Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SENJA baru bergulir ketika Land Cruiser hitam itu memasuki pelataran Markas Besar Kepolisian di Jalan Trunojoyo, Jakarta Selatan, Ahad pekan lalu. Baru beberapa meter dari gerbang, mobil berhenti. "Kita ke kanan kan, Pak? Ke Kapolri?" tanya sang sopir. "Ah, kau. Bukan! Kita ke bagian pelayanan masyarakat. Udah pensiun enggak ada urusan sama Kapolri," kata sang juragan.
Pensiunan jenderal itu membuka jendela mobil. Dua polisi yang mendekat segera memberi hormat. "Bisa diantar ke Yanmas?" ujarnya. Kedua polisi mengangguk dan berlari di depan mobil Land Cruiser itu sambil menunjukkan arah. Sang pensiunan jenderal tak lain adalah Abdullah Makhmud Hendropriyono, mantan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN).
Agak lama tak terdengar kabarnya, jenderal kelahiran Yogyakarta, 60 tahun lalu, itu tiba-tiba membuat berita. Bersama para pengacaranya, sore itu ia melaporkan Rachland Nashidik dan Usman Hamid, dua anggota Tim Pencari Fakta (TPF) kasus kematian aktivis hak asasi manusia Munir, ke polisi. Hendro menganggap keduanya telah memfitnah dan mencemarkan nama baiknya lewat pernyataan mereka di media massa.
Mereka dinilainya telah membangun opini masyarakat yang mengaitkan dirinya, sebagai mantan Kepala BIN, dengan kematian Munir. Seberkas kliping koran disorongkannya ke meja polisi. "Ini sangat menyakitkan," katanya, "Saya jadi susah bergaul."
Dalam penyelidikan, TPF menemukan hubungan telepon antara Pollycarpus Budihari Priyanto, tersangka kasus pembunuh Munir, dan nomor-nomor tertentu. Belakangan diketahui itu nomor telepon di kantor salah satu Deputi BIN. Fakta ini diharapkan akan mengungkap keterkaitan Polly dengan lembaga telik sandi itu. Maka, TPF berencana memanggil Hendro pekan ini. Di tengah kesibukan menyiapkan berkas pengaduan ke polisi, Ahad lalu, Hendro menyempatkan diri menerima Widiarsi Agustina dan Hanibal W.Y. Wijayanta dari Tempo untuk sebuah wawancara di kantornya, di Jalan Dr Saharjo, Jakarta Selatan.
Mengapa Anda melaporkan dua anggota TPF ke Mabes Polri?
Saya merasa nama baik saya dicemarkan dengan menyebut di media bahwa saya terlibat kasus ini. Indikasinya apa? Lalu saya dikatakan ke Amerika dan mereka akan memburu saya. Diburu! Kalimat ini menusuk hati. Padahal saya tidak sedang di Amerika. Ini tidak benar dan sudah fitnah. Awalnya saya mengira TPF itu profesional. Saya menganggap ini kasus hukum, jadi harus diselesaikan aparat, bukan secara politik. Tapi ini disalahgunakan. Agendanya tidak jelas, tidak mengarah pada upaya mengungkap kematian Munir. Akibat gembar-gembor di media itu, saya tidak tenang. Karena itu, harus saya lawan secara hukum agar tak jadi preseden.
Seberapa jauh opini itu berdampak pada Anda?
Sangat besar. Misalnya saya sedang menjamu kolega dari luar negeri. Waktu saya persilakan minum, mereka bilang, "Ini ada arseniknya nggak?" Memang bergurau, tapi kan menyakitkan. Kejadian ini bukan sekali-dua kali. Terus dibilang saya mau diperiksa. Ini membuat jadwal saya terganggu. Teman-teman yang sudah berencana bertemu saya membatalkan janji.
Anda di mana dalam beberapa bulan terakhir?
Di Cibubur, di rumah saya.
Sebenarnya Anda tersangkut atau enggak dengan kasus pembunuhan Munir?
Saya merasa tidak tersangkut. Yang tahu hanya Allah. Tapi silakan diperiksa sesuai dengan hukum jika ini disinyalir sebagai satu kejahatan. Ini aspek hukum, jadi harusnya pendekatannya, ya, hukum. Kenapa lalu jadi ingar-bingar di luar hukum?
Jadi, kalau harus memberikan keterangan, Anda maunya ke mana?
Ke polisi, dong. Ke penyidik. Sebagai warga negara, kalau polisi memanggil, wajib datang.
Dari mana Anda tahu disangkutpautkan dengan kasus ini? Sudah ada undangan dari TPF?
Saya hanya baca koran. Tak pernah ada undangan. Telepon juga tak ada. (Kepada sebuah stasiun televisi, Hendro mengaku menerima undangan dari TPF, Selasa malam laluRed.)
Jika diundang TPF, Anda akan datang?
Tunggu dulu. Kalau melihat kinerja seperti ini, tidak cermat, tidak profesional, jangankan saya, siapa pun akan mikir dua kali untuk datang. Emangnya siapa dia, bisa sewenang-wenang? Punya keppres terus apa bisa sewenang-wenang?
Pangkalnya adalah Pollycarpus. Benarkah dia anggota BIN?
Saya sudah cek, dia bukan anggota. Tiga tahun saya memimpin BIN. Walau anggotanya ribuan, saya cukup kenal anak buah saya. Apalagi namanya aneh. Seumur hidup saya belum pernah dengar nama itu. Saya sudah mengecek ke personalia BIN. Katanya tidak ada.
Bagaimana pula dengan soal nomor senjata api Polly?
Diracun apa hubungannya dengan senjata?
Tapi TPF mendapat info hubungan telepon Polly dengan seorang Deputi BIN?
Begini, satu kantor birokrasi itu kan kantor pelayanan publik kepada seluruh rakyat yang mau memberikan informasi. Intelijen kan collecting informasi. Jadi, rakyat bisa saja menelepon ke kantor polisi, kantor koramil, ke kantor BIN. Dan semua itu yang menerima bukan saya, melainkan operator. Jadi, mana saya tahu?
Apakah pelacakan nomor telepon BIN diizinkan?
Itu saya terangkan dalam artikel saya di The Jakarta Post. (Dimuat di The Jakarta Post, 11 Mei 2005, dengan judul "Peeling Back the Intelligence Veil in the Murder of Munir"Red.) Di situ saya jelaskan, memberikan nomor telepon BIN sebenarnya tidak boleh selama kita melakukan gerakan antiterorisme. Nomor seharusnya dirahasiakan. Saya nggak tahu, ini kok malah dibuka. Jadi rusak sama sekali. Ada agenda apa di balik ini?
Kesannya, BIN menghalang-halangi.
Itu salah besar. Tentu saja tidak bisa menceritakan semuanya, karena beberapa hal di BIN menyangkut kerahasiaan negara. Hukuman membocorkan rahasia negara tak hanya untuk yang bertanya. Yang memberi juga kena. Jadi, tidak benar kalau BIN tak pernah memberikan akses kepada TPF. Yang tidak dikasih Pak Syamsir yang rahasia. Saya atau siapa pun, kalau jadi Kepala BIN, harus begitu.
Artikel Anda di The Jakarta Post dan The Straits Times dipersoalkan TPF. Mengapa materi itu tidak disampaikan saja kepada mereka?
Sebagai rakyat, saya punya hak dan kebebasan menulis. Soal ke mana saya tulis dan tidak ke TPF, itu hak saya. Emangnya lembaga ini super sekali sehingga saya harus menyampaikan ke TPF? Apakah saya tidak boleh menerima wawancara Tempo? Siapa yang mengharuskan? Harusnya dia, dong, yang mencari saya. Bukan sebaliknya.
Waktu Munir meninggal, Anda di mana?
Di rumah. Saya tahu waktu baca koran pagi. Awalnya kan dibilang dia punya riwayat sakit hepatitis. Setelah itu, saya nggak ngikutin lagi. Menjelang pergantian presiden, saya sibuk kukut-kukut. Saya concern baru-baru ini saja setelah ramai-ramai disangkut-sangkutin dengan BIN. Saya kaget. Apalagi mulai dibentuk TPF.
Sempat bertemu Munir sebelum meninggal?
Pernah. Dalam wawancara radio El Shinta, saya dipertemukan dengan Munir. Setelah itu, tak pernah lagi. Memang pernah ada keinginan saya bertemu Munir, yang saya sampaikan saat bertemu Todung Mulya Lubis. Saya ingin dia menjadi pembicara tetap untuk sekolah intelijen yang saya rintis. Kami butuh dosen-dosen tamu untuk memberi tambahan wawasan. Tapi, kata Pak Mulya, Munir mau sekolah ke Belanda, ambil master. Di situ saya baru tahu Munir belum S-2. Akhirnya saya tak jadi mengundang dia. Syarat mengajar di sekolah itu kan harus sudah S-2.
(Kepada Tempo, pengacara Todung Mulya Lubis mengakui pertemuan itu. Ia bertemu Hendro sebagai Ketua International Crisis Group (ICG) di Indonesia dan membicarakan nasib rekannya, Sidney Jones, yang akan dideportasi. Ia mengakui adanya pembicaraan soal dosen tamu sekolah intelijen. Mulya ditawari mengajar. Pertemuan pun membahas soal Munir. Namun, seingat Mulya, Hendro berniat bertemu Munir dalam kasus beda pandangan mereka soal RUU Intelijen.)
Apa pertimbangan Anda menawari Munir jadi dosen tamu?
Banyak yang akan diundang. Munir salah satunya. Kebetulan saya concern pada pemikirannya soal HAM. HAM kan diinterpretasikan berbeda-beda. Pemikiran yang berbeda perlu disambut. Di Lemhannas, mereka yang berpikir beda juga disambut.
Benarkah kematian Munir terkait dengan Pemilu 2004? Teorinya, ada perintah kepada BIN untuk melenyapkan Munir, yang anti-militer, dengan maksud mendiskreditkan Yudhoyono sebagai kandidat dari militer.
Wah, makin nggak betul. Setahu saya, dalam kampanye presiden itu, Munir pro-Mega. Dan Ibu Mega tak mungkin memusuhi dia. Malah, kalau nggak salah, rasanya yang mengatur pesawat yang membawa jenazah Munir itu Mas Taufiq (Taufiq KiemasRed.).
Selama ini BIN bersikap keras terhadap mereka yang dianggap musuh negara. Apakah Munir termasuk kategori musuh negara?
Nggak! Munir tidak masuk radar kami. Musuh negara itu kan yang membahayakan rakyat, membahayakan pemerintah dan integritas teritorialnya.
Meski dia kritis terhadap intelijen?
Kritis belum tentu musuh. Orang mengkritik beda dengan berkhianat. Tak ada keuntungan politik apa pun dengan meninggalnya Munir. Saya tak punya masalah dengan dia, kenal pribadi juga tidak. Saya bukan tipe orang yang suka dengan orang yang hanya setuju dan mendukung saya. Saya suka orang yang mengkritisi saya, kasih argumen.
Bagaimana dengan RUU Intelijen yang Anda usulkan dulu?
Saya mengusulkan RUU Intelijen itu supaya arah tantangan, ke mana pergi, dan apa yang akan dilakukan lembaga menghadapi situasi yang berkembang jadi jelas. Para intel jadi tahu mana yang boleh dilakukan dan mana yang tidak. Supaya jelas, ada policy, ada mission, ada deskripsi tugas. Ini penting untuk menghadapi perubahan. Inilah tantangan terberat selama menjadi Kepala BIN. Karena itu, saya pasang kuda-kuda.
Untuk mengecilkan kerawanan, harus ada renovasi. Arahnya mengecilkan kelemahan internal agar bisa menghadapi eksternal yang complicated. Contoh kelemahan internal, semula di BIN ada lima deputi. Tapi sering orang yang masuk radar intelijen diawasi tiga deputi. Tabrakan sendiri. Deputi lalu saya bagi secara teritorial. Ada juga deputi baru, Deputi Teknologi dan Deputi Hubungan Antar-Lembaga, yang dipimpin Saudara Nurhadi. Di daerah juga ada Bakorinda (Badan Koordinasi Intelijen Daerah). Itu bukan untuk memata-matai rakyat, melainkan memberikan keamanan kepada rakyat.
Tapi banyak aktivis khawatir BIN akan seperti Kopkamtib?
Terlalu berlebihan. Itu yang dikritisi Munir. Waktu saya jelaskan, dia mengerti. Banyak orang menolak mentah-mentah. Setelah dijelaskan, lalu mendukung. Jangan diasosiasikan intelijen itu seperti zaman dulu, mempertahankan kekuasaan, menyelidiki rakyatnya.
Kan ada special branch yang punya kewenangan menangkap 4 x 24 jam?
Begini, misalnya ada organisasi mau mengebom. BIN harus bisa memeriksa organisasi ini. Misalnya beberapa teman pengebom kita ambil, bukan untuk pro-justisia, tapi untuk digalang. Dia dibaik-baikin. Orang ini kami garap, kami jadikan agen. Rata-rata, dari pengalaman, mereka bisa bantu. Kekuatan intelijen kan bagaimana menggunakan orang.
Seberapa jauh Kepala BIN tahu soal penggalangan?
Kami dilarang keras tahu. Di intelijen, ada agen terampil, ada agen ahli. Agen-agen ini membuat jaringan, tidak koordinasi sama siapa-siapa. Kalau saya sampai tahu semua jaringan agen, saya akan menjadi orang yang very-very important person untuk diculik musuh. Sekali diculik, musuh dapat semua. Itu bahaya. Tak ada jaminan saya bisa hidup.
Sebagai atasan, Anda kan berhak tahu kerja bawahan?
Itu di lembaga biasa. Di lembaga intelijen, tidak bisa begitu. Di sini yang penting what to do, bukan how to do. Kalau kita how to do, orang yang kerja dengan kita merasa tidak aman. Di intelijen, ada sistem kompartemenisasi. Masing-masing punya informan. Kalau saya mencampuri, mereka tak aman. Informan percaya betul dengan perekrutnya. Kepada saya, belum tentu! Antar-kolega juga hanya boleh bicara "apa kabar, keluarga baik-baik?". Kalau ditanya "mau ke mana?", harus dilaporkan atasan. Itu kode etik, sehingga kami tak mungkin ngomong pekerjaan di warung kopi.
Kan ada laporan Kepala BIN kepada Presiden. Itu hasil rangkuman?
Ya. Deputi III membuat laporan keadaan umum, khusus, dan situasi yang berkembang. Laporan dibuat sesederhana mungkin agar Presiden enak membacanya, intinya saja. Semua didapat dari berbagai sumber yang asalnya saya pun tidak tahu, dan tidak boleh tahu. Sumber hanya diberi kode A1, A2, dan selanjutnya. A artinya sumber sangat dipercaya, 1 artinya diperkuat dengan sumber lain, A1 wajib dibaca Presiden.
Anda sempat mengontak Muchdi dan Nurhadi soal pemanggilan TPF?
Saya hanya baca di koran. Ketemu juga waktu ulang tahun BIN, 7 Mei lalu. Tapi nggak sempat ngomong panjang. Saya khawatir, kalau saya tanya macam-macam, nanti nggak enak, mengganggu. Mungkin mereka juga stres kalau dipanggil-panggil seperti itu.
Anda yakin Muchdi tidak memerintahkan operasi pembunuhan Munir?
Saya sulit percaya Muchdi melakukan pekerjaan seperti itu. Muchdi orang yang religius karena gede di pesantren. Dia juga berpengalaman luas dan profesional.
Ngomong-ngomong, apa aktivitas Anda setelah pensiun?
Banyak di rumah dan memperbanyak kegiatan sosial. Sekarang saya ngurusi persatuan rumah yatim piatu dan anak telantar yang terbengkalai, juga law firm ini. Aktivitas ini supaya saya tidak cepat pikun. Kalau di rumah terus, nggak ada kerjaan, jadi cepat pikun.
Nggak mengurus partai? Kan sempat ditawari Mbak Mega jadi Sekjen PDIP?
Wah, nggak. Saya sudah tua. Giliran yang muda yang mengurusi negeri ini. Saya sudah "oversweet", over-sewidak (di atas 60 tahun), he-he-he .
Anda Kepala BIN ke-13. Tampaknya seorang Hendropriyono memang selalu kontroversial .
Sekarang kontronya sudah hilang. Jadi, tinggal sialnya.
A.M. Hendropriyono
Tempat dan tanggal lahir:
- Yogyakarta, 7 Mei 1945
Pendidikan:<>
- Akademi Militer Nasional, Magelang (1967)
- Australian Intelligence Course, Woodside (1971)
- United States Army General Staff College, Fort Leavenworth, USA (1980)
- Sarjana Administrasi Negara STIA LAN RI, Jakarta (1985)
- Sarjana Hukum Sekolah Tinggi Hukum Militer, Jakarta
- Sesko ABRI (1989)
- Sarjana Ekonomi Universitas Terbuka, Jakarta (1995)
- Sarjana Teknik Industri Universitas Achmad Yani, Bandung
- Pascasarjana Administrasi Niaga University of the City of Manila, Filipina
Karier:
- Asisten Intelijen Kodam Jaya (1985)
- Danrem 043 Garuda Hitam (1987) di Lampung
- Direktur A Badan Intelijen Strategis (1990)
- Panglima Kodam Jakarta Raya (1993)
- Komandan Kodiklat TNI-AD (1994)
- Sekretaris Pengendalian Operasional Pembangunan RI (1996)
- Menteri Transmigrasi dan PPH RI (1997)
- Kepala Badan Intelijen Negara (2001-2004)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo