Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Masyarakat Uni Eropa mengajukan rancangan undang-undang produk bebas deforestasi dan degradasi hutan.
Berpotensi menegasi Sistem Verifikasi Legalitas dan Kelestarian.
SVLK terbukti sebagai instrumen yang menurunkan angka kasus pembalakan liar.
PARLEMEN Uni Eropa pada Selasa, 12 Juli lalu, mengeluarkan pernyataan pers yang menegaskan keinginan untuk mengekspor dan memperdagangkan komoditas bebas deforestasi. Dalam pernyataan itu disebutkan Komite Lingkungan, Kesehatan Masyarakat, dan Keamanan Pangan Uni Eropa telah menilik proposal peraturan produk bebas deforestasi untuk menghentikan deforestasi global. Proposal ini lebih dikenal sebagai European Union Due Diligence Regulation (EUDDR) atau Peraturan Uji Tuntas Uni Eropa.
Dalam penilikan itu, mayoritas anggota parlemen menyepakati dibentuknya undang-undang baru yang mewajibkan perusahaan memverifikasi atau menguji tuntas produk yang diekspor dan diperdagangkan di Uni Eropa tidak berasal dari lahan yang terdeforestasi atau terdegradasi. Ini akan meyakinkan konsumen Uni Eropa bahwa produk yang mereka beli tidak berkontribusi pada perusakan hutan, termasuk hutan tropis.
Proposal Peraturan Uji Tuntas ini pertama kali diajukan Komisi Eropa pada November 2019. Saat itu, ada enam produk utama yang menjadi perhatian karena dianggap berkaitan erat dengan deforestasi dan perubahan iklim. Keenam produk itu adalah kayu, sawit, kopi, kakao, daging sapi, dan kedelai. Draf peraturan ini terus disempurnakan dengan target selesai pembahasannya pada September 2022 untuk kemudian dibuatkan undang-undang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penyempurnaan juga dilakukan oleh parlemen dengan menyodorkan perluasan komoditas. Parlemen ingin memasukkan daging babi, domba dan kambing, unggas, jagung dan karet, serta arang dan produk kertas cetak. Selain itu, parlemen memajukan batas waktu pengukuran menjadi satu tahun ke depan, yang semula 31 Desember 2020 menjadi 31 Desember 2019.
Parlemen menginginkan mekanisme evaluasi paling lambat dua tahun setelah berlaku untuk melihat potensi perluasan komoditas seperti tebu, etanol, dan produk pertambangan. Selain itu, parlemen ingin deforestasi dan degradasi lahan memperhitungkan ekosistem lain, seperti lahan gambut dan lahan basah. Anggota parlemen juga menginginkan lembaga keuangan ikut tunduk pada aturan ini untuk memastikan mereka tidak berkontribusi pada deforestasi.
•••
Di Indonesia, berselang dua pekan dari pernyataan Majelis Eropa itu, Jaringan Pemantau Independen Kehutanan (JPIK) dan Forest Watch Indonesia (FWI) juga menyampaikan hasil pemantauan Sistem Verifikasi Legalitas dan Kelestarian (SVLK) di enam provinsi. Keenam provinsi itu adalah Aceh, Sumatera Utara, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, dan Kalimantan Barat. Pemantauan dilakukan terhadap 11 perusahaan pemilik perizinan berusaha pemanfaatan hutan (PBPH)-hutan tanaman, yang sebelumnya disebut izin usaha pengelolaan hasil hutan kayu hutan tanaman Industri.
Dari 11 perusahaan yang telah mengantongi SVLK, delapan perusahaan masih melakukan pelbagai pelanggaran. Indikator yang dilanggar adalah perihal tata batas, penataan kawasan yang dilindungi, dan berkonflik dengan masyarakat adat atau masyarakat setempat. “Padahal perusahaan pemilik konsesi itu telah bersertifikat Pengelolaan Hutan Lestari dengan penilaian kinerja dinyatakan baik atau sedang,” kata Dinamisator Nasional JPIK Muhamad Ichwan.
Di Riau, misalnya, salah satu perusahaan terindikasi menanam dan memanen akasia di luar area izin seluas 423,9 hektare. Perusahaan ini juga terindikasi merusak ekosistem gambut dengan melakukan kegiatan di atas area ekosistem gambut dalam. Berdasarkan analisis tumpang susun dengan peta Lahan Gambut Balai Besar Sumberdaya Lahan Pertanian 2019, area konsesi tersebut berada pada ekosistem gambut di kedalaman 300-500 sentimeter.
Area yang sama ketika ditumpang susun dengan Peta Fungsi Ekosistem Gambut Nasional juga berada di kawasan ekosistem gambut dengan fungsi lindung. Area itu juga termasuk lokasi penghentian izin lahan gambut yang ditetapkan dalam Peta Indikatif Penghentian Pemberian Izin Berusaha, Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan, atau Persetujuan Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan Baru pada Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut 2021 Periode II.
Perusahaan tersebut juga terindikasi tidak melakukan kerja sama kemitraan secara tepat seperti dilaporkan dalam kinerja pengelolaan hutan produksi lestari. Perusahaan disebutkan telah membayar biaya tanaman kehidupan kepada masyarakat desa binaan sebesar Rp 361 juta selama 2015-2020. Namun lokasi tanaman yang dimaksud tak ditemukan. Selain itu, tak ada kejelasan kerja sama, termasuk sistem pembagian hasil dengan masyarakat desa binaan.
JPIK-FWI juga menganalisis 51 dari 144 pemegang izin hutan tanaman industri di enam provinsi obyek pemantauan yang telah melalui penilaian kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari—sekarang menjadi Sertifikat Pengelolaan Hutan Lestari. Ke-51 perusahaan ini dianggap memiliki kinerja yang tidak baik atau sedang. Namun, berdasarkan analisis kedua lembaga tersebut, ditemukan dua perusahaan yang memiliki nilai buruk karena terdapat perubahan fungsi kawasan di area konsesinya tapi tidak mengubah rencana usaha.
Temuan lain dalam aspek prasyarat adalah perusahaan yang tak memiliki tenaga profesional bidang kehutanan serta tidak melakukan upaya pendataan dan pelaporan penggunaan kawasan di luar sektor kehutanan. Ada pula perusahaan yang dalam penyusunan rencana kerja tahunan tak berkonsultasi dengan masyarakat setempat. Padahal kegiatan mereka berpotensi melanggar hak-hak masyarakat setempat.
Pada aspek produksi, masih ditemukan adanya nilai buruk karena realisasi penanaman tanaman pokok, tanaman kehidupan, dan tanaman unggulan kurang dari 50 persen. Ada juga yang dinilai buruk karena rendahnya jumlah pemudaan tanaman sehingga tidak mampu menjamin regenerasi hutan dan meminimalkan kerusakan akibat pemanenan. Terdapat pula perusahaan yang dinilai gagal menunjukkan bukti dalam melakukan analisis data potensi dan riap tegakan.
Menurut analisis FWI, izin konsesi HTI terus bertambah sejak 2015 hingga 2021. Dari 280 izin dengan luas 10,7 juta hektare pada 2015, menjadi 295 izin dengan luas 12,63 juta hektare pada 2021. Sebanyak 54 persennya atau sekitar 5,97 juta hektare berada di enam provinsi. Deforestasi hutan alam yang terjadi seluas 115,3 ribu hektare, dan deforestasi di fungsi ekosistem gambut seluas 17,6 ribu hektare. FWI juga mencatat ada konflik dengan masyarakat di 26 konsesi.
Menurut Ichwan, temuan-temuan dari pemantauan ini merupakan bagian dari penguatan SVLK. “Sistem ini sudah berjalan baik. Kami sebagai pemantau melakukan peran dan fungsi pemantauan untuk menjaga kredibilitas implementasi SVLK,” katanya. Ia mengatakan koordinasi lintas sektor masih menjadi tantangan terbesar hingga saat ini.
Selain itu, Ichwan mengungkapkan, tantangan lain yang dihadapi oleh pemantau independen adalah keterbatasan akses terhadap data. “Meskipun peran pemantau independen sebetulnya diakui dalam regulasi,” tuturnya. Keterbatasan akses data ini juga diungkapkan oleh Rahmadi Azani, perwakilan JPIK Riau. Rahmadi mengaku sulit mengakses data dan informasi penting yang menunjang pemantauan.
Menurut Rahmadi, selama memantau, ia hanya bisa mengakses data yang tersedia secara daring. “Data terkait dengan RKU, RKT perusahaan, hingga peta konsesi masih harus memohon dan melalui prosedur yang rumit ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, demikian pula akses sistem informasi penatausahaan hasil hutan (SIPUHH) yang tertutup bagi pemantau independen,” ucapnya. Ia mengatakan hal ini menunjukkan belum terbangunnya sinergi antara pemerintah dan pemantau independen yang berperan menjaga kredibilitas SVLK.
•••
ADANYA proposal European Union Due Diligence Regulation, menurut Ichwan, menjadi peluang untuk menguatkan SVLK. Ia tak menampik adanya kekhawatiran SVLK tidak diakui sebagai sistem yang selama ini telah berhasil kompatibel dengan pasar Uni Eropa di bawah skema European Union Timber Regulation dengan turunannya, Forest Law Enforcement, Governance and Trade. “Dari seluruh dunia, Indonesia satu-satunya negara yang telah mengantongi lisensi FLEGT sejak November 2015. Artinya sudah dianggap mampu menghasilkan produk kayu yang lestari,” ujarnya.
Kekhawatiran ini muncul dari hasil riset proposal EUDDR yang menyatakan EUTR selama ini tak efektif mengatasi deforestasi. Selain itu, Uni Eropa menginginkan adanya perlindungan yang menyeluruh terhadap banyak komoditas. Padahal, menurut Ichwan, masyarakat Uni Eropa selama ini juga dianggap gagal mempromosikan FLEGT di Benua Biru sebagai sistem yang mencegah deforestasi. Sebab, dia menjelaskan, banyak kayu yang tak menggunakan lisensi FLEGT masuk ke pasar-pasar Eropa, terutama di pasar Eropa Selatan, seperti Spanyol, Italia, Yunani.
Direktur Eksekutif Lembaga Ekolabel Indonesia Herryadi mengatakan masyarakat Uni Eropa hendaknya melihat skema-skema sertifikasi Indonesia yang telah berjalan di level wajib seperti SVLK dan di level sukarela seperti Sistem Sertifikasi Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (ISPO) sebagai hal yang telah sesuai dengan Peraturan Uji Tuntas. “UE bisa mengakui SVLK karena telah dilengkapi dengan sistem informasi online yang terbuka,” katanya. “Para pengekspor kayu dapat melacak kayu dari tunggaknya hingga rantai pasoknya,” ujarnya.
Tanaman akasia milik perusahaan pemegang izin Hutan Tanaman Industri yang terindikasi tidak sesuai dengan indikator pengelolaan hutan lestari, di Riau/Dokumentasi: JPIK Riau
Terlebih, ucap Herryadi, SVLK di bawah Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan Lindung dan Hutan Produksi telah mengakomodasi sertifikasi hasil-hasil hutan non-kayu. “Berdasarkan pengalaman itu, komoditas lain juga bisa menempuh cara serupa,” tuturnya. Herryadi mengatakan SVLK telah diperbaiki berkali-kali yang membuktikan sistem ini dapat didorong untuk berbenah agar kompatibel dengan Peraturan Uji Tuntas tanpa perlu dinegasikan.
Sementara itu, Ketua Sebijak Institute dari Universitas Gadjah Mada, Ahmad Maryudi, mengatakan SVLK selama ini terbukti sebagai sebuah sistem yang kredibel. Ada kepercayaan diri yang cukup untuk mengatakannya sebagai fondasi pengelolaan hasil hutan yang lestari. Ia mengatakan SVLK dibangun dengan pendekatan multisektor yang mendorong terjadinya perbaikan sistem pranata. “Dulu pendekatan pengelolaan sangat sektoral. Dengan adanya SVLK, sekarang menjadi multisektor,” katanya.
Terlepas dari adanya pelbagai temuan di lapangan dalam implementasinya, Ahmad menambahkan, SVLK terbukti sebagai instrumen yang menurunkan angka kasus pembalakan liar. “Kepatuhan dari hulu hingga ekspor juga meningkat,” ujarnya. Karena itu, menurut Ahmad, SVLK sebagai sistem kelestarian semestinya dapat langsung diintegrasikan ke EUDDR.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo