Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Mahfud Md. menyatakan pemekaran Papua akan dipercepat untuk persiapan Pemilu 2024.
Muncul perlawanan dari masyarakat dan berbagai institusi terhadap rencana pemekaran Papua.
Kelompok pendukung pemerintah mengklaim pemekaran Papua menguntungkan penduduk lokal.
BERTEMU dengan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Md. di ruang kerjanya pada Jumat pagi, 15 April lalu, rombongan Majelis Rakyat Papua kompak meminta pemerintah menunda rencana pemekaran wilayah di Papua. Mereka juga menitipkan surat untuk Presiden Joko Widodo mengenai penundaan pemekaran Papua.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Akan timbul banyak masalah jika pemekaran Papua dipaksakan,” kata Wakil Ketua Majelis Rakyat Papua (MRP) Yoel Luiz Mulait kepada Tempo seusai pertemuan tersebut. Yoel hadir bersama Ketua MRP Timotius Murib dan Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Yoel, dalam pertemuan itu mereka menyampaikan bahwa penambahan tiga provinsi baru di Papua mengabaikan aspirasi orang asli Papua yang menolak gagasan tersebut. MRP meminta rencana itu ditunda setidaknya hingga Mahkamah Konstitusi memutuskan uji materi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2001 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Otonomi Khusus Papua.
Adapun Usman Hamid bercerita, Menteri Mahfud mengakui bahwa pemecahan wilayah akan menimbulkan gejolak di Papua. Meski begitu, Mahfud menyatakan pembentukan tiga provinsi baru, yaitu Papua Tengah, Papua Pegunungan Tengah, dan Papua Selatan, perlu dipercepat agar daerah baru itu siap menggelar Pemilihan Umum 2024.
“Kami makin yakin pemekaran ini untuk kepentingan elite politik, bukan untuk rakyat Papua,” ujar Usman.
Kepada Tempo pada Sabtu, 16 April lalu, Mahfud membenarkan adanya pertemuan tersebut. Mengakui sebagian masyarakat Papua menolak pemekaran wilayah, Mahfud tetap mengklaim jumlah pendukung gagasan itu lebih banyak. “Bahkan banyak orang telah menyiapkan panitia deklarasi,” ucapnya. Mahfud juga menyatakan proses pemekaran tetap berjalan tanpa menunggu putusan Mahkamah Konstitusi.
Keputusan MRP mengajukan uji materi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua diambil dalam rapat pleno pada 23 September 2021. Lembaga yang merepresentasikan masyarakat Papua tersebut gusar karena kewenangan mereka dalam pemekaran wilayah di Papua dipangkas melalui revisi aturan itu.
Sebelum aturan itu direvisi, pemecahan wilayah di Papua hanya bisa dilakukan dengan persetujuan MRP dan Dewan Perwakilan Rakyat Papua. Sedangkan undang-undang hasil revisi menambahkan ayat yang menyatakan pemerintah dan DPR bisa memekarkan wilayah Papua. “Sekarang pemekaran tidak lagi satu pintu melalui MRP,” kata Yoel Luiz Mulait.
Majelis Rakyat Papua lantas menunjuk delapan pengacara dari Perhimpunan Advokat Indonesia atau Peradi sebagai kuasa hukum. Hingga kini persidangan di Mahkamah masih pada tahap mendengarkan pendapat tim ahli dari pemerintah.
Menurut Yoel, MRP mempertanyakan gerak kilat DPR dan pemerintah menambah jumlah provinsi di Papua. Pada 9 Maret lalu, Komisi Pemerintahan DPR bertemu dengan sejumlah bupati di Papua untuk membahas rencana tersebut. Adapun tiga rancangan undang-undang yang mengatur pembentukan provinsi baru disetujui dalam rapat paripurna DPR, Selasa, 12 April lalu.
Padahal revisi Undang-Undang Otonomi Khusus masih menimbulkan gejolak di Papua. Banyak orang Papua menolak otonomi khusus Papua dilanjutkan. “Pemerintah pusat seperti tancap gas di tanjakan. Kami masyarakat Papua terperanjat dan makin bergejolak,” ujar Yoel.
Mahasiwa melakukan aksi ksi menolak pemekaran Daerah Otonomi Baru di depan Perumas II Waena, Jayapura, Papua, 8 Maret 2022/ANTARA/Gusti Tanati
Di Papua, gelombang penolakan otonomi khusus dan pemekaran wilayah muncul di berbagai kota sejak Maret lalu. Mahasiswa dan masyarakat Papua menggelar demonstrasi di sejumlah kota. Bermula dari unjuk rasa di Jayapura pada awal Maret, masyarakat di daerah lain, seperti Wamena, Paniai, Yahukimo, dan Nabire, menjalankan aksi serupa.
Unjuk rasa di Papua dibalas dengan tindakan represif aparat. Pada 15 Maret lalu, demonstrasi di Yahukimo berlangsung ricuh. Dua orang meninggal karena tertembak. “Kami sangat menyesalkan tindakan represif itu,” kata Direktur Aliansi Demokrasi Papua Anum Latifah Siregar.
Sedangkan di Wamena, 12 orang ditangkap polisi satu hari sebelum demonstrasi digelar. Menurut Anum, upaya menghalangi masyarakat untuk menyampaikan pendapat terjadi di daerah lain. Dani, pengunjuk rasa di Nabire, bercerita, delapan demonstran ditangkap oleh polisi. “Saat keluar dari tahanan, tubuh mereka memar. Mereka mengaku dipukul saat interogasi,” ujar Dani.
Puncak unjuk rasa terjadi pada 1 April lalu. Demonstrasi digelar serentak di Jayapura, Mimika, Sorong, Kaimana, dan daerah lain di luar Papua, seperti Yogyakarta, Malang (Jawa Timur), dan Denpasar. Aksi itu diinisiasi oleh Petisi Rakyat Papua, lembaga gabungan sejumlah organisasi kemasyarakatan.
Juru bicara Petisi Rakyat Papua, Jefry Wenda, mengatakan aksi itu murni inisiatif masyarakat dan mahasiswa. “Aksi ini menjadi bukti bahwa rakyat Papua menyadari pemekaran akan merugikan mereka,” kata Jefry.
Namun pendukung pemekaran wilayah membantah pernyataan Jefry. Ketua Umum Pemuda Adat Papua Jan Christian Arebo mengklaim pemekaran akan meningkatkan pelayanan pemerintah terhadap orang asli Papua. “Jarak tempat pelayanan pemerintahan ke masyarakat di daerah makin dekat,” ucapnya.
Pemuda Adat Papua dikenal dekat dengan pemerintah daerah dan pusat. Pada 29 Maret lalu, Jan bertemu dengan Kepala Kantor Staf Kepresidenan Moeldoko dan asosiasi bupati wilayah adat Saereri di Hotel Arya Duta, Jakarta. Jan, yang membenarkan adanya pertemuan itu, mengatakan organisasinya menyampaikan dukungan terhadap rencana pemekaran Papua.
Dukungan serupa disampaikan Ketua Barisan Merah Putih Papua Max Abner Ohee. Namun ia membantah ada lobi dari pemerintah. Max pun menyatakan organisasinya selalu mendukung pemerintah Indonesia.
Presiden Persekutuan Gereja-gereja Baptis West Papua Socrates Sofyan Yoman meyakini pemekaran akan menyebabkan perpecahan dan konflik makin runcing di Papua. Ia menduga kebanyakan orang asli Papua yang belum berpendidikan tinggi akan tersingkir. Misalnya dalam pengisian jabatan birokrasi. “Yang mengisi jabatan nanti pasti bukan orang asli Papua,” ujarnya.
Socrates juga meyakini pemekaran wilayah akan menjadi pintu masuk penambahan personel militer di Papua. Padahal selama ini militer dan polisi di Papua dikenal kerap melakukan pelanggaran hak asasi manusia. Socrates menyatakan sikap ngotot pemerintah akan menimbulkan resistansi dari rakyat Papua.
Bukan hanya mahasiswa dan masyarakat Papua yang menolak gagasan pemekaran wilayah. Juru bicara Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat Organisasi Papua Merdeka, Sebby Sambom, mengatakan personel kelompok milisi itu akan ikut melawan rencana pemekaran Papua. “Kami akan melawan lebih keras,” kata Sebby.
BUDIARTI UTAMI PUTRI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo