Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Islam menjunjung tinggi spirit kebebasan beragama.
Al-Quran tidak menyediakan semua jawaban atas masalah umat manusia.
Tafsir tunggal Idul Fitri saat ini sangat menguntungkan koruptor.
IA tak menemukan Islam di Indonesia. Sukidi menemukan Islam sesungguhnya justru di Amerika Serikat, negara yang mayoritas penduduknya nonmuslim, tempat ia mendalami agama ini di tiga kampus selama hampir dua dekade. Di Negeri Abang Sam itu pula intelektual Muhammadiyah berusia 47 tahun ini menggagas pendekatan baru dalam menafsir Al-Quran.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di sana dia menulis disertasi "The Gradual Qur'an: Views of Early Muslim Commentators" yang mengupas keberagaman pandangan penafsir Quran di masa awal Islam. Ini menjadi pijakannya dalam mengkritik pandangan pembaru Islam masa kini, termasuk Muhammadiyah, yang menyerukan agar "kembali ke Quran dan sunah". Sukidi juga mempertanyakan sejumlah pemahaman yang tidak tepat, seperti makna Idul Fitri dan aturan pendirian rumah ibadah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dulu Sukidi mengaku sebagai Cak Nurian—sebutan untuk pengikut Nurcholish Madjid atau Cak Nur, satu dari tiga tokoh pembaru Islam yang dijuluki Tiga Pendekar dari Chicago. Namun, setelah menempuh studi di Amerika, ia merasa perubahan terjadi. "Saya menemukan jalan sendiri, terutama ketika saya mulai (kuliah) di Harvard Divinity School. Saya berbeda total dengan Cak Nur," katanya dalam wawancara secara daring dengan wartawan Tempo, Abdul Manan, di sela-sela mengisi ceramah di sejumlah tempat di Jepang pada Selasa, 11 April lalu. Tulisan ini dilengkapi dengan wawancara lima hari sebelumnya di Gedung Jaya, Jakarta.
Disertasi Anda tentang tafsir Al-Quran di masa awal. Apa menariknya topik ini?
Alasan yang lebih urgen adalah soal metode mengetahui masa silam. Masa silam begitu jauh dari periode kewahyuan. Bagaimana kita tahu suatu peristiwa di masa silam? Kelompok pembaru Islam di Indonesia langsung lompat kembali kepada Al-Quran dan sunah. Itu yang saya kritik.
Literaturnya dari mana?
Semua tersedia di perpustakaan Harvard. Harus kita akui bahwa kampus Islam terbaik justru di Amerika Serikat, entah Harvard, Princeton, Chicago. Lantai 6 Widener Library di Harvard itu khusus untuk studi Islam. Ini soal merawat manuskrip, buku, dari satu peradaban yang cukup panjang. Kemampuan itu tidak ditemukan di dunia Islam.
Apa masalahnya jika langsung kembali ke Quran dan sunah?
Kekurangannya begini: di mana sebenarnya locus makna itu sendiri? Apakah termaktub dalam teks wahyu dan, dengan kembali ke Quran, maka kaum pembaru ini menemukan makna dalam teks itu? Itu memang keyakinan umum kaum pembaru dan mayoritas umat Islam. Saya tidak setuju.
Apa dasarnya?
Karena locus makna tidak berada pada teks, tapi pada pikiran penafsir Quran itu sendiri. Para penafsir memproduksi makna atas teks-teks wahyu itu.
Berdasarkan apa?
Pengalaman mereka berinteraksi dengan Quran, letak geografis mereka saat menafsirkan Quran, juga subyektivitas penafsir. Ini fase baru setelah saya pulang dari Harvard. Dalam disertasi, saya belum mendeklarasikan bahwa tidak ada makna dalam teks-teks wahyu. Justru sepulang dari Harvard dan berceramah di berbagai kampus, saya secara tegas mengatakan bahwa tidak ada makna dalam teks itu sendiri. Makna itu justru berada dalam pikiran penafsir.
Kenapa para pembaru langsung ke Quran dan sunah?
Pertama, ini bagian dari pengaruh semangat pembaruan di tradisi Protestan. Semangatnya kembali kepada scripture, kitab suci, kemudian memangkas mata rantai panjang tradisi itu sendiri. Karena itu, Muhammadiyah dulu sering disebut sebagai reformasi Islam yang mirip dengan Protestan karena semangatnya untuk kembali ke Quran. Kembali ke Quran itu mengalami kesusahan karena watak Quran yang referensial, sering merujuk pada suatu peristiwa tapi tidak disebutkan peristiwanya; merujuk pada identitas, tapi kita tidak tahu pasti siapa mereka.
Apakah tradisi tafsir itu masih dipertahankan di organisasi Islam seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama?
Justru itu titik lemah Muhammadiyah. Efek dari kembali ke Quran dan sunah itu membuat khazanah tradisi Islam terpinggirkan.
Bukannya di Muhammadiyah ada majelis tarjih?
Itu bagian dari menurunkan hukum dari wahyu Quran dan sunah. Tapi ini beda dengan saya cara membacanya. Saya berani jamin tak satu pun tradisi Islam di Indonesia, di dunia Islam, yang berani mengatakan "tidak ada makna dalam teks Al-Quran". Saya kupas (di kolom Suara Muhammadiyah) tentang wahyu, Quran, dan maknanya beragam sekali.
Apa yang membuatnya berbeda jika langsung merujuk ke Quran dibanding melalui penafsir?
Kalau orang tidak punya pengetahuan yang cukup, bahasa Arab, dan tidak memahami konteks sejarah, ia bisa terjatuh pada pembacaan yang tekstual karena Quran itu teks yang penuh ambiguitas. Maknanya tidak tunggal.
Apa contohnya?
Surat An-Najm. Wannajmi ida hawa. Kalau orang kembali ke Quran atau baca terjemahannya, yang pasti didapatkan artinya "demi bintang ketika ia terjatuh". Kalau melalui tafsir, itu hanya satu dari sekian lautan makna. Abdullah Ibnu Abbas, sahabat Nabi, misalnya, mengatakan itu maksudnya adalah "demi Quran yang ketika ia turun secara gradual". Muqatil Sulaiman mengartikan "demi Quran yang turun secara berangsur-angsur".
Jadi apa kritik utama Anda terhadap kelompok pembaru Islam?
Saya justru ingin membawa arah baru dalam pembaruan Islam dengan mengoreksi pembaruan Cak Nur. Pembaruan Islam Cak Nur itu bercorak skripturalisme.
Arah seperti apa?
Saya ingin mengajak untuk kembali ke tradisi penafsiran Islam yang plural, multivokal, dan kontradiktif. Makna itu tidak ditemukan pada teks Quran ataupun sunah, tapi ditemukan dalam pikiran komunitas penafsir awal. Pembaruan Islam yang dikumandangkan Cak Nur ataupun Muhammadiyah mengabaikan proses kreatif penafsiran yang berkembang di kalangan penafsir Quran itu sendiri. Saya lebih bersikap rendah hati untuk melihat otoritas itu ada pada komunitas penafsir tersebut. Komunitas penafsir itulah yang sejak awal merawat teks, menyajikan bacaan, dan sekaligus memproduksi makna yang beragam sehingga pembaca memperoleh informasi dan produk penafsiran yang beragam. Saya ada dua arah pembaruan. Pertama, dalam konteks memahami Islam dan Quran. Kedua, dalam konteks nation state (negara bangsa).
Apa itu?
Menghidupkan kembali akal budi untuk memahami teks. Pada mereka yang cenderung skripturalisme, akal budi itu cenderung dikesampingkan. Kalau saya, panduannya terletak pada otoritas akal, mekanisme untuk memahami teks dan sekaligus untuk menjalani kehidupan di dunia ini. Implikasi dari penggunaan akal budi adalah umat Islam menjalani kehidupan ini dengan kalkulasi rasional.
Saya terinspirasi tradisi Calvinisme yang berangkat dari yang disebut doktrin predestinasi ganda. Kaum Calvinis tidak mengetahui apakah mereka nanti masuk kelompok yang terselamatkan dan masuk surga atau menjadi kelompok terkutuk dan masuk neraka. Kaum Calvinis mengalami ketidakpastian teologis ini dengan cara bekerja keras dan sukses di dunia sini karena, kata Benjamin Franklin, sukses di dunia sini itu tanda Tuhan memberkati. Saya ingin Islam dipahami sebagai doktrin yang mengajak umatnya untuk sukses di dunia sini. Jadi keberhasilan di dunia sini itu murni berangkat dari pemahaman bahwa umat Islam harus menggunakan kalkulasi rasional untuk menjalani kehidupan ini.
Perbedaan lain, saya tidak menganjurkan sekularisasi seperti yang dilakukan Cak Nur. Sekularisasi pada zamannya itu berkelindan dengan semangat Barat, kolonialisme.
Tapi orang umumnya ingin makna yang pasti.
Itu bias modernitas, yang menghendaki ketunggalan. Kalau tradisi Islam di periode awal justru tradisinya polivalensi, pluralisme makna, kontradiksi makna. Ini contoh lain. Bagaimana misalnya Cak Nur menafsirkan Idul Fitri? Idul Fitri bagi Cak Nur diartikan dengan kembali kepada yang suci. Pandangan ini diterima secara luas. Tidak ada satu pun yang mengkritik secara terbuka. Kalau pandangan ini diterima, para koruptor di negeri ini yang paling bahagia. Di setiap Idul Fitri mereka memperoleh kembali status dirinya sebagai orang yang suci. Itu penafsiran yang salah kaprah.
Apa tafsir alternatifnya?
Idul Fitri itu hari raya makan. Festival of fast breaking. Id itu maknanya hari raya, fitrah itu makan. Makanya pada 1 Syawal kita dilarang berpuasa. Ini seperti halnya Idul Adha adalah hari raya kurban, bukan kembali kepada kurban.
Lalu apa makna spiritual Idul Fitri?
Agar kalian menjadi orang yang bertakwa. Masalahnya, sering kali umat Islam melihat kesalehan dan ketakwaan dengan makna yang simbolik, padahal kesalehan dalam Islam menuntut ketulusan.
Anda berfokus menggaungkan ide pembaruan di Muhammadiyah. Tak ingin pandangannya mempengaruhi yang lain, misalnya NU?
Saya tidak secara spesifik ditujukan ke sana. Melihat respons yang berkembang, lumayan banyak respons dari kalangan NU. Mereka menduga kok saya lebih dekat ke NU karena kembali ke tradisi. Tapi sebenarnya beda.
Apakah Al-Quran sudah menyediakan jawaban atas semua masalah?
Justru itu saya mengkritik Cak Nur karena Cak Nur, dengan skripturalismenya, menyatakan Al-Quran menyediakan semua jawaban. Walaupun kadang Quran tidak menyediakan jawaban, itu (tetap) ditarik dari Quran. Misalnya soal Idul Fitri. Quran tidak berbicara tentang Idul Fitri. Saya ingin mengatakan, Al-Quran tidak menyediakan semua jawaban. Justru Al-Quran terbatas pada konteks sejarah masa itu saja.
Kenapa kembali pada tradisi? Dengan itu bisa saya gunakan akal budi, untuk menyikapi masalah yang ada sekarang ini. Sebelum datangnya wahyu, bagaimana manusia menentukan yang baik dan buruk? Kalau dalam tradisi mu'tazilah, dan saya setuju dengan pandangan ini, dengan akal budi. Karena itu, akal budi menjadi instrumen mulia, yang sejajar dengan Quran, untuk menentukan setiap masalah yang dihadapi manusia sekarang ini.
Jadi para ahli agama keliru?
Kalau dalam konteks sejarahnya, Quran itu diturunkan banyak bagiannya sebagai respons atas pertanyaan, atas keberatan, keluhan yang dialamatkan kepada Nabi Muhammad. Karena itu, wahyu datang secara bertahap, sedikit demi sedikit. Kadang satu ayat, dua ayat. Itu untuk merespons, memberikan jawaban atas pertanyaan umat yang diajukan kepada Muhammad. Di Quran justru banyak sekali bagian yang mendorong manusia untuk menggunakan pikiran. Ketika ditanyai masalah duniawi, kata Nabi, "Kalian itu lebih tahu urusan dunia." Artinya, Nabi membatasi diri bahwa ia lebih sebagai nabi yang terkait dengan urusan pewahyuan. Kalau urusan dunia, kalian lebih tahu.
Jadi kunci dari Al-Quran adalah akal?
Gunakan akalmu. Ini yang selalu ingin saya gelorakan. Berani berpikir, gunakan akal. Karena wahyu sudah berhenti, masalah terus berlanjut. Dengan apa kita mempunyai satu otoritas untuk menilai masalah yang muncul? Tentu dengan akal.
Sukidi saat wawancara dengan Tempo di Jakarta, 6 April 2023. Tempo/Tony Hartawan
Ide pembaruan Anda ini berbeda dengan kebanyakan umat Islam. Ada yang memprotes?
Ada. Di Suara Muhammadiyah banyak sekali respons pembaca masuk dari berbagai daerah.
Tapi Anda tidak sampai dipersekusi?
Saya tidak melihat itu. Saya merumuskannya secara dingin agar orang terkonsentrasi pada gagasan saja. Perhatikan memori pembaruan di kalangan generasi sebelumnya. Itu lebih ke kontroversi ketimbang gagasannya.
Saat di Harvard, bagaimana Anda menilai Islam di Indonesia dari jauh?
Saya justru melihat Islam itu, nilainya, spiritnya, justru hidup di Amerika ketimbang di Indonesia karena nilai-nilai keislaman itu sendiri, yang berisi perintah untuk menegakkan keadilan, kesetaraan, dan pembebasan lebih hidup di sana. Di Indonesia, saya tidak melihat Islam, tapi saya melihat banyak sekali muslim.
Setelah pulang, pandangan Anda masih sama?
Sama. Ini mengingatkan saya pada observasi KH Ahmad Dahlan, Jamaluddin al-Afghani (pembaru Islam dari Iran), dan Muhammad Sayyid Thanthawy (ulama Mesir). Inti dari pendapat mereka, Islam sudah tertutupi dengan perilaku buruk umatnya. Nilai ideal Quran tidak dapat diterjemahkan umat Islam dalam kehidupan sehari-hari.
Kenapa sekarang banyak orang tertarik pada Islam konservatif?
Saya menduga Islam moderat ini sikapnya lembek. Moderat itu kan sebetulnya posisi yang tidak punya ketegasan. Islam yang saya yakini adalah Islam yang menjunjung tinggi spirit kebebasan, terutama kebebasan berkeyakinan kepada setiap pemeluk agama berbeda, memberikan kemerdekaan berkeyakinan kepada setiap manusia untuk beriman dan tidak beriman sekalipun.
Apakah konsep toleransi dalam kehidupan beragama saat ini tidak memadai?
Sangat tidak memadai. Toleransi tidak mengandaikan kesetaraan. Toleransi itu perlu ada hubungan yang tidak setara antara mayoritas dan minoritas.
Bagaimana Anda menilai sikap pemerintah yang cenderung mengikuti mayoritas sehingga kerap merugikan minoritas?
Itu yang saya sebut sebagai persekongkolan jahat antara negara dan ortodoksi sehingga mereka mengadopsi politik ortodoksi, politik yang berangkat dari keyakinan bahwa ada agama yang benar yang didefinisikan oleh negara, karena itu negara tunduk pada keyakinan ini. Saya mengkritik keras karena negara semestinya bersikap netral terhadap semua agama. Bahkan negara tidak diperkenankan mengintervensi keyakinan warganya. Misalnya, negara turut mendefinisikan agama ini benar, agama itu salah. Keyakinan ini benar, salah.
Praktiknya, negara hanya mengakui agama tertentu?
Justru itu kesalahannya. Negara tidak punya yurisdiksi apa pun untuk menentukan agama ini resmi dan tidak resmi, benar atau salah. Itu otoritas masing-masing agama yang diserahkan kepada persetujuan individu.
Apa yang dikhawatirkan dari campur tangan negara?
Negara akhirnya terlibat dalam persekusi kelompok minoritas, misalnya terhadap kelompok Syiah dan Ahmadiyah. Negara atau pemimpin itu kan tidak berani bersikap tegas karena soal elektoral. Mereka lebih takut kepada konstituen dan elektoral ketimbang menegakkan konstitusi.
Dalam hal apa negara boleh ikut campur soal agama?
Hal eksternal seperti menjaga kerukunan umat beragama. Misalnya, ada orang beragama tapi kok sampai mengganggu ketertiban umum. Nah, negara berhak mengintervensi.
Mengatur soal pendirian rumah ibadah apakah dibolehkan?
Itu semestinya menjadi kebebasan setiap umat beragama. Pemerintah seharusnya memudahkannya.
Pemerintah menggunakan alasan keamanan dalam surat keputusan bersama (SKB) Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri mengenai syarat pendirian rumah ibadah.
Konsep SKB itu bertentangan dengan konstitusi. Buat saya, patokannya adalah konstitusi memberikan jaminan kemerdekaan berkeyakinan kepada setiap umat beragama. Konsekuensinya, semua umat beragama memiliki kebebasan untuk mendirikan rumah ibadah.
Sukidi
Tempat dan tanggal lahir: Sragen, Jawa Tengah, 2 Agustus 1976
Pekerjaan:
Penceramah
Pendidikan:
• Fakultas Syariah Institut Agama Islam Negeri Jakarta, 1998
• Master of Art di Ohio University, Amerika Serikat, 2004
• Master of Theological Studies di Harvard Divinity School, Harvard University, Amerika Serikat, 2006
• Doctor of Philosophy di Harvard University, Amerika Serikat, 2019
Karya:
• "Nasir Hamid Abu Zayd and the Quest for Humanistic Hermeneutics of The Quran", dalam Die Welt Des Islam: International Journal for the Study of Modern Islam, 2009
• "Max Weber's Remark on Islam: The Protestan Ethic among Muslim Puritan", dalam Islam and Christian Muslim Relation, 2006
• "The Traveling Idea of Islamic Protestanism: A Study of Iranian Luthers", dalam Islam and Christian Muslim Relation, 2005
• "Violence under the Banner of Religion: The Case of Laskar Jihad and Laskar Kristus", dalam Studia Islamika, 2003
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo