaraan pemerintahan ada pemerintah pusat, daerah, dan desa. Hanya desa yang dibatasi dalam konteks politik praktis.

Kami juga tidak berani tidak mendukung pemerintah. Justru saya secara tidak langsung mendukung pemerintah. Jangan menjebak pemerintah atau presiden dengan dukungan itu. Kan belum tentu bagus. Nanti bisa jadi bumerang bagi presiden, seolah-olah presiden menggiring. Kan bahaya. Belum tentu presiden meminta begitu. Mungkin presiden terjebak kemarin. Setelah yel-yel itu, setelah selesai acara, juga keluar informasi bahwa setelah Lebaran akan ada deklarasi dukungan tiga periode.

(Ketua Umum DPP Apdesi Surtawijaya menjelaskan, agenda silaturahmi nasional itu menyampaikan sejumlah aspirasi kepala desa, seperti meminta kenaikan gaji minimal sesuai dengan golongan 3B atau 3C yang nilainya bisa di atas Rp 5 juta, meminta kenaikan dana desa, adanya dana operasional desa, dan stempel memakai logo garuda. “Saat Presiden Jokowi berfoto bersama para kepala desa, di situ ada teriakan secara pribadi, ‘lanjutkan’, ‘tiga periode’,” katanya.

Surtawijaya menegaskan bahwa kegiatan itu murni inisiatif lembaga, tidak ada dorongan dari para menteri kabinet yang menjadi pembina organisasinya. Ia juga mengaku tidak pernah mendapat perintah dari Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan atau Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian untuk menyelenggarakan kegiatan silaturahmi nasional itu. Dia juga mengaku tidak pernah mengatakan akan ada deklarasi dukungan perpanjangan masa jabatan presiden yang akan dilakukan setelah Lebaran seperti kabar yang beredar.)

Bagaimana Anda menjelaskan tudingan Apdesi telah berpolitik?

Di Kalimantan Utara, saya bertanya kepada kepala desa di sana. “Bapak dengerin ada aspirasi itu di Jakarta? Mau ikut juga? Jangan. Itu bukan ranah kepala desa. Kalau aspirasi di luar itu kita dukung.” Mereka rata-rata sudah paham mana yang boleh, mana yang tidak boleh.

Ya, saya sampaikan itu bukan Apdesi kami. Di salah satu kantor dinas di sana, ada yang bertanya apakah (kami) ini Apdesi yang mendukung tiga periode? Ini bukan propaganda yang baik, bukan. Kami cuma mau klarifikasi nama Apdesi karena itu jadi bumerang bagi pengurus di daerah, termasuk kepala desanya. Saat menghadiri pelantikan Apdesi di Tanah Laut, sekretaris desa menanyakan juga tentang itu. Sewaktu memberikan sambutan, saya memberikan klarifikasi. Sewaktu saya di Kalimantan Selatan juga ditanya hal yang sama. Takutnya kami datang ke sana dikira mempromosikan hal itu.

Bagaimana rencana Anda untuk menempuh upaya hukum mengenai nama organisasi yang mirip ini?

Kami lagi berkompromi dengan teman-teman. Upaya hukumnya akan dikaji kembali karena ini sama-sama organisasi yang menaungi kepala desa. Jangan sampai di antara kita makin memanas. Harapan saya, tolong mereka mengkaji kembali agar jangan bentrok namanya. Kalau mereka tidak memakai nama Adpesi, kan enak. Imbasnya kepada anggota. Apalagi dulu sampai Ketua Umum Apdesi pernah mendukung calon presiden pada Pemilihan Umum 2014. Apdesi pecah dari situ. Kalau sekarang terjadi lagi penggiringan ke situ, sudah jelas akan menjadi konflik kedua.

(Surtawijaya tidak mempersoalkan kemiripan nama. “Yang penting punya program dan menyampaikan aspirasi kepala desa ke pemerintah pusat sehingga ada perjuangan yang jelas,” kata Kepala Desa Babakan Asem, Kecamatan Teluk Naga, Kabupaten Tangerang, ini.)


Arifin Abdul Majid

Tempat dan tanggal lahir:
Bandung, 16 Agustus 1964

Pendidikan
S-1 Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi Bandung, 2003
S-2 Universitas Winaya Mukti Bandung, 2008

Karier
Organisasi dan Pekerjaan
Kepala Desa Bojong Soa, Kabupaten Bandung, 2000-2008
Ketua Assosiasi Pemerintahan Desa Seluruh Indonesia Bandung, 2000-2005
Ketua Apdesi Jawa Barat, 2003-2013
Sekretaris Jenderal Apdesi, 2005-2021
Ketua Umum Apdesi, 2021-2026


Anda dikontak seseorang seusai memprotes yel-yel dalam acara silaturahmi nasional itu?

Enggak. Saat dialog di sebuah media, ada orang Kantor Staf Presiden di sana. Dalam dialog itu saya memberikan penjelasan.

Apakah ada kontak di luar itu?

Enggak. Cuma kami ditelepon banyak nomor yang tidak ada nama, tapi tidak saya angkat. Ada juga yang mungkin dari orang yang tidak senang. Dua kali.

Apa pesan yang disampaikan penelepon gelap itu?

Dia mengatakan, “Lho, kamu itu anti-pemerintah, ya?”

Dengan jumlah ribuan, aparat desa memang potensial dimanfaatkan untuk kepentingan politik, ya?

Jelas. Di zaman penjajahan Inggris, kepala desa digunakan untuk menarik pajak. Di zaman Belanda, mereka dipakai untuk penggiringan kerja tanam paksa. Di zaman Orde Baru jelas kepala desa harus punya kartu (partai), jadi kordinator apa. Saat reformasi, praktik ini dipangkas. Lalu keluarlah Undang-Undang Pemerintahan Desa, tapi tidak serta-merta terlaksana. Bupati kadang mengundang kepala desa melakukan penggiringan. Ada calon (anggota) Dewan Perwakilan Rakyat datang minta dukungan. Itu bukan cerita, tapi kenyataan.

Apakah ada laporan dari anggota Anda ihwal penggalangan presiden tiga periode?

Kalau langsung ke kami, tidak ada. Di luar itu, kami tidak tahu. Kami tidak pernah mengkondisikan kepada anggota untuk mengikuti kegiatan yang menggiring kepada tiga periode. Kami jelaskan bahwa sekarang tidak akan membahas lagi tiga periode karena kami tidak pernah bahas itu. Kami akan mendukung pemerintah sampai akhir masa jabatan dan kami akan menyukseskan program-program pemerintah sampai ke arus bawah.

Apakah itu artinya mendukung dua periode saja?

Artinya sampai masa akhir jabatan sekarang. Apabila di kemudian hari keluar konstitusi yang menyatakan tiga-empat periode, urusan dukung-mendukung ihwal itu bukan ranah kami. Kalau besok, misalnya, tahu-tahu ada amendemen (konstitusi)—jangan tanggung-tanggung, perpanjangan sampai seumur hidup, misalnya—kami tidak akan ikut mendukung itu karena konteksnya sudah lepas. Tujuannya adalah bagaimana kepala desa jangan sampai terjebak ke ranah politik.

Berikan kebebasan kepada warga negara untuk memilih pemimpin yang terbaik. Tidak boleh jual-beli, tidak boleh propaganda dengan iming-iming hanya untuk mencari suara. Contohnya di (pemilihan) kepala desa. Tanpa dana, tidak bisa jadi kepala desa. Itu harus dihindari. Jangan sampai pemilihan kepala desa mencontoh pemilihan bupati, gubernur, dan presiden yang ikut memberikan iming-iming. Akhirnya calon kepala desa juga rusak. Saya imbau untuk ke depan, dari pemilihan kepala desa sampai presiden, mari kita bersepakat memilih figur yang terbaik, yang benar-benar memajukan negara dan menyejahterakan rakyat.

Persaingan kepala desa kan memang sarat politik uang?

Kadang-kadang ada oknum tim dari salah satu partai yang menggunakan berbagai cara untuk menggalang suara, dengan memancing menggunakan bahan kebutuhan pokok, uang transportasi, dan program macam-macam seperti pelayanan kesehatan. Nah, itu imbasnya ke pemilihan kepala desa. Rakyat juga menuntut yang sama. Sampai konon satu suara bisa dihargai Rp 300-500 ribu dalam pemilihan kepala desa. Makanya mulai 2024 hal itu harus dihindari.

Apa yang bisa dilakukan?

Sosialisasi. Seperti program turunkan stunting, Keluarga Berencana, jangan buang sampah sembarangan, dan kampanye tidak merokok di tempat umum. Dengan slogan semacam itu kan minimal akan mengurangi (politik uang). Bisa dibayangkan jika itu nanti jadinya seperti jual-beli sapi. Jual berapa, beli berapa. Beli sapi Rp 1 juta, masak dijual Rp 1 juta? Kan bahaya sistem politik seperti ini.

Ketua Umum Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (Apdesi) Arifin Abdul Majid saat diwawancarai oleh Tempo di Jakarta, 9 April 2022/TEMPO/Hilman Fathurrahman W

Apa keluhan paling banyak dari aparat pemerintah desa?

Saat berada di Kalimantan Utara dan Kalimantan Selatan pada awal bulan ini, keluhan utama adalah bahwa kepala desa tugasnya hampir 24 jam. Ini yang akan kami kumpulkan secara tertulis. Di antara permintaan mereka adalah gaji atau tunjangan yang lebih layak karena kepala desa pelayan masyarakat yang tanpa batas.

Berapa gaji rata-rata kepala desa dan usul kenaikannya?

Gajinya berkisar Rp 2-3 juta. Kalau ada yang hajatan sebulan tiga atau empat orang, kepala desa minimal mengeluarkan uang Rp 100-200 ribu. Belum lagi kalau ada yang melahirkan, keributan, bencana alam, atau musibah kebakaran. Ada masalah kriminal, itu larinya ke kepala desa. Ini keluhan teman-teman. Usul kenaikannya di atas Rp 5 juta. Di Jawa, sebagian desa punya tanah bengkok. Masih mending ada pemasukan tambahan. Di luar Jawa, murni alias tidak ada tambahan apa-apa.

Aspirasi lain?

Soal persentase penggunaan dana desa. Tahun ini, (persentasenya) masih besar ke bantuan langsung tunai (BLT). Kepala desa merasa keberatan karena pelayanan untuk pembangunan dan kegiatan pemberdayaan lain habis oleh BLT. Keluhan lain ihwal tata kelola keuangan. Setiap desa tidak sama sumber daya manusianya. Mereka ingin bentuk yang lebih sederhana. Menurut kami, ini bisa diatasi dengan peningkatan kapasitas.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Abdul Manan

Abdul Manan

Meliput isu-isu internasional. Meraih Penghargaan Karya Jurnalistik 2009 Dewan Pers-UNESCO kategori Kebebasan Pers, lalu Anugerah Swara Sarasvati Award 2010, mengikuti Kassel Summer School 2010 di Jerman dan International Visitor Leadership Program (IVLP) Amerika Serikat 2015. Lulusan jurnalisme dari kampus Stikosa-AWS Surabaya ini menjabat Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen Indonesia 2017-2021.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus