Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Ringkasan Berita
Seribuan pengungsi di Bogor sudah sepuluh tahun belum mendapatkan kepastian suaka.
Keberadaan mereka dituding memicu konflik sosial.
HIdup dengan sumbangan yang terbatas.
AIR mata Tahir Asad, 36 tahun, tampak menetes setelah menutup telepon selulernya. Pria yang berstatus pengungsi asal Afganistan itu baru saja berbicara dengan ibunya di kampung halaman. Ia tak kuasa membendung perasaan yang terus berkecamuk selama hampir sepuluh tahun belakangan.
Hingga kini, keinginannya untuk tinggal Australia tak kunjung terwujud. “Barusan Mama telepon dari Afganistan menanyakan keadaan. Beliau berpesan jangan nekat melanjutkan perjalanan jika tidak mendapat dukungan UNHCR,” ujarnya dalam bahasa Indonesia pada Kamis, 21 April lalu.
Asad merupakan pengungsi yang bereksodus akibat perang saudara yang tak berkesudahan di negaranya. Ia menjejakkan kaki di Indonesia pada Oktober 2012 bersama puluhan pengungsi lain. Semula mereka tak saling mengenal.
Seorang agen perjalanan menawarkan tiket US$ 10.500 ke Australia menggunakan perahu cepat menyusuri jalur tikus. Tapi Negeri Kanguru belum bersedia membukakan pintu. Mereka hanya transit di Indonesia. “Kami maunya juga tidak di sini. Yang kami tuju adalah Australia,” ucapnya.
Baca: Nasib Penghuni Afganistan di Indonesia
Kini Asad tinggal bersama ribuan pengungsi lain di Kawasan Puncak di Cisarua, Bogor, Jawa Barat. Keberadaan mereka sempat menjadi sorotan Bupati Bogor Ade Yasin pada pertengahan Maret lalu.
Ade meminta pemerintah dan lembaga internasional seperti United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR)—Komisi Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pengungsi—mencari solusi penempatan ulang bagi para pengungsi dan pencari suaka. Keberadaan mereka dianggap memicu masalah sosial dan merusak citra kawasan Puncak sebagai pusat wisata.
Ada 2.309 pengungsi dan pencari suaka asal negara Timur Tengah yang ditampung di Bogor. Sebanyak 1.690 bermukim di sekitar kawasan Puncak sejak satu dasawarsa terakhir. Mereka hidup berbaur dengan masyarakat lokal. Ada pula yang tinggal di penampungan.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo