Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Ulasan film Kotaro Lives Alone tentang kisah anak Jepang yang mandiri.
Konflik dan plotnya tidak klise dan picisan.
NAMANYA Kotaro Sato. Umurnya 5 tahun. Ia punya poni mangkok yang membingkai wajah bundarnya, membuatnya terlihat amat menggemaskan. Kotaro suka mengenakan kaus bertulisan “God”, memakai topi, dengan katana—pedang panjang khas Jepang—hampir selalu tersarung di pinggangnya. Tentu katana itu hanya mainan, yang sering dikibas-kibaskan Kotaro ke depan orang dewasa yang kadang menjahilinya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Walau fisiknya imut-imut, cara bicara Kotaro tak seperti kebanyakan bocah sepantarnya. Ia sering bercakap sok dewasa, meniru karakter anime idolanya, Tonosaman, seorang pahlawan Jepang pada zaman Edo (1603-1867). Suatu hari, Kotaro datang sendiri ke Apartemen Shimizu. Ia menjadi penghuni baru kamar 203 yang bertempat di lantai 2. Kepindahannya ini membuat penghuni lain bertanya-tanya, siapa, sih, bocah ajaib yang bisa-bisanya tinggal sendiri di apartemen itu? Kenapa orang tuanya tega amat membiarkan bocah usia taman-kanak-kanak ini hidup sebatang kara?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Natsuki Deguchi (kiri) beradu akting dengan Eito Kawahara dalam Kotaro Lives Alone. Netflix
Segunung misteri tentang Kotaro Sato menjadi jangkar serial Kotaro Lives Alone (Kotaro Lives by Himself) yang tayang di Netflix sejak bulan lalu. Serial ini pendek, hanya terdiri atas 10 episode yang masing-masing hanya berdurasi 20-an menit. Rasa penasaran kita sebagai penonton dibangun sejak awal, yakni saat Kotaro (diperankan Eito Kawahara) mengetuk pintu kamar Shin Karino (Yu Yokoyama), yang tinggal tepat di sebelahnya. Karino adalah penulis manga—komik khas Jepang—amatir yang terlihat bodo amat terhadap sekitarnya. Jangankan mengurus pekerjaan dan pacar, kamarnya saja dibiarkan berantakan.
Namun, secuek-cueknya Karino, ia diterkam rasa penasaran juga terhadap tetangga barunya yang mungil ini. Kepada Karino-lah kita sebagai penonton menitipkan sejuta pertanyaan tentang masa lalu Kotaro. Bagaimana dia bisa tinggal sendiri, siapa yang membiayainya diam-diam selama ini, juga sosok orang tuanya yang sempat gelap hingga perlahan terkuak di pengujung serial. Belum lagi hal-hal kecil lain tentangnya yang menarik, misalnya kebiasaannya berlangganan lima koran, juga tidur sambil berjalan.
Kemandirian Kotaro juga mengundang rasa geregetan. Bagaimana bisa seorang bocah 5 tahun begitu fasih mengurus kebutuhan sendiri? Tak hanya mandi, masak, dan makan sendiri, Kotaro pun bisa mengurus dirinya di sekolah. Tak ada satu pun barang di kamarnya yang terserak. Ah, jangan lupa, dia juga tak pernah terlihat mengeluh. Momen Kotaro meminta bantuan orang lain pun bisa dihitung dengan jari.
Adegan dalam Kotaro Lives Alone. Netflix
Cerita yang berasal dari manga Kotaro wa Hitorigurashi karangan Mami Tsumura ini terasa hangat bahkan sejak episode pertama. Padahal, sejatinya, serial ini menyuguhkan problem besar, yakni dampak kekerasan dalam rumah tangga terhadap anak, juga konsep inner child atau pengalaman masa lalu. Namun persoalan itu dibumbui dengan drama keseharian yang alami; yang kadang pahit, tapi banyak manisnya.
Shin Karino adalah kita yang bersimpati kepada Kotaro. Dari semula kesal lantaran ada anak kecil yang menghuni kompleks tempat tinggalnya, Karino perlahan memberikan perhatian lebih kepada si bocah. Karino mulai mengantarkan Kotaro ke sekolah dan berbelanja ke supermarket, datang ke pemandian umum bersama, hingga akhirnya menemani anak itu tidur. Kalimat yang konsisten diucapkan Karino kepada Kotaro sejak awal adalah “mari kita bersama-sama menjadi lebih kuat”. Ibarat mantra, kalimat itu mempererat hubungan keduanya. Motivasi Karino dalam menggarap manga pun mulai tumbuh berkat Kotaro, padahal sebelumnya semangat itu sudah berguguran.
Kotaro Lives Alone. Netflix
Keberadaan Kotaro di Apartemen Shimizu tak hanya berdampak bagi Shin Karino, tapi juga pada penghuni lain, seperti Mizuki Akitomo (Maika Yamamoto), perempuan yang bekerja di sebuah pub. Juga Isamu Tamaru, seorang bapak yang gayanya bak anggota yakuza tapi sebenarnya melankolis dan sayang kepada Kotaro. Tamaru adalah perwujudan ungkapan “tampang Rambo, hati Rinto” dalam serial tersebut. Tiga orang itu semula tak akrab. Tapi, karena sama-sama peduli kepada Kotaro, mereka mulai kompak sebagai support system si bocah.
Adegan dalam Kotaro Lives Alone. Netflix
Di lingkungan sekolah pun keberadaan Kotaro membawa perubahan. Setidaknya bagi guru baru di TK-nya yang periang dan menaruh perhatian khusus terhadap Kotaro. Kisah masa lalu sang guru inilah yang menjadi pembuka pintu ke ruang konflik yang lebih besar: tentang trauma masa kecil, juga “dosa” orang tua yang menggoreskan luka pada hidup seorang anak hingga ia tumbuh dewasa. Perjalanan psikologis sebagai anak, seperti disuarakan dalam serial ini, memang tak mudah. Namun begitu pun menjadi orang tua, pelajaran tak pernah habis.
Konflik dalam serial ini tersampaikan secara ringan. Padahal, seandainya dieksplorasi menjadi adegan emosional penguras air mata, hal itu mudah saja dilakukan. Namun Kotaro Lives Alone memilih tak berakhir menjadi serial picisan. Satu per satu persoalan mengalir dalam setiap episode, tapi selalu berujung pada penyelesaian damai dan hangat. Tentu ada banyak adegan penuh haru dari interaksi Kotaro dengan kawan-kawan dewasanya ini. Seperti saat ia memeluk Karino tengah malam, meminta ditemani tidur. Atau saat Kotaro berjoget kaku menirukan lagak karakter anime Tonosaman. Ya, bocah tetaplah bocah, seberapa pun keras ia berlagak dewasa.
Pemeran Kotaro Sato, Eito Kawahara, menjadi magnet yang tak hanya merekatkan orang-orang di sekitarnya. Ia juga membuat kita, penonton, terjerumus ke keseharian dan masa lalunya yang berkabut. Eito, 8 tahun, membawakan Kotaro dengan asyik. Kotaro yang diselubungi misteri, kompleks, sok dewasa, tak ekspresif (hanya sesekali dalam serial ini ia tampak tersenyum), jujur, dan polos. Saking polosnya, Kotaro menduga hidup soliter akan membuatnya lebih kuat dan disayangi ayahnya. Ia tak mau menjadi anak kecil biasa karena tak mau terlihat lemah di depan sang ayah.
Kotaro membukakan jalan bagi peran-peran pendukung itu untuk mengembangkan karakter mereka. Walau drama berjalan lambat, kisah yang kuat dari para peran pendukung itu sangat menghibur dan menyentuh. Tak ada antagonis sejati di sini. Yang ada hanya orang-orang dewasa yang pernah salah, terjatuh, tapi akhirnya memperbaiki diri. Begitu juga peran anak-anak dalam Kotaro Lives Alone, direpresentasikan sebagai “dampak” perbuatan orang dewasa.
Adegan dalam Kotaro Lives Alone. Netflix
Mengingat kehangatan yang terus melingkari hidup bocah Jepang Kotaro, pikiran kita bisa jadi bakal melancong ke banyak hal. Pertama, mungkinkah lingkungan di luar justru lebih ramah anak ketimbang rumah sendiri? Kedua, apa kabar ribuan anak Indonesia yang menjadi yatim-piatu setelah orang tua mereka meninggal karena terjangkit Covid-19?
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo