Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
PBB menyetujui resolusi Vanuatu mengenai kewajiban negara untuk menjaga iklim.
Hal ini membuka jalan masuknya ekosida ke Mahkamah Pidana Internasional.
Kerusakan lingkungan berat akan setara dengan kejahatan perang dan genosida.
BADAI dahsyat melanda Vanuatu, negara kepulauan kecil di Samudra Pasifik, pada awal Maret lalu. Siklon Kevin kategori 4, dari kategori 5 yang tertinggi, menghantam bangunan, merusak jalan, dan memutus jaringan listrik di seluruh penjuru negeri. Padahal negeri itu baru dilanda siklon Judy tiga hari sebelumnya, yang menyasar Ibu Kota Port Vila dan memaksa sebagian penduduk mengungsi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemerintah Vanuatu mengumumkan keadaan darurat atas serangan badai itu. “Bagi kami, (ini adalah) kejadian cuaca yang tak pernah terjadi sebelumnya. Sesuai dengan apa yang sains katakan kepada kami, ini adalah akibat perubahan iklim,” kata Menteri Adaptasi Perubahan Iklim Vanuatu Ralph Regenvanu dalam konferensi pers di Markas Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York, Amerika Serikat, Rabu, 29 Maret lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pernyataan Regenvanu itu disampaikan menjelang pengambilan keputusan dalam Majelis Umum PBB tentang resolusi yang diajukan Vanuatu yang didukung 32 negara, termasuk Indonesia, Malaysia, dan Thailand. Resolusi itu meminta pendapat Mahkamah Keadilan Internasional (ICJ) tentang kewajiban negara-negara di dunia untuk menjaga iklim dan melindungi masyarakat dari dampak perubahan iklim. “Pertimbangan Indonesia menjadi co-sponsor resolusi ini adalah karena pertanyaan-pertanyaan dan alasannya memang valid. Selama ini (banyak komitmen iklim negara) tidak jalan. Yang namanya masalah perubahan iklim, kalau sudah urusan kompensasi dan lain-lain, tidak ada (implementasinya). Semua janji-janji saja,” ujar Purnomo Ahmad Chandra, Direktur Hukum dan Perjanjian Politik dan Keamanan Kementerian Luar Negeri RI, pada Kamis, 6 April lalu.
Vanuatu adalah negara yang paling rentan terhadap perubahan iklim. Seperempat penduduknya yang lebih dari 300 ribu jiwa dan tersebar di sekitar 80 pulau terancam oleh kenaikan permukaan laut. Selama 30 tahun lebih negeri itu getol mendorong kebijakan internasional untuk memitigasi perubahan iklim. Vanuatu juga negara pertama yang mengusulkan dana kerusakan akibat perubahan iklim ke PBB pada 1991 dan mendesak masuknya ekosida di Mahkamah Pidana Internasional (ICC) pada 2019.
Sidang Majelis Umum PBB pada akhir Maret itu akhirnya menerima resolusi Vanuatu. Resolusi ini merupakan langkah awal Vanuatu dan negara lain untuk memasukkan ekosida sebagai salah satu jenis kejahatan berat yang dapat diadili ICC, selain genosida, agresi, kejahatan kemanusiaan, dan kejahatan perang. Isu ini makin kuat setelah Parlemen Eropa mengesahkan Rancangan Undang-Undang Lingkungan yang memasukkan unsur-unsur ekosida.
Menurut Leonard Simanjuntak, Country Director Greenpeace Indonesia, ekosida adalah tindakan atau kebijakan yang dilakukan baik oleh aktor negara maupun non-negara dengan kesadaran akan terdapat kerusakan yang substansial, meluas, dan merusak dalam jangka panjang terhadap lingkungan. “Sebenarnya kita perlu mengacu pada ancaman terhadap manusia dan kebudayaan kita, yang dari segi lingkungan, itu adalah krisis iklim,” katanya, Jumat, 14 April lalu.
Leonard menyadari Indonesia belum meratifikasi Statuta Roma sehingga dampak masuknya ekosida ke ICC terbatas di sini. “Misalnya Indonesia tidak bisa mengadili berdasarkan Statuta Roma, tapi secara teori, pejabat, chief executive officer perusahaan, atau aktor Indonesia bisa diadili di negara anggota Statuta Roma,” tuturnya.
Masih butuh waktu hingga ekosida nanti benar-benar masuk ke ICC. Namun Leonard melihat hal itu akan memberikan sinyal yang sangat kuat kepada berbagai pihak. “Misalnya, kepada Indonesia, meski bukan menjadi pihak Statuta Roma, akan menjauhi langkah-langkah yang mungkin bisa masuk kategori ekosida ini,” ucapnya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo