Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Teka-teki Serbuk Putih

Lewat uji laboratorium disimpulkan bahwa serbuk putih yang dikirim ke Kedutaan RI bukanlah antraks. Tapi pengujian masih dilanjutkan.

6 Juni 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KABAR yang meresahkan sempat ditebar oleh Perdana Menteri Australia John Howard. "Itu bukan serbuk putih biasa, tapi sejenis bahan biologis," katanya pekan lalu. Dia menjelaskan kepada pers tentang serbuk putih dalam amplop surat yang diterima oleh Kedutaan Besar RI di Canberra.

Ditujukan kepada Duta Besar Indonesia, Imron Cotan, amplop surat itu sempat dibuka oleh sekretarisnya pada Rabu pukul 10 pagi, pekan lalu. Surat yang ditulis dengan bahasa Indonesia yang kacau itu penuh dengan ancaman dan caci-maki berbau rasial. Dalam amplop juga terdapat bubuk putih yang mencurigakan. Karena ketakutan, kantor kedutaan buru-buru ditutup dan 46 stafnya diisolasi untuk menjalani dekontaminasi.

Dua jam kemudian, serbuk itu dibawa ke laboratorium milik pemerintah Australia. Tes awal menunjukkan bahwa bubuk itu mengandung baksil, bakteri yang banyak terdapat dalam tanah, air, dan organ pencernaan manusia. Umumnya baksil tak berbahaya, tapi ada dua jenis baksil yang mematikan, yakni cereus, yang kerap menyebabkan keracunan, dan antraks, yang bisa membunuh manusia. Dikhawatirkan serbuk yang dikirim si peneror dari sebuah kantor pos di Negara Bagian Victoria itu berupa baksil yang berbahaya.

Jangan heran jika John Howard langsung membeberkannya ke pers. Begitu pula Menteri Luar Negeri Australia Alexander Downer. Dia bahkan mengumumkan hasil temuan awal itu di hadapan parlemen. "Bubuk itu positif merupakan sebuah agen biologis, meskipun tes lebih lanjut dibutuhkan untuk memastikan jenisnya," katanya sehari setelah kejadian.

Orang lalu menduga serbuk putih itu berupa bakteri antraks. Apalagi, teror dengan menggunakan baksil pernah merebak di Amerika Serikat pada 2001. Modusnya juga menggunakan amplop surat yang dikirim lewat pos. Antraks yang disebar sempat menulari 22 orang dan menelan lima nyawa.

Baksil antraks (Bacillus anthracis) memang tergolong bakteri yang ganas. Bakteri ini bisa membentuk spora dan dapat hidup berpuluh-puluh tahun di dalam tanah. Antraks bisa masuk ke tubuh manusia atau binatang lewat makanan dan debu. Di dalam tubuh manusia, basil ini akan berkembang biak di limpa, lalu menyebar ke organ-organ lain melalui darah. Orang yang terkena antraks akan sulit diselamatkan karena segera mengalami sesak napas dan pendarahan pada otaknya.

Media massa Australia sendiri membumbuinya dengan berbagai analisis lain. Seorang penyiar radio di Victoria, Derryn Hinch, dengan mengutip sebuah sumber, mengatakan, serbuk itu diduga mengandung virus HIV/AIDS. Tak sedikit pula yang menyebut bubuk itu bakteri antraks. Namun, Dr Lindsay Grayson dari lembaga yang memantau penyakit menular di Australia meragukan kemungkinan ini. Soalnya, sejak aksi teror pada 11 September 2001 di Amerika, pemerintah Australia telah memperketat kontrol terhadap bakteri antraks.

Ternyata pendapat Lindsay dikuatkan hasil pengujian tahap kedua di laboratorium. Pengujian memang dilakukan dua tahap. Tes tahap pertama untuk memastikan apakah serbuk tersebut memang merupakan bakteri. Bila bakteri ditemukan, pengujian tahap kedua dilanjutkan untuk mengetahui apakah bakteri itu mengandung zat patogen.

Pengujian tahap kedua biasanya memakan waktu 48 jam. Ternyata, dalam 24 jam kesimpulan menarik sudah didapat. Komandan Polisi Federal Australia, John Davies, mengungkapkan, bakteri itu dipastikan bukan antraks. "Serbuk itu tidak mengandung materi yang membahayakan kesehatan. Tapi pengujian masih terus dilanjutkan," ujarnya. Hasil ini membuat tenang para staf KBRI, dan pada Jumat pekan lalu mereka sudah membuka kantor kedutaan.

Namun, aksi teror belum berakhir. Pada hari itu juga, giliran Menteri Luar Negeri Alexander Downer yang dikirimi serbuk putih. Serbuk ini terdapat dalam surat yang ditujukan kepadanya. Setelah diteliti, ternyata bubuk tersebut tidak berbahaya. Downer sendiri tidak terlalu panik dan tetap bekerja di kantornya di Canberra sepanjang hari. "Seperti yang saya katakan sebelumnya, intimidasi seperti ini sangat mudah menular," katanya.

Nurdin Saleh

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus