Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Uni Eropa akan menerapkan peraturan uji tuntas kepada enam komoditas pada tahun depan.
Indonesia masih harus memperbaiki sejumlah peraturan untuk menyesuaikan kebijakan Uni Eropa.
Asal-usul komoditas harus bebas dari praktik deforestasi dan pelanggaran hak masyarakat adat.
SEHARUSNYA pemerintah tak perlu gentar menghadapi pembaruan uji tuntas komoditas impor oleh Uni Eropa (European Union Due Diligence Regulation/EUDDR). Kita sudah punya Sistem Verifikasi Legalitas Kayu yang diperbarui menjadi Sistem Verifikasi Legalitas dan Kelestarian (SVLK) pada September 2021. Dalam aturan baru, bukan hanya kayu yang harus legal, komoditas nonkayu juga tak terkait dengan deforestasi dan degradasi lahan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ada lima komoditas baru dalam uji tuntas aturan Uni Eropa itu: kelapa sawit, kopi, kakao, kedelai, dan daging sapi. Indonesia menjadi eksportir empat komoditas di luar kedelai dan daging sapi. Enam komoditas ini acap jadi momok deforestasi karena mengubah hutan menjadi lahan pertanian, perkebunan, atau peternakan. Deforestasi adalah pemicu terbesar krisis iklim.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Aturan baru Uni Eropa mulai digagas akhir 2019. Dibahas secara intensif sejak tahun lalu, aturan yang terdiri atas 9 bab dan 33 pasal itu ditetapkan Komisi Uni Eropa akan berlaku tahun depan. Dengan aturan baru ini, enam komoditas yang masuk 27 negara Eropa harus dipastikan terbebas dari perusakan hutan dan pelanggaran hak asasi manusia serta bisa diusut asal-usulnya.
Pemerintah Indonesia tak bisa mengabaikan aturan baru ini karena Uni Eropa adalah pasar ekspor terbesar. Eropa menjadi pasar ketiga terbesar kopi, kakao, kayu, dan minyak sawit Indonesia setelah Amerika Serikat dan Cina. Pada 2021, misalnya, nilai ekspor sawit dan kayu Indonesia beserta turunannya ke Eropa mencapai sekitar US$ 4,4 miliar. Nilainya cenderung naik tiap tahun.
Dengan SVLK, sebetulnya tuntutan pasar itu bisa dengan mudah dipenuhi. SVLK adalah komitmen Indonesia menekan deforestasi setelah Reformasi 1998 yang diusulkan Uni Eropa. Masalahnya, implementasi di lapangan bolong-bolong. Temuan Jaringan Pemantau Independen Kehutanan acap menemukan industri hutan masih mengabaikan aspek-aspek legalitas yang diatur dalam SVLK.
Problemnya selalu sama, yakni independensi lembaga sertifikasi. Selama ini, lembaga sertifikasi yang mengaudit industri kehutanan mendapat bayaran dari perusahaan. Akibatnya, lembaga sertifikasi hanya jadi tukang stempel mengesahkan pelanggaran-pelanggaran operasi perusahaan. Eropa sebagai konsumen juga tak peduli dengan fakta-fakta pelanggaran itu karena hanya melihat aspek legal di atas kertas.
Jika benar berkomitmen serius dalam mitigasi iklim, Eropa dan negara-negara besar juga harus lebih ketat memverifikasi asal-usul komoditas hasil hutan yang mereka terima. Sementara itu, Indonesia harus lebih serius menambal bolong-bolong implementasi SVLK dengan sistem yang lebih solid dan penegakan hukum.
Salah satunya menjadikan lembaga sertifikasi benar-benar independen. Jika negara tak bisa membiayai lembaga sertifikasi mengaudit operasi perusahaan kehutanan, seharusnya ada inovasi agar mereka tetap independen. Misalnya dengan menerapkan pungutan hasil hutan yang dikumpulkan negara lalu dananya dipakai untuk membiayai audit oleh lembaga sertifikasi.
Yang lebih pokok adalah benar-benar menyetop laju deforestasi. Pemantauan pemerintah mengendalikan deforestasi terencana melalui konsesi hutan dan deforestasi tak terencana akibat pembalakan liar dan kebakaran hutan sangat lemah. Kebakaran hutan menjadi siklus tahunan karena industri kelapa sawit membakar lahan untuk menekan biaya produksi. Jika kejahatan-kejahatan lingkungan bisa ditangani, seharusnya Indonesia tak perlu gentar terhadap tuntutan pasar seperti Uni Eropa dan punya kekuatan menaikkan nilai komoditas di depan konsumen.
Artikel:
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo