Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Telah lama Muhammad Yunus menyerahkan hidupnya kepada Bangladesh, kepada 150 juta lebih warga negeri itu. Tapi kaum duafalah yang mendapatkan tempat istimewa di dalam hatinya. Dia menyokong mereka menghalau kemiskinan. Dia merangkul mereka melalui gerakan kredit mikro: menawarkan pinjaman, tanpa jaminan, seraya melepaskan mereka dari kungkungan lintah darat.
Di Jobra, sebuah desa yang suram dan merana di Chittagong—sebelah tenggara Bangladesh—Yunus melakukan ”uji coba” pertama kredit mikro. Uang US$ 27 (kini setara dengan Rp 270 ribu) dia pinjamkan kepada 42 wanita termiskin. ”Masa-masa di Jobra mengajarkan kepada saya bahwa pinjaman kecil amatlah berarti bagi orang miskin,” ujarnya kepada Tempo. Tiga dekade lebih lewat sejak uji coba itu. Kini Yunus dan Grameen Bank (alias Bank Desa) yang dia lahirkan telah tumbuh menjadi satu raksasa ekonomi.
Setiap hari Grameen mengucurkan pinjaman US$ 5 juta. Bagi Yunus, ”Ini bisnis sosial, sebuah sistem yang memberdayakan orang miskin. Anda tidak menarik keuntungan apa pun dan Anda tidak kehilangan modal.” Sekitar 36 persen warga Bangladesh hidup di bawah garis kemiskinan. Yunus dan Grameen Bank berhasil menjangkau 80 persen dari mereka. ”Kami sedang mengejar 20 persen yang tersisa,” katanya.
Lahir dari keluarga kaya dan terpandang, kemiskinan bukanlah hal asing bagi profesor ekonomi lulusan Amerika ini. Tapi persentuhan dia yang sesungguhnya dengan orang miskin terjadi tatkala kelaparan besar melanda Bangladesh pada 1974. Yunus mengaku, dia sadar betapa teori-teori ekonomi hebat yang dia ajarkan di universitas tidak mampu menolong. Dia berupaya keras mencari jalan keluar untuk menolong orang-orang papa itu. Usahanya tidak sia-sia. Rantai kreditnya berhasil menghela jutaan orang melarat. Lahirlah julukan ”Bankir Kaum Miskin”.
Pengabdian Yunus menelurkan puluhan penghargaan internasional. Dan Nobel Perdamaian menjadikan dia selebritas dunia. Di Balai Kota Oslo, dia naik panggung untuk menerima Nobel Perdamaian pada 10 Desember 2006. Nun jauh di Dhaka, di Chittagong, di ratusan desa Bangladesh, orang-orang bersorak, berpekik gembira, mengelu-elukan kemenangannya. Putrinya, Monica Yunus, seorang soprano tersohor di New York, mempersembahkan lagu bagi ayahnya. ”Saya sangat bahagia dan bangga,” ujar Monica ketika itu.
Pekan lalu, Yunus berada di Indonesia selama hampir satu minggu. Di tengah jadwalnya yang amat padat, dia memberikan wawancara khusus kepada majalah ini. Wartawan Tempo Philipus Parera, Akmal Nasery Basral, Budi Riza, Hermien Y. Kleden, serta fotografer Bismo Agung menjumpainya di Hotel Borobudur, Jakarta.
Air mukanya ramah, tutur katanya santun namun tegas. Suaranya hangat, dengan irama yang naik-turun bergantian. Dia mengenakan kurta atau baju tradisional Bengali putih berpadu kotak-kotak biru dari katun sederhana. Sosoknya lebih mirip dosen sederhana ketimbang selebritas dunia. Pertemuan dengan Yunus berlangsung satu setengah jam lebih, diselingi sesi pemotretan yang mengundang tawa berderai-derai.
Berikut ini petikannya.
Berapa banyak keluarga miskin di Bangladesh yang telah Anda jangkau?
Delapan puluh persen lebih. Sisanya akan segera kami jangkau. Sepanjang 2005, kami mendirikan satu cabang Grameen Bank baru setiap hari. Totalnya 380. Pada 2006 lebih meningkat lagi. Kami menambah satu setengah cabang bank baru dalam sehari. Kami ingin pergi ke semua tempat di Bangladesh untuk memastikan semua keluarga miskin berada dalam sistem kredit mikro Grameen.
Apakah pemerintah Anda mendukung penuh aktivis Grameen?
Relasi kami dengan pemerintah Bangladesh bisa saya katakan panas-dingin. Selalu ada ketegangan dengan pemimpin politik dan pemerintah. Kadang mereka amat mendukung, tapi lebih sering menentang. Tapi kami tidak berhenti karena mereka.
Anda berasal dari keluarga kaya dan terpandang, belajar di luar negeri, menjadi profesor ekonomi. Bagaimana Anda belajar memasuki dunia orang miskin?
Saya tidak pernah melihatnya seperti itu. Saya semata-mata melihat itu sebagai sebuah problem yang menyentuh dan mencari tahu apa ada yang bisa saya lakukan untuk mengatasinya.Saya mulai melakukan beberapa upaya kecil. Ada yang berhasil, ada yang gagal. Yang berhasil saya teruskan, sedangkan yang gagal saya coba cari tahu sebabnya dan mencoba membuatnya berhasil. Itu yang saya lakukan. Sebab, bagi saya, kemiskinan adalah sesuatu yang tidak bisa diterima.
Itu pula yang Anda katakan saat memberikan wawancara pertama setelah mendapat Hadiah Nobel….
Betul. Kemiskinan adalah sebuah kondisi yang diciptakan (artificial condition)—dan bukan kesalahan si miskin. Mereka mendapatkan hukuman justru karena kesalahan orang lain. Menurut saya, ini sangat tidak adil. Jika kemiskinan itu melekat sebagai sesuatu yang dibawa lahir oleh seseorang, saya bisa mengerti. Saya mulai berpikir, apa yang bisa saya lakukan. Lalu saya melihat peluang ini untuk membantu orang miskin agar menjadi lebih baik. Hal itu membawa saya pada serentetan upaya secara bertahap, yang hasilnya kini bisa Anda lihat dalam bentuk kredit mikro Grameen Bank.
Ketika mulai menawarkan kredit kepada penduduk miskin Bangladesh, apakah Anda diterima dengan kecurigaan?
Sama sekali tidak, malah bisa dikatakan sangat mudah. Sebab, sebelumnya, mereka selalu meminjam uang dari lintah darat. Jadi saya hanya ”menggantikan para lintah darat” dengan memberi mereka pilihan yang lebih baik (tertawa lebar).
Benarkah para pengemis pun bisa menjadi nasabah? Orang-orang yang semiskin apa pun?
Benar. Kami memiliki 100 ribu nasabah pengemis. Memang ada syaratnya, yakni mereka tak boleh mengangsur pinjaman dari hasil mengemis, harus dari menjual sesuatu. Untuk mereka, tidak ada batas waktu pengembalian.
Modal awal Anda ketika menjajaki proyek ini adalah US$ 27 (sekitar Rp 270 ribu). Kini Grameen telah menjadi raksasa yang menyalurkan dana sekitar US$ 5 juta per hari. Bagaimana Anda melakukan pengawasan agar tak terjadi penyelewengan?
Sistem kontrol kami ketat dan menyeluruh. Melalui komputer, semua sistem kami saling terhubung sehingga apa yang terjadi di cabang-cabang segera diketahui. Kami mempublikasikan laporan secara terbuka sehingga berkembang dengan sendirinya menjadi sebuah sistem kontrol yang kuat. Kami menerapkan mekanisme insentif bagi staf untuk mencegah mereka melakukan hal buruk seperti korupsi. Hal lain yang penting dalam kerja kami adalah keamanan.
Keamanan?
Ya, Anda bayangkan saja, setiap hari kami meminjamkan sekitar US$ 5 juta. Uang sebesar ini diantar dari rumah ke rumah oleh para petugas Grameen. Kerap mereka dihadang para perampok di jalan.
Ada yang terbunuh?
Beberapa. Para begal sudah tahu rute, jadwal, serta jumlah uang yang dibawa pegawai Grameen. Tapi petugas kami tak sudi mengalah kepada perampok. Terjadi rebut-merebut sampai ada yang tertembak dan meninggal. Sehingga kami lalu menerapkan prosedur baku: nyawalah yang terpenting. Jika dicegat perampok, berikan saja uangnya dan selamatkan diri Anda.
Banyak organisasi besar di dunia gagal menaikkan level orang miskin. Kok, Anda bisa begitu optimistis?
Pertama-tama, angka kemiskinan dunia terus menurun. Tahun ini bahkan amat menjanjikan. Cina, misalnya, berhasil menurunkan angka kemiskinannya hingga di bawah 20 persen. Ada statistik yang mengatakan 15 persen, ada yang 12 persen. Sebelumnya amat tinggi. Jadi ini sukses besar. Vietnam, pada 1960-an, angka kemiskinannya 60-an persen. Saat ini di bawah 20 persen. Jadi, kalau ada yang mengatakan angka kemiskinan tak menurun, pasti ada yang salah.
Laporan terbaru Bank Pembangunan Asia (ADB) menyebutkan jurang antara yang kaya dan yang miskin di negara berkembang kian lebar. Apakah ini berarti tantangan terhadap upaya pemberantasan kemiskinan kian berat?
Itu problem jamak di semua negara berkembang. Pada saat perekonomian tumbuh, orang yang di atas tumbuh jauh lebih cepat daripada yang di bawah. Tahun ini perekonomian Cina, misalnya, tumbuh hampir 12 persen, tapi tidak menjangkau seluruh masyarakat. Yang di bawah terpuruk dibanding mereka yang di atas. Ketidakseimbangan pendapatan kian besar. Ini amat memalukan bagi sebuah negara komunis.
Bagaimana dengan Bangladesh? Setahu kami, kemiskinan di negeri Anda pernah mencapai 80 persen.
Betul. Tapi sekarang cuma tinggal separuhnya, tak sampai 40 persen. Lima tahun di awal abad ini, angka kemiskinan kami turun rata-rata 2 persen per tahun. Jika tetap begini, kami akan berhasil mengurangi kemiskinan hingga setengahnya pada 2015, sesuai dengan target nomor satu Millennium Development Goal, bahkan bisa lebih cepat.
Anda telah bertemu dengan Presiden Yudhoyono dan sejumlah kalangan. Kira-kira bagaimana peluang Indonesia?
Hari ini saya berbicara dengan United Nations Development Programme (di Jakarta) dan saya tahu negara ini punya masalah. Tapi perekonomian terus berkembang dan saya melihat Anda memiliki pemerintah yang menaruh perhatian terhadap masalah kemiskinan. Sangat mungkin Indonesia juga akan berhasil.
Banyak orang percaya upaya pemberantasan kemiskinan amat bergantung pada perbankan. Problemnya, bank komersial lebih berorientasi pada orang kaya….
Benar. Sistem finansial hanya memperhatikan perusahaan menengah dan kecil karena adanya tekanan sosial dari media atau pemerintah. Kita harus keluar dari sana. Menurut saya, kita butuh sebuah bentuk bisnis baru, yaitu bisnis sosial.
Tolong beri definisi yang sederhana dari bisnis sosial….
Ini sebuah bisnis yang tidak mengambil untung, tapi juga tidak rugi. Jadi pengusaha berbisnis karena ingin meraih tujuan-tujuan sosial, menolong orang keluar dari kemiskinan.
Lo, apa bedanya dengan kegiatan amal?
Sangat berbeda! Dalam kerja-kerja karitatif, Anda tidak mendapatkan uang Anda kembali. Dalam kegiatan charity, kegiatan hanya berlangsung secara sepihak dan satu kali saja. Uang diberikan, lalu selesai. Dalam bisnis sosial, modal Anda harus kembali—walau tanpa laba—sehingga bisnis terus berjalan.
Wah, bukankah setiap orang yang berbisnis ingin mengejar keuntungan?
Setiap manusia memiliki sisi lain dalam dirinya yang ingin menolong orang lain. Saya percaya, sekali kita berhasil mendirikan satu bisnis sosial, yang lain akan mengikuti.
Tanpa keuntungan, bagaimana bisnis sosial bisa bertahan, misalnya, terhadap inflasi?
Inflasi adalah masalah finansial. Bukan tidak mungkin bisnis sosial malah memproteksi Anda terhadap inflasi. Dan jangan lupa, bisnis sosial adalah sebuah usaha. Artinya, ada perhitungan biaya di sana.
Penjelasan Anda ini membuat kami mendapat kesan orang perlu mapan dulu secara ekonomi sebelum masuk ke wilayah bisnis sosial?
Tidak selalu harus begitu. Kalau saya mewarisi sejumlah uang dari ayah saya, saya punya pilihan untuk mencetak lebih banyak uang atau menggunakan uang ini membangun bisnis sosial. Menurut saya, orang-orang muda perlu digerakkan dan dilibatkan dalam kegiatan ini. Pada 1960-an, semua orang muda di seluruh dunia berusaha untuk membangun sesuatu yang baru. Di Amerika Serikat, mereka menentang Perang Vietnam. Di Eropa, mereka turun ke jalan-jalan, berjuang untuk membangun satu dunia yang sosialis. Tapi sekarang? Mereka lebih banyak bersenang-senang karena mereka frustrasi, tak tahu apa yang harus dilakukan.
Maksud Anda, sekali gagasan ini bisa ditularkan ke orang muda, mereka akan bergerak?
Betul. Itulah tantangan kita: berbicara kepada anak-anak muda. Kalau perlu, mari kita ajarkan di sekolah dan dalam buku-buku teks bahwa bisnis memiliki dua sisi.
Apakah Anda tidak percaya lagi pada kapitalisme?
Saya tidak pernah berusaha membuang kapitalisme. Bagi saya, kapitalisme adalah sistem setengah jadi (half-done system). Sistem ini menciptakan para pengusaha yang hanya tahu mencari uang. Maka timbul masalah. Pasar bebas juga tidak jelek. Sayangnya, di pasar bebas, persaingan cuma terbatas untuk mencari uang. Bagaimana dengan kompetisi untuk berbuat baik?
Banyak orang mengatakan kompetisi semacam itu tidak ada.
Menurut saya ada.
Kalau benar semua orang ingin berbuat baik, kenapa masih banyak yang miskin di dunia?
Kuncinya adalah kesempatan. Banyak orang tidak tahu bagaimana harus berbuat kebaikan dalam bisnis. Karena tidak bisa melakukan itu, orang lalu membuat lembaga-lembaga sosial untuk charity.
Kalau Anda berani berbisnis sosial, mengapa Grameen menarik bunga?
Jika tidak, usaha ini tidak akan berlanjut, ha-ha-ha…. Bunga pinjaman untuk usaha 20 persen, perumahan 8 persen, pendidikan 5 persen, dan nol persen untuk pengemis.
Oke. Tapi Anda menarik bunga tinggi sekali untuk investasi: 20 persen?
Katakanlah ini suatu kapitalisme. Tapi pemilik bank ini adalah para peminjam. Jadi para kapitalis itu adalah para peminjam itu sendiri. Jadi uang tidak akan mengalir keluar. Kalau ada keuntungan, ya, jatuhnya ke nasabah juga. Sebab, Grameen adalah sebuah sistem tertutup.
Tampaknya, tulang punggung Grameen Bank adalah wanita Bangladesh….
Ha-ha-ha…. Dari 7,3 juta peminjam kami, 97 persen adalah wanita. Mereka bukan sekadar tulang punggung. Mereka adalah tubuh dari bank.
Mengapa Anda amat yakin bahwa kaum perempuan akan membawa Bangladesh keluar dari kemiskinan?
Bank-bank di Bangladesh tidak meminjamkan uang kepada wanita dan orang miskin. Lalu kami lihat uang yang kami pinjamkan kepada wanita membawa lebih banyak keuntungan bagi keluarga daripada kepada pria. Kondisi keluarga lebih cepat membaik. Lalu kami menetapkan kebijakan ini: jika ingin mengeluarkan keluarga-keluarga Bangladesh dari kemiskinan, hal itu harus dilakukan melalui wanita.
Bisakah kesimpulan serupa diterapkan di negara lain, termasuk Indonesia?
Itu global. Di mana-mana kita dapat menemukan pekerja pria—setelah mendapatkan gaji—pergi minum di bar, berjudi, ke rumah-rumah bordil. Tapi wanita, mereka menggunakan uang untuk keluarga.
Indonesia memiliki koperasi simpan-pinjam—yang juga mengelola semacam kredit mikro—sejak sekitar 60 tahun lalu, tapi tak sesukses Grameen. Apa resep yang bisa Anda bagikan?
Kami membangun Grameen Bank sebagai institusi dengan struktur yang bisa diduplikasi. Awalnya, kami mengembangkan prototipe di satu cabang. Setelah berhasil, kami memperbanyaknya. Kami memang belum membuka cabang di luar Bangladesh. Yang sudah kami buat adalah membantu negara lain untuk membangun sistem serupa.
Masih ada pandangan bahwa sistem ini sulit diterapkan jika Anda tidak terlibat langsung?
Anda tidak membutuhkan Muhammad Yunus. Yang Anda butuhkan adalah sistem. Sekarang sistemnya sudah ada. Tinggal ingin membuatnya atau tidak. Tapi, kalaupun tetap ada pikiran bahwa Dr Yunus diperlukan, kontak saja dia dan biarkan dia yang bekerja. Grameen punya build-operate-transfer yang telah kami terapkan di mana-mana. Kami membangun sistem dan melatih staf hingga mereka mampu, lalu mengembalikannya. Ini sudah kami buat di Turki dan Myanmar. Sekarang kami diundang Cina dan Kosta Rika. Pada dasarnya sangat mudah diterapkan.
Muhammad Yunus
Tempat dan tanggal lahir:
- Chittagong, Bangladesh, 28 Juni 1940
Pekerjaan:
- Direktur Pelaksana Grameen Bank
Keluarga:
- Menikah dengan Afrozi Yunus, seorang ahli fisika
Anak:
- Deena dan Monica.
Pendidikan:
- Bachelor of Arts Fakultas Ekonomi Universitas Dhaka (1960)
- Master of Arts Fakultas Ekonomi Universitas Dhaka (1961)
- Philosophiae Doctor Fakultas Ekonomi Vanderbilt University, Amerika (1969)
Penghargaan: Telah mendapat 64 penghargaan internasional, di antaranya:
- Penghargaan Presiden Bangladesh (1978)
- Hadiah Ramon Magsaysay (1984)
- World Food Prize (1994)
- Hadiah Indira Gandhi (1998)
- Hadiah Perdamaian Sydney (1998)
- Penghargaan Majalah The Economist (2004)
- Nobel Perdamaian (2006)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo