Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Direktur Utama PT Bio Farma (Persero) Honesti Basyir mengatakan kapasitas produksi vaksin Covid-19 dari Sinovac terus digenjot hingga mencapai 6 juta dosis per minggu.
Bio Farma telah menyepakati kerja sama 140 juta dosis bulk vaksin Sinovac.
Kelangkaan obat terapi Covid-19 membuat Honesti Basyir memperbanyak stok oseltamivir, favipiravir, azitromisin, dan ivermectin.
DIREKTUR Utama PT Bio Farma (Persero) Honesti Basyir berkejaran dengan waktu. Target pemerintah mempercepat vaksinasi Covid-19 di berbagai daerah membuat badan usaha milik negara yang dipimpinnya terus menggenjot produksi vaksin hingga kapasitas maksimal, yakni 250 juta dosis per tahun hanya untuk vaksin Covid-19 dari Sinovac. “Kami secara paralel juga sedang menambah kapasitas produksi untuk vaksin BUMN atau vaksin Merah Putih,” kata Honesti, 53 tahun, dalam wawancara khusus dengan Tempo melalui konferensi video, Jumat, 30 Juli lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sejak menerima 3 juta dosis pertama vaksin jadi Sinovac pada Desember 2020, Bio Farma mendapatkan pasokan bahan baku vaksin (bulk) untuk diperbanyak di fasilitas produksi di Bandung. Menurut Honesti, Bio Farma menyepakati kontrak dengan Sinovac sebanyak 140 juta dosis bahan baku vaksin, 123,5 juta dosis di antaranya sudah diterima. Bio Farma dan Kementerian Kesehatan juga telah mengimpor vaksin merek lain, tapi jumlahnya belum mencukupi kebutuhan nasional. Pemerintah pun menugasi Bio Farma menambah 50 juta dosis vaksin jadi dari Sinovac.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Honesti juga disibukkan oleh pemenuhan obat terapi pasien Covid-19. Sebagai Direktur Utama Holding BUMN Farmasi, ia mengerahkan dua anak perusahaan Bio Farma, PT Kimia Farma Tbk dan PT Indofarma Tbk, memperbanyak stok oseltamivir, favipiravir, azitromisin, dan ivermectin. Kapasitas produksi untuk favipiravir, misalnya, didongkrak dari 500 ribu menjadi di atas 2 juta tablet per hari. Namun tetap saja terjadi kelangkaan obat di pasar. “Kami enggak pernah menyangka bahwa terjadi second wave yang begitu besar di Indonesia,” ujarnya.
Kepada wartawan Tempo, Setri Yasra, Sapto Yunus, Mahardika Satria Hadi, Abdul Manan, dan Hussein Abri Dongoran, Honesti menceritakan keputusan di balik kerja sama dengan Sinovac, perburuan vaksin merek lain, upayanya mengatasi kelangkaan obat terapi pasien Covid-19, hingga riset vaksin Merah Putih dan vaksin BUMN. Mantan Direktur Utama PT Kimia Farma Tbk ini mengatakan pandemi menjadi momentum bagi Bio Farma dan lembaga-lembaga riset di Tanah Air mengembangkan dan memproduksi vaksin buatan sendiri.
Vaksinasi Covid-19 di beberapa daerah terhambat. Bagaimana stok vaksin saat ini?
Dari sisi suplai, ada bahan baku vaksin dan vaksin jadi. Bahan baku vaksin dari Sinovac yang sudah masuk 123,5 juta dosis. Kami sudah memproduksi 91,2 juta dosis. Sebanyak 65,8 juta di antaranya siap didistribusikan ke semua provinsi. Sisanya ada yang masih dites sampling oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Ada juga vaksin jadi, misalnya dari COVAX Facility dan hibah dari beberapa negara.
Dengan puluhan juta dosis vaksin yang tersedia, mengapa banyak provinsi atau kabupaten dan kota mengeluh kekurangan vaksin?
Kami melihat kecepatan di tiap daerah tidak sama. Alokasi vaksin diberikan kepada daerah-daerah yang cepat sehingga mereka tidak kekurangan stok. Ini butuh kerja sama dari pemerintah setempat. Mereka harus menghitung kebutuhannya. Kadang mereka salah hitung. Sudah mau masuk vaksinasi kedua ternyata vaksinnya kurang dan baru teriak. Komunikasi dan alokasi harus kami perbaiki. Saya pikir sangat wajar karena kita tahu data kependudukan juga in progress. Vaksinasi ibarat kita membangun rel kereta. Keretanya enggak boleh berhenti, jadi rel keretanya harus dibangun terus. Jadi wajar kalau ada yang kurang, ada yang berlebih.
Mengapa tidak mengimpor vaksin jadi saja sehingga tinggal mendistribusikannya?
Kita juga harus membangun kemandirian kesehatan nasional. Dulu kami berpikir harus kombinasi, tidak mau bergantung pada impor. Kita enggak tahu Covid berakhir kapan. Suplai vaksin juga terbatas. Kapasitas produksi semua perusahaan vaksin di dunia belum sanggup (memenuhi kebutuhan) dan menjadi rebutan. Itulah kenapa Bio Farma membeli bahan baku dan melakukan transfer teknologi sehingga kita pelan-pelan bisa membangun vaksin sendiri dan mengurangi ketergantungan impor. Kekurangannya kami dapatkan dari vaksin jadi. Mungkin tahun depan, saat herd immunity sudah terbentuk, kita tetap butuh vaksin untuk booster. Jangan sampai nanti masih impor padahal mampu memproduksi sendiri.
Vaksin jadi itu diperoleh dari mana?
Sekarang makin banyak vaksin jadi yang masuk. Awalnya dari Sinovac 3 juta dosis. Lalu dari AstraZeneca sudah masuk 4 juta dosis. Akan masuk lagi 4 juta dosis. Sinopharm yang sudah masuk 7,5 juta dosis. Bulan September masuk lagi 50 juta dosis. Kementerian Kesehatan juga sudah mendapatkan kesepakatan dengan Pfizer global sebanyak 51 juta dosis. Ditambah dari COVAX Facility ataupun dari hibah negara-negara lain.
Berapa penghematan yang diperoleh Bio Farma dengan membeli vaksin dalam bentuk bulk?
Harga vaksin jadi rata-rata US$ 15 per dosis. Untuk produksi sendiri, harga yang kami dapatkan dari penugasan Kementerian Kesehatan hanya US$ 8,5 per dosis. Hampir semua vaksin perlu dua dosis. Hanya beberapa, seperti Johnson & Johnson dan CanSino, yang satu dosis.
Bio Farma kabarnya kewalahan mengolah bahan baku vaksin. Mengapa tidak melibatkan perusahaan farmasi lain agar produksinya lebih cepat?
Di Indonesia baru Bio Farma yang bisa memproduksi vaksin secara masif. Kami bersama pemerintah juga membantu beberapa perusahaan farmasi untuk bisa memproduksi vaksin. Tapi ini butuh waktu. Mereka harus berinvestasi dan menginstal (peralatan). Standar produksi vaksin paling tinggi karena biological product. Tidak semua perusahaan farmasi bisa melakukannya.
Kapan vaksin Merah Putih bisa diproduksi massal?
Mungkin baru kami realisasi mulai April 2022.
Berapa target peningkatan kapasitas produksi vaksin Bio Farma?
Sekarang sedang ditambah sekitar 50 juta dosis untuk platform rekombinan. Tahun depan kami akan menambahkan 100-200 juta dosis lagi. Kami berharap kapasitas produksi vaksin bisa mencapai 500 juta dosis.
Bagaimana peran vaksin Merah Putih memenuhi kebutuhan dalam negeri dalam jangka panjang?
Vaksin Merah Putih dikembangkan oleh lembaga-lembaga riset dalam negeri dengan berbagai platform, dari inactivated virus, adenovirus atau viral vector, protein rekombinan, ataupun mRNA. Tidak semuanya berproses dengan cepat. Sekarang yang paling cepat baru dua, yaitu dari Universitas Airlangga dengan inactivated virus dan Lembaga Eijkman dengan rekombinan. Tugas kami di industri melakukan hilirisasi. Mereka hanya memberikan bibit vaksinnya. Proses formulasi menjadi vaksinnya dilakukan oleh industri, seperti Bio Farma.
Lembaga Eijkman telah menyetorkan bibit vaksin Merah Putih ke Bio Farma. Bagaimana prospeknya?
April lalu, Eijkman sudah menyerahkan seed vaccine ke kami. Dari sejumlah tes yang kami lakukan, ternyata bibit vaksinnya perlu dioptimalkan lagi. Sebab, kalau kami produksi, yield-nya rendah. Jika diproduksi, biayanya akan sangat besar.
(Kepala Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Amin Soebandrio kepada Tempo, Senin, 2 Agustus lalu, mengatakan lembaganya sudah menghasilkan bibit vaksin. Sejak Januari lalu, Eijkman menjalankan proses transisi dari laboratorium ke industri di Bio Farma. Tujuannya, meningkatkan yield agar proses industrinya berjalan lebih efisien dan harganya lebih murah. Ia memperkirakan uji klinis fase I vaksin Merah Putih bisa dimulai Desember 2021 atau Januari 2022 dan dapat diproduksi pertengahan 2022.)
Apa solusinya jika riset vaksin Merah Putih tidak menunjukkan hasil optimal?
Setelah ngobrol dengan Kementerian BUMN, kami mencari opsi lain. Kami tidak hanya menggandeng lembaga riset dalam negeri. Makanya kami juga bekerja sama dengan Baylor College of Medicine di Houston, Texas, Amerika Serikat. Baylor adalah salah satu lembaga riset bagus. Kami sedang mengembangkan vaksin BUMN yang berdasarkan platform protein rekombinan dengan mereka. Sudah masuk daftar vaksin WHO (Badan Kesehatan Dunia) nomor 121. Kandidat-kandidat inilah yang akan kami coba produksi tahun depan. Tapi, sebelum itu, mungkin kita akan menggunakan vaksin dari luar negeri, baik vaksin jadi maupun bahan baku.
Apakah Bio Farma ditugasi menjajaki kerja sama dengan lembaga riset luar negeri karena ada potensi kegagalan riset vaksin Merah Putih?
Enggak. Itu hal biasa. Di dunia vaksin kita enggak boleh menaruh satu telur di satu keranjang, he-he-he....
Dalam sejumlah penelitian, vaksin Sinovac disebutkan menghasilkan antibodi lebih sedikit ketimbang vaksin merek lain. Mengapa Bio Farma tetap melanjutkan pembelian vaksin Sinovac?
Ketika mulai mendengar beberapa lembaga riset mengembangkan vaksin, kami langsung menjalin komunikasi dengan semuanya. Saya berkomunikasi dengan BioNTech-Pfizer dan Oxford University. Di Oxford, ada karyawan kami sedang kuliah S-3, Indra Rudiansyah. Dia bagian dari tim peneliti. Dengan Sinovac, kami pernah bekerja sama untuk vaksin hepatitis B. Saat pandemi Covid-19 di Cina mulai mereda, kami menanyakan apakah mereka sudah memiliki bibit vaksin yang bisa dikerjasamakan. Memang yang merespons dengan cepat itu Sinovac. Tapi kami memilih Sinovac karena melihat data uji klinisnya memenuhi semua kriteria. Jadi enggak sembarangan juga. Mereka juga mau mentransfer teknologi sehingga kami bisa memproduksi vaksin sendiri. Lalu, soal standar pengemasan, vaksin Sinovac perlu 2-8 derajat Celsius. Di Indonesia memakai itu semua.
Bagaimana dengan pengembang vaksin lain?
Ada juga pengembang vaksin yang enggak mau B-to-B. Pfizer, misalnya, maunya dengan pemerintah langsung. Itu sudah kebijakan Pfizer global. Jadi mereka enggak pernah bekerja sama dengan industri vaksin di suatu negara. Dia kontraknya langsung dengan pemerintah setempat. Kalau di Indonesia adalah Kementerian Kesehatan.
Ada keraguan terhadap vaksin Sinovac karena dianggap tidak berhasil melawan varian delta. Bagaimana evaluasi pemerintah terhadap vaksin Sinovac?
Tidak ada satu pun vaksin yang sudah dinyatakan efektif terhadap varian delta. Bahkan efektivitas vaksin Pfizer di Israel hanya 39 persen. Di Inggris juga turun. Beberapa negara bagian di Amerika Serikat bahkan sekarang menghadapi second wave. Padahal mereka memakai vaksin Pfizer atau Moderna. Saya sering ditanya, "Pak Hones, apa vaksin terbaik sekarang?" Vaksin terbaik adalah lebih cepat divaksin. Sebab, vaksin tujuannya bukan membuat orang kebal seratus persen. Tujuannya mengurangi angka kematian dan melindungi tenaga kesehatan. Orang yang telah divaksin, seandainya terkena Covid-19, gejalanya ringan atau tanpa gejala. Coba Anda lihat statistiknya, 80 persen dari orang-orang yang sekarang dirawat di rumah-rumah sakit itu belum divaksin.
Sebagai pemimpin Holding BUMN Farmasi, bagaimana strategi Anda menghadapi persoalan kelangkaan obat terapi pasien Covid-19?
Kami enggak pernah menyangka terjadi second wave yang begitu besar di Indonesia. Kalau melihat pengalaman saat awal Covid juga ada kelangkaan obat. Tapi kami langsung menaikkan kapasitas produksi. Dengan prediksi tahun lalu itu kami anggap cukup. Cuma, kami tidak mengira ada varian delta yang penularannya lebih tinggi. Lewat dua anak perusahaan, Kimia Farma dan Indofarma, kami sudah meningkatkan kapasitas produksi untuk favipiravir, oseltamivir, azitromisin, dan ivermectin.
Direktur Utama PT Bio Farma Honesti Basyir memantau distribusi vaksin Covid-19 di PT Bio Farma, Bandung, Jawa Barat, 2 Agustus 2021. TEMPO/Prima Mulia
Seberapa besar peningkatan produksinya?
Favipiravir dari 500 ribu tablet menjadi di atas 2 juta tablet per hari. Oseltamivir sebanyak 400-500 ribu tablet per hari. Azitromisin saya pikir angkanya juga segitu. Ivermectin sudah 500 ribu tablet per hari. Remdesivir masih menunggu persoalan lisensi yang dipegang Gilead. Jika prosesnya lancar, kami mampu memproduksi 175 ribu vial per bulan. Presiden juga membikin 2 juta paket obat untuk isolasi mandiri. Kami memenuhi permintaan Presiden.
BPOM belum selesai menjalankan uji klinis ivermectin. Mengapa produksi dan distribusinya terus berlangsung?
Dalam konteks penanganan pandemi, banyak produk yang masih uji klinis boleh digunakan dalam layanan kesehatan karena kita enggak punya alternatif. Jika semuanya disuruh menunggu uji klinis kan butuh waktu. Orang sakit terus, masuk rumah sakit, dan ada yang sampai meninggal. Ini memang pilihan sulit, tapi harus dilakukan. Makanya namanya bukan obat Covid, tapi obat yang digunakan sesuai dengan gejala Covid. Minumnya harus sesuai dosis dengan resep dokter.
Banyak pasien Covid-19 kesulitan memperoleh obat terapi. Di mana sebenarnya letak kendalanya?
Suplai agak terganggu karena permintaannya sangat banyak. Kami harus mengakui bahan baku obat-obatan 90 persen masih impor. Dalam kondisi pandemi, kami mengimpor bahan baku paling banyak dari Cina dan India. Kemarin India juga kena, pasti dia berfokus untuk kebutuhan dalam negerinya dulu, sehingga ada pasokan yang datang tidak sesuai dengan jadwal. Tapi kapasitas produksi kami sudah penuh sampai tiga shift dalam 24 jam. Produsen farmasi bukan hanya BUMN, tapi ada industri-industri swasta.
Apa yang dapat dilakukan perusahaan swasta?
Seharusnya swasta juga agresif membuka data mereka. Mereka mempunyai kapasitas produksi berapa, sanggup mengimpor berapa, inventory mereka berapa. Kalau punya jaringan retail, mereka juga harus masuk ke website Farma Plus milik Kementerian Kesehatan sehingga masyarakat mengetahui data hariannya. Saya sudah membuka semua batasan Bio Farma. Pak Budi Gunadi Sadikin (Menteri Kesehatan) tahu persis berapa obat yang kami produksi per hari. Kami taruh di situs Farma Plus. Di situ terlihat ada 1.300 apotek Kimia Farma yang menjual obat apa saja dan jumlahnya berapa. Bisa enggak swasta juga berbuat seperti kami?
Bagaimana respons pemerintah?
Kami diminta impor.
Bio Farma selaku BUMN bertugas memperoleh keuntungan. Bagaimana kinerja perseroan selama mendapat penugasan mengurusi vaksin Covid-19?
Fungsi BUMN ada dua. Pertama, sebagai agen pembangunan. Kedua, harus create value dengan profitabilitas. Inilah menariknya menukangi BUMN. Kami harus bisa menjalankan penugasan, tapi di sisi lain harus mampu mencetak margin (laba). Apalagi, dalam kondisi pandemi, mau enggak mau fungsi agen pembangunan harus nomor satu. Tapi kami sudah digaransi pemerintah, "Kalian enggak boleh rugi." Jadi kami ada margin tapi tidak besar. Saat mendatangkan 3 juta dosis pertama vaksin Sinovac, misalnya, kami hanya diberi margin 2 persen. Dari penugasan produksi vaksin sendiri (dari bulk), kami cuma mendapatkan margin 5 persen. Dalam kondisi seperti ini, ketika APBN tidak begitu bagus, BUMN harus menunjukkan fungsinya di depan untuk membantu pemerintah.
Apakah Bio Farma merugi?
Kami enggak rugi karena digaransi pemerintah. Kalau rugi, kami ditombokin. Tapi kami tidak boleh untung banyak. Dari sisi produksi, kami terus melakukan efisiensi sehingga margin yang tipis itu tidak mengganggu operasional perusahaan. Kami memang berfokus ke Covid, tapi yang lain tidak kami tinggalkan. Kami menghasilkan produk-produk lain yang dibutuhkan program pemerintah. Vaksin lain, seperti BCG, DPT, polio, tetap diproduksi.
HONESTI BASYIR | Tempat dan tanggal lahir: Padang, 24 Juni 1968 | Pendidikan: S-1 Teknik Industri Institut Teknologi Bandung (1992); S-2 Corporate Finance Institut Manajemen Telkom, Bandung (2002) | Karier: Vice President of Strategic Business Development PT Telkom (2010-2012), Chief of Commissioner Mitratel (sejak 2012), Chief Financial Officer Telkom Group (Mei 2012-Desember 2014), Presiden Komisaris Telin (Januari 2015-April 2017), Presiden Komisaris Metra (Oktober 2016-April 2017), Chief Marketing Officer Wholesale and International Business Telkom Group (Desember 2014-April 2017), Direktur Utama PT Kimia Farma Tbk (April 2017-September 2019), Direktur Utama PT Bio Farma (Persero) dan Holding BUMN Farmasi (September 2019-sekarang) | Penghargaan: The Best CFO dari Finance Asia (2013); The Best Financial Performance, Indonesian Listed Company, Business Review Magazine (2013); Marketeer of The Year (2020)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo