Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

Saya Penyambung Lidah Ulama Saja

Habib Husein Ja'far Al Hadar berdakwa dengan menggunakan bahasa gaul dan berpakaian sesuai dengan segmen anak muda. Jumlah pengikutnya di media sosial ribuan, penonton konten dakwahnya jutaan. Mengapa dia memilih segmen anak muda?

30 April 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Tema dan bahasa dakwah Husein Ja'far Al Hadar disesuaikan dengan kebutuhan anak muda.

  • Husein merisaukan dogmatisme dan ritualisme dalam beragama

  • Dalam berdakwah, Husein menggunakan pendekatan komedi dan bahasa gaul.

PENAMPILAN Husein Ja’far Al Hadar tak seperti dai pada umumnya. Dalam berdakwah dia lebih sering memakai hoodie, celana jins, dan sepatu olahraga. Kopiahnya sedikit ditarik ke belakang sehingga menyisakan sejumput rambut di depan. Ia juga banyak terlihat di panggung-panggung digital dan forum anak muda ketimbang di masjid.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pria yang akrab disapa Habib Husein ini tenar salah satunya melalui sketsa komedi Kultum Pemuda Tersesat di kanal YouTube, Majelis Lucu Indonesia, tiga tahun lalu. Nama acara itu berasal dari “orang-orang muda yang tersesat” yang banyak mengajukan pertanyaan. Husein bahkan kemudian mendirikan Yayasan Pemuda Tersesat, yang memberi bantuan di bidang ekonomi, pendidikan, dan mental kepada para pemuda yang membutuhkan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Anak muda mengajukan berbagai pertanyaan kepada Husein, dari yang serius sampai yang terkesan bercanda. Seberapa besar peluang orang masuk surga kalau pahala dan dosanya imbang? Pintu surga itu didorong atau digeser? Bila tidak ada air dan debu, apakah mandi besar boleh diganti dengan mandi bola? Apakah semua orang ateis itu jomlo karena jodoh berada di tangan Tuhan? Sarjana filsafat dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta ini kemudian menjawab pertanyaan-pertanyaan itu dengan santai, tanpa banyak mengutip ayat Al-Quran, dan disampaikan dalam bahasa gaul. “Itu yang menentukan pilihan saya dalam bahasa, tema, dan pakaian,” tutur Husein dalam wawancara dengan wartawan Tempo, Abdul Manan dan Iwan Kurniawan, di Jakarta, Selasa, 5 April lalu.

Dengan metode yang tidak kaku, dakwahnya digandrungi anak muda. Kini jumlah pengikutnya di akun YouTube-nya sebanyak 757 ribu dengan jutaan penonton. Dia kini rutin tampil di YouTube hingga televisi. Dalam wawancara sekitar dua jam, Husein mengisahkan kehidupan masa kecilnya dan pendidikan yang diberikan orang tuanya. Ia juga menjelaskan mengapa dia memilih anak muda sebagai sasaran dakwah, masalah kaum muda, dan metode dakwahnya.

Apa yang paling banyak mempengaruhi Anda?

Pengaruh utama itu ada pada sosok ayah. Sedari kecil ayah menulis di rapor saya bahwa cita-cita saya menjadi ulama intelektual atau ulama rasional. Katanya, itu yang dibutuhkan oleh banyak orang. Kalau ulama-ulama tradisional sudah banyak. Sejak saat itu, setiap kali selesai salat subuh dan isya, ayah mengajak berbicara tentang agama dan bahkan berbicara tentang politik.

Mengapa Anda belajar filsafat?

Kata ayah saya, orang bodoh itu merepotkan. Ia pernah minta tolong dibelikan obat sakit kepala merek tertentu. Ketika kami pulang dan enggak jadi beli obatnya karena tidak ada merek itu, kami dimarahi. Intinya adalah obat sakit kepala, jadi sebenarnya bisa merek lain. “Dengan tidak bodoh, kamu tidak akan celaka dan kamu tidak akan mencelakakan orang lain,” kata ayah. Ini juga sejalan dengan kedaulatan dalam beragama. Dengan berfilsafat artinya kamu berpikir, maka kamu akan menemukan iman dalam pikiran kamu sehingga iman itu bukan soal warisan.

Mengapa Anda tidak memilih menjadi dai tradisional?

Saya pernah ditawari jadwal khotbah di satu masjid yang cuma dapat jatah satu sampai dua kali setahun. Betapa banyaknya pendakwah di masjid, musala, dan masjid besar. Ia juga membuat lebih baik orang yang sudah baik. Kami justru berharap bisa mempengaruhi seseorang yang belum baik untuk ke masjid atau memasjidkan tempat mereka nongkrong.

Buku apa yang berpengaruh terhadap strategi dakwah Anda?

Buku yang saya baca rentangnya luas sekali. Ada buku Buya Hamka sampai Sayyid Qutub. Dalam konteks dakwah, yang sangat mempengaruhi adalah Emha Ainun Nadjib.

Bagaimana akhirnya Anda memilih dakwah yang menyasar anak muda?

Pertama, sebagai ungkapan syukur karena saya masih muda. Ya, saya berbicara kepada anak muda karena itu dunia saya. Kedua, itu satu capaian tersendiri. Anak muda punya kekuatan. Indonesia sedang berada di masa bonus demografi ketika jumlah anak mudanya besar. Dalam salah satu hadis riwayat Imam Ahmad dikatakan bahwa anak muda punya sofwa, kecenderungan pada hal-hal yang minimal sia-sia dan maksimal maksiat. Jadi, kalau mereka taat, Allah terkagum-kagum. Kalau orang tua biasa saja. Sudah waktunya mereka ingat mati atau jatah nakalnya sudah habis di waktu muda. Di samping itu, ya, karena yang berkerumun di masyarakat digital adalah anak muda.

Bagaimana pendekatan Anda?

Pertama, kami berbicara selalu mengenai tema-tema anak muda. Misalnya, tema-tema kesehatan mental. Sebanyak dua dari sepuluh anak muda Indonesia punya masalah mental. Ada juga tema healing yang syar'i, crazy rich syar'i. Kedua, bahasanya. Saya menggunakan bahasa-bahasa anak muda. Misalnya, bahasa Jaksel.

Crazy rich syar'i itu seperti apa?

Sayyidina Ali bilang, harta yang kamu makan akan jadi kotoran dan kalau disimpan jadi warisan. Keduanya tidak berguna saat mati. Yang berguna adalah harta yang kamu sedekahkan. Itulah hartamu. Maka orang yang crazy rich di akhirat adalah yang mendermakan hartanya kepada orang lain. Hikmah ini saya dapatkan dari seorang pemabuk yang tiba-tiba mengatakan, “Kain kafan itu enggak ada sakunya. Ngapain lu mengumpulkan harta, toh, tidak dibawa mati”.

Mengapa pakaian jadi penting dalam dakwah anak muda?

Bagi saya, Rasul (Nabi Muhammad) enggak punya murid. Beliau punya sahabat. Pola pendidikan agama harus mengikuti Rasul, yang sangat egaliter. Pernah seorang Arab Badui datang ke masjid. Dia bertanya Rasul yang mana, saking tidak ada bedanya Rasul dengan umatnya dari sisi pakaian, tempat duduk, dan makanan. Riset Al-Falah menyebutkan bahwa good looking salah satu pertimbangan seseorang dalam mendengarkan ceramah. Bagi saya, good looking bukan soal keindahan, tapi apakah Anda mau mencerminkan saya atau tidak. Anda mewakili identitas saya atau tidak. Hal terakhir adalah media. Medianya harus media anak muda, yaitu media sosial. Riset Hootsuite dan We Are Social pada 2021 mengatakan 73 persen orang Indonesia terkoneksi Internet dan mencari informasi dari Internet. Riset Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat pada 2021 menyebutkan 60 persen lebih orang belajar agama dari media sosial dan media digital. Konten moderat hanya menguasai sekitar 20 persen perbincangan agama di media sosial, sedangkan konten tidak moderat 60 persen. Ini merupakan pekerjaan rumah tersendiri.

Apa yang menarik dari data itu?

Riset Gallup menyebutkan, di Arab Saudi, 5-15 persen anak mudanya ateis. Gejala yang sama juga meningkat di Pakistan, Mesir, dan Turki dalam 10 tahun terakhir. Orang sudah tidak menganggap agama sebagai sesuatu yang penting karena, alih-alih menyelesaikan masalah, justru menjadi masalah baru. Agama, yang seharusnya mendamaikan, justru kemudian menjadi penyebab pertengkaran. Agama cenderung hadir dalam wajah-wajah ritualistis, tidak bersifat spiritualistis. Ia kurang bisa menyelesaikan masalah-masalah riil dalam kehidupan sosial, seperti buta huruf, kesehatan mental, atau lingkungan hidup. Berapa banyak sih dai yang berbicara soal isu lingkungan hidup, SDG’s (tujuan pembangunan berkelanjutan), dan kesehatan mental? Sedikit sekali. Itu masalah-masalah anak muda yang riil. Jadi mereka (anak muda) memilih minimal sekuler. Di sisi lain, ada kelompok yang sedang gemar beragama yang kemudian menamakan dirinya kelompok hijrah. Problemnya sebenarnya sama. Keduanya sama-sama punya masalah hilangnya agama versi mendalam. Saya hadir dengan tasawuf spiritualitas Islam untuk menjelaskan kepada kelompok sekuler dan ateis tersebut bahwa agama itu rasional, agama itu mendamaikan.

Apakah minat belajar agama masih tinggi di kalangan anak muda?

Secara umum tinggi. Mengukurnya paling tidak dari konten-konten keagamaan yang masih mencuri perhatian di media digital. Cuma, kemudian ada kelompok yang akhirnya memilih untuk menjauh karena agamanya menjadi enggak asyik. Saya banyak menemukan kasus orang yang trauma pada agama.

Apa yang paling sering ditanyakan anak muda?

Pertama, makna-makna agama. Misalnya, “Mengapa saya harus salat?”. Kan enggak bisa kami bilang bahwa salat adalah wajib. Saya bilang, salat mendidik kita untuk disiplin waktu. Siapa yang mengendalikan waktu, dia akan menjadi orang yang sukses dunia-akhirat.

Kemudian ada yang bertanya, “Bagaimana berhenti berzina?”. Selama ini kehadiran sebagian pendakwah itu hanya menghukum, tidak memberi solusi. Nabi Muhammad adalah sosok yang memberi solusi. Pernah ada satu orang datang kepada Nabi saat bulan puasa. Ia mengaku meniduri istrinya di siang hari. Kata Nabi, “Kamu harus puasa dua bulan berturut-turut”. “Boro-boro dua bulan, satu bulan jebol,” kata orang itu. “Ya sudah, kamu kena kafarat puasa, yaitu membayar fidiah, memberi makan orang miskin”. “Boro-boro ngasih makan orang miskin, saya ini miskin, Nabi”. “Ya sudah, ini kurma dan gandum, bagikan ke orang miskin”. “Ngapain cari orang miskin. Saya ini miskin”. Sambil senyum Nabi mengatakan, “Makanlah dan selesai masalah puasamu”.

Husein Ja’far Al Hadar di Jakarta, 6 April 2022. TEMPO/M Taufan Rengganis

Bagaimana mengaitkan hukum dan solusi?

Hukum ditegakkan tapi solusi dicarikan. Itu yang dibutuhkan anak muda. Misalnya, ada yang bertanya mengapa minuman keras (miras) haram? Saya katakan, miras dalam Islam disebut sebagai minuman setan. Kalau kamu minum, kan kasihan karena setan kehausan. Kita juga tidak tahu pintu hidayah orang-orang ada di mana. Ada seorang peminum miras yang tanya saya bagaimana cara berhenti. Kata saya, “Coba setiap mau minum miras, baca bismillah”. Beberapa bulan kemudian dia mengabari telah berhenti minum karena malu. “Baca bismillah kok minum miras”.

Apakah ada pertanyaan yang sulit dijawab?

Ada aja. Misalnya, katanya kiamat itu hari Jumat. Lalu, bagaimana dengan negara-negara yang masih Kamis atau sudah Sabtu? Akhirnya, saya katakan, Jumat itu merujuk di tempat ketika kata-kata itu diucapkan, yaitu di Mekah dan Madinah. Ada juga yang bertanya, kalau dosa dan pahalanya imbang, orang akan masuk surga atau neraka. Itu bukan candaan karena ada dalam Al-Quran, Surat Al-Araf. Ada orang-orang yang berdiri di Bukit Araf yang nantinya, karena pahala dan dosanya 50-50 persen, Allah akan masukkan ke surga tapi disuruh menunggu sampai semua sudah dihisab (dihitung amal dan dosanya).

Anda juga memakai komedi sebagai alat dakwah.

Komedi itu bahasa yang orang awam pun paham. Tawa itu paling enak sebagai media kritik. Yang dikritik tidak akan marah atau tersinggung.

Penggunaan komedi apa tidak khawatir dianggap merendahkan?

Sebenarnya metode komedi sudah digunakan dari zaman dulu. Ada Abu Nawas, Nasrudin Hoja. Semua itu menjadikan komedi sebagai medium dakwah. Ustad-ustad kita kan umumnya seperti itu, misalnya Zainuddin M.Z. dan Abdul Somad. Kiai-kiai Jawa Timur, dan juga Gus Dur, banyak humornya. Kalau enggak bisa komedi, enggak jalan.

Apakah habib lain tidak protes pada gaya dakwah Anda?

Sudah pasti ada, ya. Tapi rata-rata mendukung. Misalnya, Habib Luthfi bin Yahya. Ia sangat mendukung karena dakwahnya tidak bisa sampai ke segmen itu (anak muda). Makanya saya selalu bilang bahwa saya sebenarnya penyambung lidah para ulama saja.

Ada pertanyaan soal politik?

Politik sangat saya hindari karena akan membuat dakwah sempit segmennya. Saya belajar bahwa habib tidak apolitis tapi juga tidak politis. Politiknya adalah kebangsaan dan keislaman.

Apakah ada yang bertanya ihwal Indonesia yang penduduk muslim terbesar tapi angka kasus korupsinya tinggi?

Biasanya saya merujuk pada riset yang dilakukan oleh Husein Askari selama 2010-2014 tentang seberapa islami negara-negara di dunia ini. Indonesia berada di peringkat ke-132. Arab Saudi juga ada di tengah. Yang di atas adalah Finlandia dan negara-negara Skandinavia. Riset Maarif Institute tentang indeks kota islami justru menempatkan Bali yang teratas. Saya biasanya mengutip yang disampaikan pemikir pembaru Islam, Muhammad Abduh, yang mengatakan, “Saya melihat Islam di Paris meskipun tidak melihat muslim di sana. Saya melihat muslim di Mesir tapi saya tidak melihat Islam”. Kedisiplinan, kebersihan, dan profesionalitas ada di Paris tapi tidak ada di Mesir dan sebagainya. Ini karena muslim berjarak dengan Islam. Dalam korupsi mungkin (pelaku) tidak mendapatkan pemahaman baik secara agama. Kata Nabi, uang korupsi mengikat karena kamu akhirnya tidak leluasa berbicara, tidak bisa leluasa membelanjakan uangnya. Kalau kamu tiba-tiba kaya mendadak, orang akan curiga. Itulah azab dari uang korupsi: kamu miliki tapi tidak bisa kamu nikmati.

Bagaimana anak muda melihat peran negara?

Kuncinya adalah bagaimana negara hadir dalam isu-isu mereka. Itu pekerjaan rumah utamanya. Tidak pada aspek yang formalistik, tapi pada aspek yang ideal. Ini yang kemudian membuat anak muda merasa, kok kayaknya negara enggak ada gunanya, sehingga kecintaan dan ketundukan kepada negara lambat laun berkurang, karena mereka tidak merasakan kemanfaatannya. Itu yang juga terlihat dalam kedekatan anak muda dengan politik. Itu kan tidak tinggi karena (mereka) merasa enggak ada gunanya. Anak muda juga lebih independen dibanding orang tua. Mereka tidak mudah disasar pakai serangan fajar Rp 50 ribu (seperti dalam pemilihan umum atau legislatif). Uang segitu di Starbuck saja enggak cukup buat beli minuman segelas.

Ada negara yang sukses untuk mengelola bonus demografi sehingga betul-betul menjadi bonus, yaitu Korea Selatan. Ada yang gagal, Afrika Selatan. Paling tidak, 2045 ini akan menjadi penentu. Itu usia Indonesia satu abad dan ada bonus demografi. Kalau kesempatan ini lepas, kita akan menunggu satu abad lagi. Kita sedang berada di titik apakah kita akan berubah lebih baik, tetap, atau lebih buruk.


Husein Ja’far Al Hadar

Tempat dan tanggal lahir
Bondowoso, Jawa Timur, 21 Juni 1988

Pendidikan
• S-1 Filsafat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
• S-2 Tafsir Al-Quran UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Karya
• Pengelola akun YouTube, Jeda Nulis
• Penulis buku Seni Merayu Tuhan, Tuhan Maha Asyik, Tuhan Ada di Hatimu, dan #Hidup Kadang Begitu

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Abdul Manan

Abdul Manan

Meliput isu-isu internasional. Meraih Penghargaan Karya Jurnalistik 2009 Dewan Pers-UNESCO kategori Kebebasan Pers, lalu Anugerah Swara Sarasvati Award 2010, mengikuti Kassel Summer School 2010 di Jerman dan International Visitor Leadership Program (IVLP) Amerika Serikat 2015. Lulusan jurnalisme dari kampus Stikosa-AWS Surabaya ini menjabat Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen Indonesia 2017-2021.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus