Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pameran gambar dan lukisan karya Goenawan Mohamad
80 Tahun Goenawan Mohamad
PADA awalnya, sebuah gambar atau lukisan kita lihat sebagai susunan unsur-unsur seni rupa pada bidang gambar. Hal-hal lain yang menyertainya—dari judul sampai cerita tentang proses kreatif, biografi perupanya, dan sebagainya—bisa dipedulikan atau diabaikan. Pada akhirnya, kita kembali melihat gambar dan lukisan tersebut sebagai susunan garis, bidang, warna, barik, blabar, dan unsur seni rupa lain. Demikianlah kelaziman yang dinamakan pengalaman estetis.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pameran lukisan dan gambar karya Goenawan yang bertajuk Di Muka Jendela: Enigma di Nadi Gallery, Jakarta. Dok. Nadi Gallery
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Datanglah ke Galeri Nadi dan Galeri Salihara, dua galeri di Jakarta, pada hari-hari ini, Agustus hingga September. Dua galeri itu memamerkan sejumlah gambar dan lukisan Goenawan Mohamad atau akrab disapa GM. Dari jumlah karya, untuk sebuah pameran tunggal, sang perupa termasuk produktif. Ada seratusan gambar dan 17 lukisan di Galeri Nadi. Lalu ada 20 gambar dan hampir 27 lukisan, ditambah beberapa gambar dan buku sketsa dalam delapan meja etalase, di Galeri Salihara. Karya-karya ini dibuat praktis hanya dalam dua tahun, 2020 sampai 2021. Jumlah tersebut sudah tentu merupakan pilihan kurator, Hendro Wiyanto dan Malela Mahargasari. Entah berapa karya yang tak dipilih.
Suasana pameran Di Muka Jendela: Enigma yang menampilkan karya-karya lukisan Goenawan Mohamad di Salihara Arts Center, Jakarta. Dok. Salihara/Witjak Widhi Cahya P
Lukisan-lukisan, cat minyak atau akrilik pada kanvas, berukuran besar 1 x 1 meter atau lebih dihadirkan. Terdapat pula gambar-gambar pada kertas atau kanvas katun seukuran kertas gambar, rata-rata 30 x 40-an sentimeter. Ukuran yang membuat kita perlu mengambil jarak secukupnya untuk melihat keseluruhan sebuah lukisan, atau mesti mendekat ke gambar agar bisa menangkap dengan baik garis dan titik dan warna.
Ketika gambar berjudul Kuda Kematian itu didekati, akan terlihat bentuk orang, hewan, atau benda hadir tanpa latar, hanya putih atau hitam kertas. Kita “diarahkan” hanya melihat bentuk, nihil keterangan tempat, waktu dan keadaan. Bentuk itu, pada hampir semua gambar yang dipamerkan, tidak sulit kita kenali, tapi bukan dalam kehadiran sehari-hari. Orang, hewan, atau benda itu hadir bukan menjadi bagian dari sebuah peristiwa. Benda itu tidak digambarkan sebagai bagian dari alam nyata sehari-hari—ciri atau syarat sebuah karya gambar yang lazim dinamakan realistis. Kehadiran gambar seperti ini menjauhkan kita untuk berasosiasi dan lebih membuka jalan bagi sebuah pengembaraan imajis.
Maka di atas bentuk yang kita kenali sebagai kuda dan penunggangnya—dua-duanya seperti kerangka—ada sebuah bentuk mungkin seekor ikan entah apa, lalu tiga baris kalimat: “Tak kutahu setinggi itu/atas debu dan duka/maha tuan bertahta”. Pada susunan kalimat itu, di sisi kanan, ada juga sebuah bentuk, mungkin, seekor lele. Dan dalam gambar yang abu-abu ini, pada kepala sosok seperti ikan tersebut, terdapat sebuah bercak merah ringan.
Karya ini satu contoh karya gambar Goenawan Mohamad yang “lengkap”: ada bentuk, ada warna, dan ada kalimat. Seluruhnya merupakan kesatuan meski tak berdempetan, diikat oleh putih bidang gambar. Maka muncullah imaji-imaji pada kepala orang yang melihatnya, sebagai perpaduan pengalaman yang tersimpan. Itulah “rasa” yang diperoleh dari garis dan bentuk dari gambar—katakanlah sebuah pengalaman estetis. Sudah barang tentu gambar itu sendiri tak berubah dalam waktu, sementara yang melihat dari waktu ke waktu “berubah” karena pengalaman hidup.
Gambar Kuda Kematian karya Goenawan Mohamad.
Pengalaman estetis itu berlangsung ketika “percakapan” antara gambar dan yang melihat terjadi. Percakapan terjadi bila dua-duanya memiliki “kualitas” tertentu. Kualitas pada diri ini mengacu pada kepekaan rasa serta kekayaan pengalaman, termasuk pengalaman melihat karya seni rupa dan karya-karya seni lain melalui indra lain—misalnya pendengaran. Juga pengalaman yang diperoleh bukan dari pancaindra, misalnya pengalaman yang bersifat pengetahuan. Dengan kata lain, “kualitas” percakapan itu melibatkan seluruh intuisi yang melihat, bila kita artikan intuisi sebagai perbendaharaan di bawah alam bawah sadar. Perbendaharaan yang diperoleh tersebut berupa pengalaman rasa dan lain-lain, misalnya pengalaman bernalar.
Adapun pada karya gambar atau karya seni rupa, “kualitas” itu terbentuk oleh susunan atau organisasi unsur-unsur seni rupa. Pada pembelajaran seni rupa sudah tentu ada teori-teori. Misalnya teori komposisi: berbagai garis, warna yang kontras dan harmonis, serta bidang yang tenang dan berbarik. Namun, lazim dalam dunia seni, para seniman kreatif justru memelesetkan, membelokkan, atau sama sekali menyusun teori “baru”. Maka kualitas pada karya adalah “relatif”. Namun, serelatif-relatifnya kualitas pada karya seni rupa, karya itu sendiri bisa mencerminkan kualitasnya.
Lukisan Lembu Suro karya Goenawan Mohamad.
Pada gambar-gambar dan lukisan Goenawan Mohamad, misalnya, terutama pada figur manusia, kadang kita melihat anatomi yang terasa janggal. Umpamanya, hubungan antara pundak, dan lengan, yang terasa tidak anatomis pada lukisan Lembu Suro yang berukuran 3 x 2 meter, dipamerkan di Galeri Nadi. Atau pada gambar-gambar, terutama gambar-gambar lama dari 2016. Para penunggang kuda, juga pada para penari dalam gambar yang dipamerkan di Galeri Salihara yang ditaruh pada meja etalase (vitrin), memiliki letak tangan dan kaki dengan tubuh yang terasa janggal. Namun lukisan dan gambar-gambar itu tidak kita lihat semata anatomi figurnya.
Ada hal lain yang lebih membentuk “rasa” gambar dan lukisan: rasa goresan garis yang liris dan mood yang tersuguhkan sebagai hasil sapuan warna muram, misalnya. Memang, rasa garis dan mood yang muncul dari perpaduan warna tak kemudian menghilangkan anatomi yang janggal. Rasa dan mood itu lebih mengedepan. Sebab, gambar dan lukisan tersebut, seperti sudah disebutkan di awal tulisan ini, tak hendak merekam atau menyuguhkan peristiwa nyata.
Jadi kita perlu melihat, dalam hal ini, anatomi yang benar. Mungkin teringat bahwa pameran ini adalah pameran gambar dan lukisan seorang penyair. Jauh sebelum Goenawan Mohamad menggambar atau melukis dengan sungguh-sungguh, sajak-sajaknya sudah diapresiasi sebagai karya sastra yang bermutu. Kejanggalan pada gambar dan lukisan itu seumpama kalimat dalam sajak yang tidak mengikuti tata bahasa yang baik dan benar.
Goenawan yang produktif, terutama pada karya gambarnya, dengan sendirinya mengurangi adanya kejanggalan. Keterampilan menggambar dan melukis berkaitan dengan “jam terbang”. Dan “jam terbang” itu ditempuhnya dengan memadatkan waktu. Ia tampaknya menggambar dan melukis siang dan malam. Terbukti, dalam waktu yang relatif pendek, ratusan gambar dan puluhan lukisan ia ciptakan.
Suasana pameran Di Muka Jendela: Enigma yang menampilkan karya-karya lukisan Goenawan Mohamad di Salihara Arts Center, Jakarta. Dok. Salihara/Witjak Widhi Cahya P
Yang saya lihat, terutama pada lukisan, keterampilan yang dicapai dan aliran rasa serta mood itu tampaknya “bertabrakan”. Dorongan untuk, pada lukisan-lukisan potret sosok misalnya, melukis wajah yang persis dan menghadirkan rasa dan mood kadang tidak seirama (hal ini juga disebutkan oleh Hendro Wiyanto pada pengantar kuratorial di katalog). Pada Ayu, misalnya, saya melihat upaya melukiskan wajah semirip mungkin menyusutkan rasa dan mood. Sementara itu, pada Avianti dan Puisi ada kepaduan antara keduanya: kemiripan dan rasa serta mood. Garis-garis yang entah menyiratkan apa pada Avianti membentuk suasana lukisan ini. Garis-garis itu membuat lukisan ini “hidup”. Terasa ada gaung yang bebas bergema yang membawa kita mengembara dalam pengalaman estetis.
Lukisan Avianti dan Puisi karya Goenawan Mohamad.
Ada yang memerlukan upaya, bukan sekadar melihat, untuk memahami sejumlah gambar pada pameran ini. Kita perlu berupaya membuka-buka buku karena gambar-gambar itu dibuat pada sebuah buku sketsa. Setidaknya ada dua buku yang seandainya gambar-gambar itu dilepas dan dibingkai bisa memeriahkan ruang pameran. Itulah gambar-gambar yang ada di Kitab Petatah-Petitih dan Biografi Pendek 10 Hantu Nusantara.
Pepatah itu memang dipelesetkan. Maka ada gambar burung hantu dan bulan serta teks percakapan antara bulan dan burung itu. “Benarkah kamu merindukan aku?” Si burung menjawab: “Ah, itu cuma gosip.” Atau gambar seekor udang dan batu. Teks: “Ada udang di balik batu. Tapi tidak ada sambalnya.”
Gambar Hantu Rapopo karya Goenawan Mohamad.
Adapun pada biografi hantu, salah satunya ada gambar sesosok figur tambun dengan wajah bertopi seperti memedi sawah. Inilah hantu Rapopo. Teksnya berbunyi: “Gemuk dan sombong, hantu Rapopo ini berasal dari pekuburan antara Krawang dan Bekasi, ‘Saya kenal semua tulang-tulang yang berserakan di sana,’ katanya. Tapi ia tak suka puisi Chairil Anwar. Seperti umumnya hantu, ia penggemar sajak Ajip Rosidi.”
Dari dua buku sketsa tersebut, menurut selera saya, gambar hantu Rapopo paling mencerminkan keterampilan Goenawan menggambar setelah bekerja keras selama empat tahun terakhir. Tak ada kejanggalan anatomi. Warnanya harmonis dan rasa serta mood terjaga.
Gambar pada buku sketsa Biografi Pendek 10 Hantu Nusantara di pameran Di Muka Jendela: Enigma di Salihara Arts Center. Dok. Salihara/Witjak Widhi Cahya P
Barangkali pameran di dua galeri ini bisa disebut sebagai pameran retrospeksi Goenawan Mohamad, biarpun ia relatif baru dalam seni rupa. Praktik seni rupanya mungkin singkat, tapi apresiasinya terhadap seni rupa tumbuh pada awal 1960-an, sejak ia suka bertandang ke Sanggar Bambu di kawasan Pasar Rumput, Jakarta. Hal ini pun tumbuh sejak ia menjadi pemimpin redaksi majalah Tempo yang sangat peduli pada gambar kulit muka—setidaknya menurut Malela Mahargasari dalam pengantar kuratorial di katalog.
Direktur Independen PT Tempo Inti Media Tbk, Sri Malela Mahargasarie, di kantor Tempo, Jakarta, Jumat, 23 Maret 2018. TEMPO/Rully Kesuma
Terkesan, dari pengantar kuratorial kedua kurator tersebut, “Ge-em”—demikian orang-orang sekitarnya memanggilnya—masih akan terus berseni rupa, setidaknya karena dua hal. Pertama, baginya media seni rupa tak ubahnya bagai kata bagi sosok penyair yang mesti “dibunuh”, kata Nirwan Dewanto, ini. Itu diperlukan agar muncul sajak-sajak yang bermutu, tapi bukan sajak suasana sejenis sajak Goenawan (dan Sapardi Djoko Damono). Kedua, apa yang hendak dinyatakannya pada kertas dan kanvas sungguh demikian kaya.
Hal ini berkat pengalamannya berkesenian (ia juga menyutradarai sebuah opera, misalnya Opera Tan Malaka dan tari dalam Panji Sepuh) dan perbendaharaan pengetahuan yang terhimpun setidaknya dari minggu ke minggu karena ia harus menulis Catatan Pinggir. Pameran ini kebetulan menjadi bagian dari perayaan 80 tahun usia Goenawan Mohamad, 29 Juli 2021.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo