Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Mahkamah Pidana Internasional memerintahkan penangkapan Presiden Rusia Vladimir Putin.
Negara anggota Mahkamah seperti Afrika Selatan ragu untuk mematuhi perintah itu.
Indonesia belum menjadi anggota ICC karena berbagai alasan.
DUMA, parlemen Rusia, akan mengamendemen undang-undang tentang keamanan yang akan memberikan wewenang kepada presiden untuk melindungi warga negaranya dari lembaga asing atau internasional yang membuat keputusan yang berlawanan dengan hukum Rusia. “Keputusan ini membuat kami melindungi negeri ini dari aksi ilegal, tak bersahabat, dan agresif sebagai bagian dari organisasi internasional,” kata Vyacheslav Volodin, Ketua Duma, seperti dikutip kantor berita TASS, pada Kamis, 13 April lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Keputusan itu tampaknya merespons perintah penahanan terhadap Presiden Rusia Vladimir Putin yang diterbitkan Mahkamah Pidana Internasional (ICC) pada pertengahan Maret lalu. ICC menyatakan Putin sebagai tersangka kejahatan perang dalam kasus deportasi ilegal anak-anak Ukraina ke Rusia selama invasi Rusia ke Ukraina.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perhatian komunitas internasional kini berpusat pada seberapa jauh perintah ICC akan dilaksanakan. Sejauh ini sebanyak 123 dari 195 negara di dunia telah meratifikasi Statuta Roma 1998, dasar pembentukan ICC. Negara-negara yang menjadi pihak ini tentu diharapkan melaksanakan perintah ICC. Namun beberapa negara besar, seperti Amerika Serikat dan Cina, tidak meratifikasi Statuta Roma. Rusia mundur dari Statuta Roma pada 2016. Adapun Ukraina bukan pihak dalam ICC tapi menerima yurisdiksi pengadilan internasional itu.
Atip Latipulhayat, guru besar bidang hukum internasional Universitas Padjadjaran, Bandung, mengingatkan penangkapan kepala negara tidaklah mudah karena ada hukum kebiasaan internasional yang memberikan kekebalan bagi kepala negara yang sedang melawat ke negara lain. “Itu ‘cacat bawaan’ ICC sejak lahir karena ia dibentuk berdasarkan sistem hukum nasional dan menjadi superbody. Sedangkan hubungan negara-negara itu berdasarkan koordinasi,” ujarnya pada Jumat, 14 April lalu.
Di Asia Tenggara, hanya Kamboja dan Timor Leste yang meratifikasi Statuta Roma. Indonesia belum meratifikasinya karena beberapa alasan. Menurut Purnomo Ahmad Chandra, Direktur Hukum dan Perjanjian Politik dan Keamanan Kementerian Luar Negeri RI, keterlibatan Indonesia dalam Statuta Roma sedang dibahas. “Kita waktu itu abstain, tidak menolak, karena tidak yakin bagaimana proses implementasinya,” ucap Purnomo pada Kamis, 6 April lalu.
Presiden Megawati Soekarnoputri sempat menyusun Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia dan Statuta Roma termasuk salah satu poinnya, tapi tak dilanjutkan. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sempat membentuk suatu tim untuk mengkaji kemungkinan meratifikasi Statuta Roma, tapi juga berhenti.
Di masa pemerintah Presiden Joko Widodo, isu ini muncul lagi ketika ada desakan dari masyarakat sipil dan mencuatnya kasus Omar Bashir, mantan Presiden Sudan yang didakwa ICC melakukan kejahatan perang dan kejahatan kemanusiaan di Darfur. “Sempat ada pembahasan mengenai Statuta Roma, rapat antar-kementerian, tapi belum ada kesepakatan juga,” ujar Purnomo. Pembicaraan terakhir terjadi pada 2019.
Menurut Purnomo, dulu ada kekhawatiran warga negara Indonesia akan diadili di negara lain kalau Indonesia menjadi pihak dalam ICC. Namun kini kekhawatiran itu sudah menipis. Diskusi yang mencuat sekarang adalah mana yang lebih bermanfaat, meratifikasinya atau menyesuaikannya melalui hukum nasional.
Purnomo menyebutkan ICC sebenarnya lebih mendorong pada penyelesaian berdasarkan hukum nasional setiap negara. Dia mencontohkan kasus tentara Inggris yang melakukan kejahatan perang di Irak pada 2003-2008. ICC sempat melakukan penyelidikan tapi kemudian menutup kasus ini pada 2020 dan pemerintah Inggris mengadili sendiri tentaranya. “Jadi, kalau ada tuntutan semacam itu, ICC akan melihat dulu apakah hukum nasional di negara itu memadai untuk mengadili orang-orang yang melakukan tindak pidana tersebut,” katanya.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia yang disahkan pada Januari lalu sudah memasukkan asas universal. Undang-undang ini berlaku bagi warga negara Indonesia yang melakukan tindak pidana menurut hukum internasional. Ia juga berlaku bagi orang yang melakukan tindak pidana di luar negeri yang penuntutannya dilakukan Indonesia atas dasar perjanjian internasional.
Meskipun demikian, Indonesia baru memiliki Undang-Undang Pengadilan Hak Asasi Manusia, yang menangani genosida dan kejahatan kemanusiaan. “Tapi kejahatan perang enggak masuk. Itu juga jadi persoalan kalau kita mau menangkap Putin, karena kita tidak punya aturan mengenai kejahatan perang,” ujar Purnomo.
Kementerian Luar Negeri, tutur Purnomo, berpegang paling tidak pada lima “aman”, yakni aman dari sisi politik, teknis, yuridis, keamanan, dan keuangan, bila Indonesia mau meratifikasi konvensi atau terikat dengan satu perjanjian internasional. “Kalau salah satu tidak lengkap, biasanya kami berhenti dulu. Kami bereskan dulu yang enggak lengkap ini.”
Purnomo menyatakan Kementerian Luar Negeri cenderung melengkapi peraturan nasional untuk isu-isu yang bisa ditangani sendiri. Dia mencontohkan kerangka hukum Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang praktik penangkapan ikan yang ilegal, tidak dilaporkan, dan menyalahi aturan atau IUU Fishing. Kementerian Kelautan dan Perikanan kemudian membuat Undang-Undang Perikanan yang memasukkan unsur-unsur dari IUU Fishing. “Kini IUU Fishing ditinggal, tidak diratifikasi.”
Atip Latipulhayat lebih mendukung untuk memperkuat hukum nasional daripada meratifikasi hukum internasional. “Indonesia sebaiknya memperkuat hukum sendiri sehingga tetap mampu mengadili para pelaku kejahatan pelanggaran HAM berat sebagaimana diatur dalam Statuta Roma,” katanya. “ICC itu sebagai pilihan terakhir kalau suatu negara tak mau atau tak dapat mengadili.”
Menurut Atip, secara normatif hukum Indonesia sudah lumayan mengalami perbaikan, terutama sejak adanya pengadilan HAM kasus Timor Timur. “Tapi saya sangat ragu terhadap penegakan hukumnya. Sebab, penegakan hukum di negara kita hampir diragukan oleh berbagai kalangan komunitas internasional. Itu masalahnya,” tuturnya.
Sistem hukum kita, kata Atip, masih dinilai belum mampu memenuhi standar hukum internasional karena terkesan masih memberlakukan impunitas kepada pejabat negara yang melanggar hukum. Dia mencontohkan kasus Pinangki Sirna Malasari, jaksa di Kejaksaan Agung yang diadili karena menerima suap dari buronan kasus Bank Bali, Djoko Tjandra. Pengadilan menjatuhkan hukuman sepuluh tahun penjara terhadap Pinangki pada Agustus 2020, lalu menjadi hanya empat tahun penjara, dan akhirnya bebas bersyarat pada September 2022. “Bagaimana orang mau percaya (pada sistem hukum Indonesia) ketika penegak hukum yang melakukan pelanggaran malah dihukum rendah? Ini satu indikator. Apalagi bila pelanggaran serius itu dilakukan para pejabat. Inilah yang diragukan,” ujar Atip.
Presiden Rusia Vladimir Putin bertemu dengan Komisaris Presiden Rusia untuk Hak Anak Maria Lvova-Belova di Moskow, Rusia 16 Februari 2023. REUTERS/Sputnick/MIkhail Metzel/Pool
Dengan kondisi saat ini, tak ada halangan apa pun bagi Putin bila hendak mampir di Jakarta. Namun tidak demikian halnya di negara-negara anggota ICC. Putin, misalnya, dijadwalkan menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi BRICS, blok kelompok ekonomi Brasil, Rusia, India, Cina, dan Afrika Selatan, di Cape Town, Afrika Selatan, pada Agustus mendatang.
Tuan rumah Afrika Selatan mengaku menghadapi dilema karena sebagai anggota ICC mereka diharapkan menahan Putin. “Semua kepala negara diharapkan menghadiri KTT. Tapi sekarang kami menghadapi hal yang tak direncanakan, yakni surat perintah ICC ini,” tutur Vincent Magwenya, juru bicara Presiden Afrika Selatan Cyril Ramaphosa, seperti dikutip Africa News, pada Rabu, 12 April lalu.
Politikus di sana terbelah dalam menyikapi rencana kedatangan Putin. Partai oposisi utama Aliansi Demokratik meminta pemerintah menahan Putin jika datang, sedangkan partai-partai kiri, termasuk Partai Komunis Afrika, sekutu partai berkuasa Kongres Nasional Afrika, meminta pemerintah menyambut Putin dan mengabaikan perintah ICC.
Kremlin belum memutuskan apakah Vladimir Putin akan datang atau tidak. Acara KTT BRICS mungkin akan menentukan nasib Putin di hadapan negara-negara anggota ICC.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Artikel ini terbit di edisi cetak dengan judul "Putin dalam Bayang-bayang Mahkamah". Daniel Ahmad berkontribusi dalam penulisan artikel ini.