Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Ringkasan Berita
Seorang petani tembaku di Lombok Tengah menjadi tersangka pembunuh dua begal.
Polisi mendapat protes karena pembunuhan terjaga dalam usaha membela diri.
Polisi akhirnya setuju dengan logika masyarakat dengan tak menganggap lagi usaha bela diri itu main hakim sendiri.
WAJAH Amaq Sinta alias Murtede, 34 tahun, terlihat merengut. Setelah berkali-kali mencoba, lidahnya tetap kelu saat melafalkan nama Kepala Kepolisian RI Jenderal Listyo Sigit Prabowo. Akhirnya, Murtede gagal menghafal ucapan terima kasih kepada pemimpin Polri yang menghentikan kasus pembunuhan begal yang menjeratnya.
Murtede tengah menjalani syuting dadakan di bawah berugak pekarangan rumah Haji Acih di Dusun Matek Maling, Desa Ganti, Kecamatan Praya Timur, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat (NTB), pada Ahad, 17 April lalu. Ucapan terima kasih itu direkam juru kamera dan pengarah gaya yang diutus Kepolisian Resor Lampung Tengah. Mereka akhirnya balik kanan dengan tangan hampa.
Murtede seorang petani tembakau yang lahir dan tinggal di Dusun Matek Maling, Desa Ganti. Ia tak lancar berbahasa Indonesia. Bapak dua anak ini juga tak bisa membaca dan menulis. “Dia memang ndak pernah sekolah,” kata Kepala Desa Ganti Haji Acih.
Sosok Murtede menjadi buah bibir di seantero Pulau Seribu Masjid karena menjadi tersangka pembunuhan dua begal. Murtede tak pernah berurusan dengan polisi. “Saya hanya membela diri karena mereka menyerang saya,” tutur Murtede saat ditemui setelah menjalani syuting.
Baca: Benarkah Polisi Salah Tangkap Kasus Begal di Bekasi?
Syahdan, pada Ahad dinihari, 10 April lalu, Murtede keluar rumah memakai sepeda motor Honda Scoopy merah. Ia hendak mengantarkan makanan dan air panas untuk bekal sahur keluarganya yang tengah menjaga ibu mereka di sebuah klinik swasta di Lombok Timur.
Berbeda dengan hari-hari sebelumnya, ia membawa sebilah pisau dapur sepanjang 30 sentimeter yang diminta Mariana, istrinya. “Saya memang menyuruh dia bawa pisau, untuk jaga-jaga,” ucap Mariana. Polisi sudah menyita pisau itu sebagai barang bukti.
Di salah satu sudut jalan, Murtede dipepet dua sepeda motor lain yang dikendarai empat pria. Mereka terlihat membawa celurit, katana, dan pedang. Murtede diminta berhenti. Ia cuek dan tetap memacu sepeda motornya menuju klinik.
Sepeda motor keempat pelaku menghadang Murtede di ujung jembatan Desa Bebile yang gelap dan sepi. Salah seorang begal menanyakan arah dan tujuan Murtede. Dengan memakai bahasa lokal, ia menjawab hendak mengantarkan makanan sahur untuk kerabat dan ibunya di rumah sakit. “Setelah itu saya langsung ditebas dengan celurit. Saya turun dari sepeda motor, lalu ditebas lagi,” ujarnya.
Tiga begal yang menggunakan senjata tajam mengeroyok Murtede. Seorang begal lain hanya menunggu di atas sepeda motor. Awalnya Murtede meladeni para begal dengan tangan kosong.
Setelah terdesak, akhirnya Murtede mengeluarkan pisau dapur dari balik baju. Ia bergelut lalu menikam seorang pelaku berbaju hitam hingga tersungkur. Rupanya, momen ini dimanfaatkan seorang pelaku lain dengan mencoba melarikan sepeda motor Murtede.
Ia mengejar lalu menusuk si begal. Kedua begal tewas di tempat. Sementara itu, dua begal lain melarikan diri dengan sepeda motor masing-masing.
Saat terjadi baku hantam, Murtede sempat berteriak meminta tolong. Ia melihat ada perumahan warga desa yang berjarak sekitar 10 meter dari lokasi pertarungan. Tapi tak ada satu pun penduduk yang datang menolongnya. “Lama setelah malingnya mati dan lari, baru ada yang keluar,” tuturnya.
Menjelang subuh, Murtede pulang. Ia selamat. Tak ada luka di tubuhnya. Tapi ia batal mengantarkan makanan sahur buat keluarganya. Sebagian nasi dan sayur kacang panjang yang dia bawa tumpah ke jalan. Setelah tiba di rumah, ia mengurung diri seharian di dalam kamar. Polisi akhirnya menjemput Murtede pada sore hari.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo