Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MERCEDES Corby menangis sambil berteriak di Pengadilan Negeri Denpasar, Jumat dua pekan lalu. "Adik saya, Corby, tidak bersalah. Pengadilan Indonesia tidak adil," ujarnya melengking. Air mata perempuan 30 tahun itu deras mengalir, kecewa atas keputusan pengadilan yang menjatuhkan vonis 20 tahun penjara dan denda Rp 100 juta terhadap sang adik, Schapelle Leigh Corby, 27 tahun.
Corby, mahasiswi asal Brisbane, Australia, diadili karena tertangkap membawa mariyuana saat menjejakkan kaki di Lapangan Udara Ngurah Rai, Denpasar, Bali, 8 Oktober 2004. Barang terlarang dalam dua kemasan plastik itu ditemukan oleh aparat yang bertugas di bandara dalam bagasinyabersama sepasang sepatu katak dan papan selancar. Paket seberat 4,2 kilogram inilah yang menuntunnya ke meja hijau.
Corby dijerat dengan Undang-Undang Nomor 2/1977 tentang Narkotika. Dirinya dinyatakan bersalah lantaran tanpa hak membawa bahan narkotik golongan I ke wilayah pabean Indonesia. Ancaman hukuman untuk pelanggar hukum semacam ini penjara seumur hidup atau 20 tahun penjara plus denda maksimal Rp 1 miliar. Kejaksaan Negeri Denpasar menuntut Corby hukuman seumur hidup dan denda Rp 100 juta.
Corby membantah barang itu miliknya. Dalam pembelaannya pada 28 April lalu, ia menyatakan dirinya sebagai korban sindikat narkotik Australia yang memanfaatkan buruknya sistem keamanan lapangan udara negerinya itu. "Satu-satunya kesalahan saya adalah tidak mengunci dan menggembok tas saya," ujarnya.
Tim pembela Corby bereaksi keras terhadap tuntutan jaksa. Dalam pleidoi setebal 79 halaman berjudul "Masih Adakah Keadilan bagi Terdakwa di Negeri Tercinta?" itu, mereka menyatakan tuntutan hukuman seumur hidup bagi Corby tidak tepat dan tidak mendidik. "Lebih baik membebaskan 1.000 orang bersalah daripada menghukum satu orang tidak bersalah," kata Lili Sri Rahayu Lubis, salah satu anggota tim pembela Corby.
Tim pembela Corby juga mempersoalkan keengganan aparat bea cukai bandara, kepolisian, dan jaksa melakukan uji sidik jari pada barang bukti mariyuana. Aparat kepolisian memang menganggap uji sidik semacam ini tak akan membawa hasil. "Banyak cara ditempuh pelaku kejahatan narkotik untuk tak terlacak, salah satunya dengan tidak menyentuh barang bawaan sebelum sampai ke penerima," kata Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Kepolisian Daerah Bali, Komisaris Besar Kepolisian Reniban A.S. Karena itu, ujar Reniban, dijamin tak akan ada sidik jari pelaku dalam paket-paket narkotik.
Vonis 20 tahun buat Corby serta-merta memancing banyak reaksi. Sebagian masyarakat Australia menilai peradilan Indonesia tidak adil dalam menjatuhkan vonis tersebut. Sebaliknya, kejaksaan menilai hukuman untuk Corby terbilang ringan. "Seharusnya seumur hidup," kata Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh. Jaksa I.B. Wismantanu, yang menuntut Corby hukuman seumur hidup, memang mengajukan banding terhadap vonis yang "hanya" 20 tahun penjara itu.
Ringannya hukuman untuk Corby juga dilontarkan Koordinator Gerakan Anti-Narkoba Surakarta, M. Taufiq. Menurut Taufiq, sejak 2000, dari 32 pengedar narkoba asal mancanegara yang disidang di pengadilan Indonesia, hanya satu orang yang divonis hukuman seumur hidup. "Lainnya hukuman mati," ujarnya. Salah satunya adalah Rodrigue Gularte, pria asal Brasil yang ditangkap di Bandara Soekarno-Hatta pada 31 Juli 2004 karena membawa kokain seberat 300 gram. Pada 7 Februari lalu, Pengadilan Negeri Tangerang memvonis Gularte hukuman mati. "Padahal, kasusnya lebih ringan dari Corby," kata Taufik.
Bukan hanya Indonesia, Australia juga memberlakukan hukuman keras terhadap para pengedar atau pembawa narkoba. Pada 1992, misalnya, seorang warga Jepang, Chika Honda, ditangkap di bandara Melbourne karena di dalam kopernya ditemukan 13 kilogram heroin. Kendati Honda bersumpah benda itu bukan miliknya, toh pengadilan Australia tak memberi ampun. Gadis berumur 30 tahun itu harus mendekam di penjara Australia selama 10,5 tahun.
Abdul Manan, Rofiqi Hasan (Denpasar), Anas Syahirul (Solo)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo