Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

wawancara

Kami Tak Mendukung Gambut Jadi Lahan Pertanian

Kepala Badan Restorasi Gambut dan Mangrove Hartono menjelaskan upaya dan tantangan dalam merestorasi gambut dan mangrove. Tak mendukung gambut jadi food estate.

20 Agustus 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • BRGM mendapat tambahan tugas merestorasi 1,2 juta lahan gambut.

  • Restorasi gambut dengan sekat kanal juga bisa memicu konflik dengan warga.

  • Rehabilitasi mangrove oleh masyarakat akan difasilitasi masuk skema perhutanan sosial.

KEMENTERIAN Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) belum lama ini merilis data bahwa 83,43 persen atau 20,207 juta hektare dari total 24,667 juta hektare ekosistem gambut rusak. Kementerian menyebutkan hanya 16 persen atau sekitar 4,024 juta hektare lahan yang tidak rusak. Badan Restorasi Gambut dibentuk pemerintah pada 2016 untuk memulihkan lahan gambut yang rusak. Pada 2020, tugas badan ini diperluas dengan menangani bakau atau mangrove dan namanya berubah menjadi Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM).

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BRGM berfokus pada restorasi gambut di sembilan provinsi dan bakau di tujuh provinsi. Badan ini hampir merampungkan semua tugas restorasinya ketika diberi tambahan tugas merestorasi 1,2 juta hektare lahan gambut saat masa kerjanya diperpanjang pada 2020.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kepala BRGM Hartono menyatakan desain besar restorasi mangrove sudah dibuat. "Yang kami rancang, semua rehabilitasi (mangrove) yang dikerjakan masyarakat, terutama di kawasan hutan, nanti akan kami fasilitasi menjadi perhutanan sosial," katanya kepada wartawan Tempo, Abdul Manan dan Dini Pramita, pada Kamis, 18 Agustus lalu.

Dalam perbincangan selama sekitar satu jam, Hartono menjelaskan tantangan yang dihadapi badannya dalam merestorasi dan merehabilitasi gambut dan mangrove serta dampaknya bagi perubahan iklim. Dia juga berbicara tentang rencana pemeliharaan lahan tersebut bila masa tugas BRGM berakhir.

Bagaimana kondisi gambut saat ini?

Dibandingkan dengan 2015, kondisinya jauh lebih baik. Persoalan gambut ini sebetulnya semacam ketelanjuran yang dimanfaatkan. Pada 1990, Presiden Soeharto sudah menyebutkan dalam keputusan presiden bahwa gambut bisa dimanfaatkan, tapi harus hati-hati. Gambut yang dalamnya lebih dari 3 meter harus dilindungi. Kayaknya waktu itu kelupaan bahwa yang sudah diatur di keputusan itu tidak masuk Undang-Undang Konservasi Sumber Daya Alam dan Undang-Undang Kehutanan sehingga teman-teman kehutanan, ketika melepas kawasan hutan, ada yang menjadi kebun, hutan tanaman industri, dan kelupaan bahwa ada gambut, sehingga kebablasan. Sudah telanjur dibuka dan dimanfaatkan.

Wilayah mana yang menjadi tugas BRGM?

Presiden sudah mendapat laporan bahwa daerah yang rawan ada di tujuh provinsi (Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, dan Papua). Ada empat kabupaten prioritas, yaitu Pulau Meranti, Pulang Pisau, Musi Banyuasin, dan Banyuasin. Itu yang selalu kebakaran. Asapnya ke negara tetangga, seperti ke Malaysia. Restorasi yang ditugaskan ke kami lebih ke pemulihan tata air.

Saat itu kriteria gambut rusak belum ada. Kriteria itu adanya di Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut (yang diundangkan pada Desember 2016), sementara kami bekerja di awal Januari 2016. Waktu itu kami pilih gambut dalam berkanal dan yang pernah terjadi kebakaran. Setelah kami kumpulkan semua pemangku kepentingan, pemilik hak guna usaha, izin usaha pemanfaatan hutan dan kayu, ketemulah bahwa yang masuk area konsesi itu 1,7 juta hektare. Sisanya di lahan masyarakat dan kawasan hutan tapi belum berkonsesi.

Yang di area konsesi tunduk pada aturan konsesi. Di konsesi itu pakai self-reporting berdasarkan indikator yang ditetapkan KLHK. Misalnya muka air tanah tidak boleh kurang dari 0,4 meter. Nah, mereka (KLHK) tidak lihat prosesnya. Kami kerjanya memakai proses. Pilihannya ada dua, yakni gambut dalam berkanal dan bekas kebakaran besar 2015-2016. Kami kerja di situ. Akhirnya kami bersepakat, yang di bawah konsesi kan ada penanggung jawabnya. Kami berbagi tugas (dengan KLHK). Tapi, di akhir 2020, kami kayaknya bersepakat bahwa restorasi gambut tidak bisa dipisah-pisah. Akhirnya, pada 2021 BRGM dan KLHK mengintegrasikan (gambut) di luar kawasan dan di dalam kawasan.

Mana yang menjadi tanggung jawab BRGM?

Semua yang di luar kawasan (hutan). Di dalam kawasan ada, tapi yang tidak berkonsesi. Kerusakan di dalam area konsesi, sesuai dengan undang-undang, menjadi tanggung jawab pemegang konsesi. Uang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tak boleh masuk di situ. Ada prinsip polluter must pay. Yang dipegang BRGM 900 ribu hektare gambut dari 2016-2020.

Bagaimana capaian restorasinya?

Total di akhir 2020 sebanyak 835 ribu hektare (direstorasi). Hampir selesai. Tapi itu luasan. Kami harus terus terang juga bahwa restorasi gambut itu tidak sekali jadi karena yang harus kami kembalikan keseimbangan dan tata kelola airnya. Bisa jadi infrastruktur pembasahan atau sekat kanal yang kami bikin sudah sesuai tapi hasilnya belum sesuai dengan harapan.

Saat ini yang sedang direstorasi di mana?

Intervensi yang kami lakukan tergantung kriteria rusaknya. Kalau kriteria rusaknya gambut dalam berkanal, kami bikin sekat kanal. Tapi sekat kanal yang kami bangun kan tidak berada di ruang kosong. Ada kanal-kanal yang dimanfaatkan oleh masyarakat untuk transportasi sehingga sekat yang kami bangun, meskipun diterima mereka ketika dibangun, airnya akhirnya dikurangi sedikit-sedikit supaya kapalnya bisa jalan. Ini terjadi di Kalimantan.

Apakah ada yang sampai muncul konflik mengenai sekat ini?

Ada kasus bentrok dengan masyarakat di Rokan Hilir. Di hilir ada pertanian masyarakat yang airnya bergantung pada aliran kanal. Waktu membangun sekat kanal, sudah (kami) komunikasikan bahwa tujuan penyekatan itu menaikkan permukaan air tanah, kayak bendungan tapi ada limpasan yang tingginya 0,4 meter sehingga airnya bisa ditahan setinggi 0,4 meter. Dengan cara itu, gambut bisa tetap basah. Saat kemarau agak panjang, masyarakat di (daerah) bawah enggak bisa bertani karena airnya tidak ada. Mereka menuduh sekat-sekat ini yang menjadi penyebabnya. Akhirnya dinas pekerjaan umum kabupaten berinisiatif menurunkan sekat-sekat itu supaya airnya turun. Tapi, setelah diturunkan, enggak keluar juga karena memang airnya tidak ada.

Apa misi restorasi gambut ini?

Ada tiga misi besar. Pertama, seperti latar belakang pembentukan BRGM, mencegah kekeringan yang terlalu sehingga bisa menyebabkan kebakaran. Kedua, kaitannya dengan perubahan iklim. Kalau terjadi kebakaran, emisi terbesarnya ya dari gambut yang terbakar itu. Seminggu kadang tidak mati. Dibom air, kalau (kebakaran) sudah sampai dalam, enggak mati. Dalam kontribusi yang ditentukan secara nasional (NDC)—komitmen suatu negara untuk menurunkan emisi karbon—kita, salah satu sumber emisi (karbon) yang masih susah dikendalikan itu emisi dari gambut. Gambut yang terbuka mengeluarkan emisi meskipun tidak terbakar.

Menurut data KLHK, 83,43 persen ekosistem gambut rusak. Apakah protokolnya tidak dipatuhi?

Dalam ketentuan pelaksanaan restorasi, perusahaan pemilik konsesi wajib melakukan pemulihan, kemudian hasilnya dilaporkan secara self-reporting. KLHK secara acak melakukan pengecekan apakah itu benar atau tidak. Saya kira yang perlu didorong semua pihak adalah keterbukaan supaya yang diklaim (perusahaan) itu memang benar. Itu saya kira penting.

Data gambut yang direstorasi BRGM terbuka?

Kami terbuka. Kami memasang alat pengukur tinggi muka air. Sebetulnya ide alat pengukur tinggi muka air ini untuk membantu KLHK mengecek. Kami membantu dengan alat tinggi muka air yang dilaporkan secara otomatis memakai sensor seperti bisa dilihat di situs Sistem Pemantau Air Lahan Gambut. Itu bisa mengecek kalau perusahaan di sana melaporkan muka air tanahnya seperti ini, sementara di laporan seperti ini. Tinggal didatangi. Cek mana data yang betul. Ini termasuk kalau sekarang memasuki musim kemarau, tinggi muka air tanah mulai kurang, sementara di beberapa lokasi masih mendung, BRGM bisa bekerja sama dengan BRIN (Badan Riset dan Inovasi Nasional) dan BMKG (Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika) membikin hujan buatan untuk menambah (stok air) lagi.

Capaian restorasi BRGM sekarang seperti apa?

Kami ditambahi target lagi. Ketika diperpanjang masa kerjanya, ditambahi 1,2 juta hektare. Yang 2 juta hektare gambut, yang kemudian kami kerjakan 830 ribu hektare itu harus tetap dirawat sampai 2024. Tak bisa ditinggalkan.

Kalau masa kerja BRGM berakhir, bagaimana kelanjutan restorasi?

Restorasi ini kerja jangka panjang sampai mengintegrasikannya menjadi sistem yang built-in dalam pengelolaan lahan gambut. Akan kami usulkan kelembagaannya apakah ini built-in di dinas pertanian atau dinas pengairan. (Contohnya) di Pulang Pisau. Kanal-kanal besar yang dibangun di zaman Pak Harto tak bisa dilepas begitu saja, masih tetap harus dipelihara oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Ada dana untuk pemeliharaan. Ada 250 hektare eks (proyek) lahan sejuta hektare. Tahun 2018 terbengkalai, gampang terbakar. Muncul rumput dan semak-semak.

Ketika gaduh food estate (lumbung pangan), BRGM dalam posisi tidak mendukung pembukaan lahan gambut untuk pertanian, tapi kan kami dimasukkan ke tim. Kalau begitu, kami bikin model saja. Kami revitalisasi eks sawah sejuta hektare. Kami libatkan profesor dari Institut Pertanian Bogor, Institut Teknologi Bandung, dan Universitas Gadjah Mada bagaimana supaya sawah ini bisa produktif kembali. Dengan sawah produktif, ia akan basah dan tidak terbakar. Tapi ternyata biaya revitalisasi untuk memproduksi padi 1 hektare itu setara dengan dua setengah kali persawahan mineral. Sedangkan hasilnya enggak sampai tiga perempatnya. Jadi, kalau keputusan politiknya tetap membangun food estate di gambut, siap-siap dengan hasil seperti itu. Daripada kami menerangkan berbusa-busa, lebih baik kasih contohnya seperti ini.

Kepala Badan Restorasi Gambut dan Mangrove Hartono mendampingi Presiden Joko Widodo dan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya, di lokasi penanaman mangrove bersama masyarakat, di Riau, September 2021. Dok. BRGM

Untuk mangrove, apa desain besarnya?

Beberapa pekan lalu peta jalan sudah ditandatangani Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Harapannya, peta ini akan dipakai oleh semua pemangku kepentingan. Regulasi kita kayaknya belum mengatur secara spesifik ekosistem mangrove. Jadi kondisinya mirip gambut pada 2013 atau 2015. Sebetulnya Undang-Undang Lingkungan Hidup mengamanatkan lima ekosistem penting yang perlu diatur secara khusus, yakni gambut, mangrove, karst, padang lamun, dan terumbu karang. Yang sudah ada baru gambut.

Mengapa mangrove perlu regulasi khusus?

Mangrove ada yang di dalam kawasan, ada yang di luar kawasan hutan. Di kawasan hutan tunduk pada Undang-Undang Kehutanan. Yang di luar menjadi subyek yang dikonversi. Di area pemanfaatan lain (APL) ada yang milik negara, ada yang milik masyarakat. Deforestasi kita yang terbesar di APL. Karena itu, kami bersepakat untuk menyusun regulasi baru yang bisa menjangkau mangrove di dalam dan luar kawasan hutan. Kami sedang menyusun peraturan pemerintah tentang perlindungan dan pengelolaan ekosistem mangrove. Dengan peraturan itu diharapkan nanti ada ketentuan mana mangrove yang bisa dimanfaatkan untuk budi daya, mana yang harus dilindungi.

Tugas BRGM untuk mangrove seperti apa?

Kami tidak mengambil alih tugas KLHK, tapi membantu supaya target besar itu bisa dicapai. Untuk mangrove, yang sudah jelas pemegang kewenangannya adalah Kementerian Kehutanan yang di dalam kawasan. Yang di luar itu masih abu-abu. Tapi yang umum adalah pemerintah daerah. Yang sekarang kami lakukan adalah pendekatan koordinatif karena dalam peraturan presiden ada yang namanya tim restorasi gambut dan mangrove daerah yang dibentuk oleh gubernur.

Apa tantangan terbesar dalam restorasi mangrove?

Pertama, status lahan. Kalau di APL, kami bisa bernegosiasi tapi tidak bisa menjamin keberlanjutannya. Misalnya (kami) ke Kalimantan Utara ketemu beberapa masyarakat yang punya tambak. Mereka menerima sebagian tambaknya direhabilitasi, tapi (mereka) bisa berubah pikiran karena ada investor lain yang lebih menjanjikan dalam pengelolaan. Kedua, enggak ada regulasinya. Ini yang mau dibuat. Ketiga, partisipasi masyarakat. Masyarakat itu, kalau merasa mendapatkan manfaat dari pengelolaan mangrove, tentu akan senang hati. Ini juga yang akan kami pikirkan. Kalau mangrove di APL hendak dipertahankan, tentu harus ada insentif bagi pemiliknya. Salah satu yang menjanjikan adalah blue carbon, kalau regulasinya sudah jadi. Selain karbon, mungkin hasil hutan bukan kayu, termasuk silvofishery, mangrove dan perikanan jadi satu, yang menghasilkan produk perikanan yang lebih berkualitas dan ramah lingkungan.

Berapa luas lahan mangrove yang sudah direstorasi?

Restorasi mangrove sebenarnya dimulai pada 2020 dengan memakai dana pemulihan ekonomi nasional (PEN). Pada 2021, BRGM dengan dukungan KLHK merehabilitasi mangrove dengan skema PEN pada area seluas 34,9 hektare di 32 provinsi. Tahun ini uangnya agak terlambat dan tidak segede yang dibutuhkan. Permohonannya Rp 1,8 triliun, yang disetujui belum tahu.

Bentuk insentif ke masyarakat seperti apa?

Kami merancang semua rehabilitasi (mangrove) yang dikerjakan masyarakat, terutama di kawasan hutan, akan kami fasilitasi menjadi perhutanan sosial. Kemudian ada entitas pengelolanya. Nah, ini yang nantinya akan dikawal terus sampai ke manfaat karbonnya.

Ihwal restorasi mangrove di APL?

Ini yang lagi diseminarkan bagaimana modelnya. Tapi kalau peraturan pemerintahnya jadi, ia akan membuka jalan bagi pemerintah daerah mengatur meski tidak persis seperti perhutanan sosial. Tapi bisa, lah, seperti itu.

Apa beda tantangan merestorasi mangrove dengan gambut?

Sebetulnya mirip. Gambut dan mangrove itu dua ekosistem basah. Sama-sama mempunyai nilai strategis untuk pengendalian iklim, karbon. Kalau gambut tantangannya dengan pemilik konsesi yang besar, yang sudah telanjur memanfaatkan. Tentu mereka punya hitung-hitungan juga. Di benak para pemilik konsesi ini, (bila mereka) tetap mengusahakan komoditasnya di gambut dalam, harus meningkatkan tinggi muka air, harus mengeluarkan investasi sekian. Belum lagi ekses penurunan produktivitas. Kalau permukaan air dinaikkan, ada beberapa komoditas yang bisa tidak berbuah. Itu yang (membuat) pemerintah tak bisa hitam-putih. Nyari investor susah, menyediakan lapangan kerja susah. Sawit, meskipun di gambut dalam, menghasilkan devisa dan lapangan kerja. Intinya, trade-off, lah. Yang penting jangan buka (lahan) baru. Itu sudah luar biasa. Kita punya sumber daya alam terus disetop (eksploitasinya), padahal bisa dimanfaatkan.


Hartono

Tempat dan tanggal lahir: Ngawi, Jawa Timur, 13 November 1962

Pendidikan
• S-1 Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta 1987
• Master of Science Resources Management University of Edinburgh, Skotlandia 1999

Pekerjaan
• Kepala Balai Taman Nasional Alas Purwo, Banyuwangi, Jawa Timur, 2007-2010
• Sekretaris Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, 2010-2014
• Direktur Kawasan Konservasi dan Bina Hutan Lindung Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, 2014-2015
• Direktur Kawasan Konservasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, 2015-2016
• Sekretaris Badan Restorasi Gambut, 2016-2020
• Kepala Badan Restorasi Gambut dan Mangrove, 2020-sekarang

Penghargaan
• Satyalancana Karya Satya 20 Tahun, 2012

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus