Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Uni Eropa akan menerapkan aturan uji tuntas untuk menjamin produk bebas deforestasi.
Produk yang menjadi sasaran adalah minyak sawit, daging sapi, kayu, kopi, kakao, dan kedelai.
Apakah Sistem Verifikasi Legalitas Kayu dari Indonesia dapat digunakan?
UNI Eropa sedang menggenjot berbagai upaya untuk mengatasi perubahan iklim. Setelah menerbitkan sejumlah kebijakan lingkungan, seperti Undang-Undang Restorasi Alam untuk memulihkan ekosistem yang rusak, organisasi negara-negara di Benua Biru itu melansir rancangan aturan baru guna menurunkan deforestasi dan degradasi hutan dengan kewajiban uji tuntas bagi operator yang memasok produk tertentu ke pasar mereka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Aturan ini merupakan bagian dari Kesepakatan Hijau Eropa atau European Green Deal, paket kebijakan organisasi itu dalam transisi menuju bebas karbon pada 2050. Komisi Eropa, lembaga eksekutif Uni Eropa, mengajukan usul aturan ini pada November tahun lalu. Menurut Komisi, Uni Eropa telah mengimpor dan mengkonsumsi sepertiga dari produk pertanian global yang berhubungan dengan deforestasi selama 1990-2008. Konsumsi mereka diperkirakan menyumbang sekitar 10 persen deforestasi global.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Peraturan yang ada tidak membahas masalah deforestasi dan degradasi hutan yang disebabkan oleh rantai pasokan pertanian,” kata Finn Robin Schufft, Penasihat Kebijakan untuk Akuntabilitas Perusahaan di Germanwatch, organisasi non-pemerintah Jerman di bidang lingkungan, kepada Tempo pada Jumat, 19 Agustus lalu.
Ada enam produk yang menjadi sasaran aturan ini, yakni minyak sawit, daging sapi, kayu, kopi, kakao, dan kedelai. Aturan ini juga berlaku untuk produk-produk turunannya, seperti kulit, cokelat, dan mebel. “Peraturan tersebut masih dapat berkembang hingga mencakup daging babi, domba dan kambing, unggas, jagung, karet, arang, serta produk kertas cetak. Semua komoditas yang tercakup dalam peraturan akan diperlakukan sama,” ujar Giovanni Maurice Pradipta, Penasihat Kebijakan untuk Dialog Masyarakat Sipil Jerman-Indonesia Germanwatch, kepada Tempo.
Parlemen Uni Eropa juga meminta Komisi menimbang perlu-tidaknya memasukkan barang seperti tebu, etanol, dan hasil tambang. Selain itu, Parlemen meminta lembaga-lembaga keuangan dikenai kewajiban untuk memastikan bahwa bisnis mereka tidak menyumbang deforestasi.
Akhir Juni lalu, Dewan Eropa, badan yang beranggotakan para kepala negara anggota Uni Eropa, telah menyetujui proposal itu. “Kita harus memastikan bahwa produk yang kita konsumsi di rumah tidak berkontribusi pada menipisnya cadangan hutan planet ini. Teks inovatif yang telah kami adopsi akan memungkinkan untuk memerangi deforestasi tidak hanya di dalam Uni Eropa, tapi juga di luar Uni Eropa,” kata Agnès Pannier-Runacher, Menteri untuk Transisi Energi Prancis, dalam rilis Dewan Eropa. “Ini adalah langkah maju besar yang juga menggambarkan ambisi kami terhadap iklim dan keanekaragaman hayati.”
Pada Juli lalu, Komisi Lingkungan, Kesehatan Masyarakat, dan Keamanan Pangan (ENVI) Parlemen Uni Eropa juga menyetujui proposal komisi tersebut dengan sejumlah amendemen. “Kami serius dalam melawan perubahan iklim dan hilangnya keanekaragaman hayati,” kata Christophe Hansen, anggota parlemen dari Luksemburg, dalam pernyataan yang dirilis ENVI. “Mengakui bahwa Uni Eropa bertanggung jawab atas sekitar 10 persen deforestasi global, kami tidak punya pilihan selain meningkatkan upaya kami untuk menghentikan deforestasi global.”
Naskah aturan baru ini belum final. Menurut Finn Robin Schufft, aturan ini akan mulai berlaku setelah “trilog” atau negosiasi tiga pihak antara Komisi, Dewan, dan Parlemen selesai. Perundingan akan dimulai September mendatang dan berlangsung dalam beberapa bulan. “Peraturan tersebut dapat berlaku surut, yang mempengaruhi komoditas dari lahan yang mengalami deforestasi setelah 2020 atau 2021, tergantung pada kompromi yang nanti dicapai,” tuturnya.
Sejak Komisi menerbitkan usul aturan itu, banyak pihak yang memberikan masukan. Lebih dari 100 organisasi telah meminta negara anggota Uni Eropa dan Parlemen Eropa memperbaiki usul aturan tersebut. Sebagian negara menginginkan perpanjangan waktu transisi selama dua tahun untuk menerapkan kewajiban uji tuntas tersebut. Sebagian yang lain masih menimbang beban yang akan dihadapi oleh usaha kecil dan menengah.
Gabungan 35 organisasi masyarakat sipil di Indonesia, misalnya, mengajukan sejumlah usul pada April lalu. Mereka meminta definisi “deforestasi” dan “degradasi hutan” diperjelas dan aturan itu tidak mengabaikan petani kecil dan masyarakat adat. Proposal Komisi menyebut “deforestasi” sebagai konversi hutan untuk pertanian, baik yang disebabkan oleh manusia maupun tidak. Organisasi masyarakat sipil mengusulkan agar hutan itu juga mencakup ekosistem sabana, stepa, dan lahan gambut.
Belakangan, Dewan mengubah definisi “degradasi hutan” menjadi perubahan struktural pada tutupan hutan dalam bentuk konversi hutan primer menjadi hutan tanaman atau menjadi lahan berhutan lain. Dewan juga memperkuat aspek hak asasi manusia dari naskah aturan itu, terutama dengan menambahkan beberapa rujukan ke Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak-hak Masyarakat Adat.
Germanwatch mendukung tuntutan organisasi masyarakat sipil Indonesia mengenai masyarakat adat. Lembaga berbasis di Bonn, Jerman, itu mendukung amendemen ENVI terhadap aturan tersebut, yang mencakup ketentuan mengenai hak asasi manusia yang lebih kuat, konsultasi dengan pemangku kepentingan sebagai bagian dari uji tuntas, serta kewajiban operator untuk memberikan bantuan keuangan, hukum, dan teknis kepada masyarakat dan petani kecil. “Sangat penting bahwa petani kecil dan masyarakat adat yang terkena dampak diperkenalkan dan dididik dengan benar tentang aturan ini. Transparansi juga harus diterapkan,” ucap Giovanni.
Agar aturan ini benar-benar berhasil, menurut Giovanni, Uni Eropa harus memastikan bahwa deforestasi dapat dihentikan secara efektif dan hak-hak masyarakat lokal, masyarakat adat, dan petani kecil dihormati sepenuhnya. “Itu termasuk melindungi mata pencarian mereka dan mereka tidak terpinggirkan secara ekonomi atau lainnya,” katanya.
Uni Eropa akan menerapkan standar uji tuntas sendiri. Namun sertifikat dari negara lain, seperti Sistem Verifikasi Legalitas dan Kelestarian (SVLK) yang kini berlaku di Indonesia, dapat saja digunakan sebagai sumber informasi untuk menilai tingkat risiko deforestasi di suatu negara. “Umumnya produk kayu yang disertifikasi dengan skema SVLK diterima oleh negara-negara Uni Eropa,” ujar Giovanni.
Uni Eropa, Giovanni menjelaskan, juga dapat memutuskan proses uji tuntas yang disederhanakan untuk negara-negara yang diklasifikasikan “berisiko rendah”. “Namun masih belum jelas apakah sistem klasifikasi ini memang akan diterapkan dan klasifikasi apa untuk Indonesia.”
Dewan Eropa telah setuju membentuk “sistem pembandingan” untuk tingkat risiko deforestasi di suatu negara dalam klasifikasi rendah, standar, atau tinggi. Kategori risiko ini akan menentukan tingkat kewajiban khusus bagi operator pemasok barang dan otoritas negara anggota Uni Eropa untuk melakukan inspeksi dan kontrol. Dengan kata lain, pemantauan yang lebih ketat berlaku untuk negara-negara berisiko tinggi dan uji tuntas yang disederhanakan untuk negara-negara berisiko rendah.
Uji tuntas itu juga termasuk mekanisme pemantauan oleh otoritas negara anggota Uni Eropa. Menurut Schufft, proposal Komisi Eropa telah menyediakan mekanisme pemantauan rantai pasok yang mewajibkan operator untuk mengumpulkan data geolokasi di titik atau area tempat bahan baku diproduksi.
SVLK, menurut Giovanni, dapat menjadi mekanisme yang berguna untuk membantu perusahaan dalam memenuhi sebagian kewajiban uji tuntas. “Tapi kemungkinan besar tidak akan cocok untuk menggantikan kewajiban uji tuntas perusahaan sepenuhnya,” katanya.
NELDEN DJAKABABA GERICKE (BERLIN)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo