Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PRESIDEN Joko Widodo menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 32 Tahun 2024 tentang Tanggung Jawab Perusahaan Platform Digital untuk Mendukung Jurnalisme Berkualitas. Butuh tiga tahun bagi pemerintah untuk merampungkan regulasi itu sejak digagas pada awal 2021. Peraturan yang dikenal sebagai publisher rights itu di antaranya memuat kewajiban perusahaan platform digital tak menyebarkan berita buruk serta berbagi hasil kerja sama dengan perusahaan media.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu bercerita, pembahasan rancangan peraturan itu diwarnai lobi dan negosiasi. Perusahaan pers, misalnya, mempersoalkan syarat verifikasi Dewan Pers agar bisa mengikat perjanjian dengan platform digital. Sedangkan platform digital—antara lain Google dan perusahaan media sosial seperti Facebook—keberatan ketika diminta menyeleksi dan mengeluarkan berita buruk dari mesin pencari. “Yang penting semua pihak menurunkan tensinya,” kata Ninik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penerbitan Perpres Publisher Rights ini pun tak lepas dari polemik. Ada kekhawatiran soal potensi pembatasan konten berita. Ninik memastikan praktik yang menjurus ke sensor itu tak akan terjadi dengan berlakunya regulasi ini. “Platform bukan penentu, semuanya kembali ke Dewan Pers,” tuturnya.
Selama lebih dari satu jam, Ninik meladeni wawancara khusus dengan wartawan Tempo, Praga Utama dan Raymundus Rikang, di kantor redaksi Tempo, Jalan Palmerah Barat, Jakarta Selatan, pada Rabu, 6 Maret 2024, setelah ia memberikan pidato dalam acara perayaan ulang tahun Tempo ke-53. Mantan anggota Ombudsman RI itu menjelaskan proses perumusan peraturan presiden tentang publisher rights serta tantangan pers di era digital.
Bagaimana mula-mula pembuatan peraturan presiden tentang publisher rights ini?
Bermula dari keluhan rekan-rekan pers kepada Presiden Joko Widodo pada Hari Pers Nasional, sekitar awal 2021. Mereka menyampaikan ekosistem pers di era digital membuat masyarakat makin sulit membedakan informasi biasa dengan karya jurnalistik. Juga keluhan soal pembagian revenue karena media merasa tak mendapatkan porsi yang sesuai dibanding apa yang didapatkan perusahaan platform digital.
Apa problem serius dalam kualitas karya jurnalistik yang disampaikan kepada Jokowi?
Banyak sekali disinformasi yang beredar, tapi tak semua orang berupaya mencari kebenaran dari media mainstream. Memang, kemerdekaan pers menimbulkan implikasi kebebasan mendirikan perusahaan pers, tapi tak dikelola secara profesional. Akibatnya, kualitas berita buruk, pembodohan masyarakat. Banyak juga orang yang menyukai berita yang mengandung clickbait.
Seperti apa pembagian revenue dengan perusahaan platform?
Keluhan yang disampaikan waktu itu tak ada transparansi pendapatan iklan. Pendapatan ini menempel pada sistem algoritma yang kewenangannya ada pada perusahaan platform.
Perpres Publisher Rights bisa menyelesaikan semua masalah itu?
Saya kira sudah tepat untuk saat ini. Kami bersyukur insan pers dan pemerintah sudah bisa menyelesaikan tahapannya. Memang masih menunggu enam bulan agar skema pelaksanaannya lebih konkret. Dewan Pers dan konstituen memastikan regulasi ini menjawab persoalan itu. Semua berpartisipasi aktif. Namun pasti ada harapan yang tak terakomodasi. Yang penting semua pihak menurunkan tensinya.
Kami mendengar pembahasan bersama perusahaan platform alot. Misalnya terkait dengan kewajiban mereka menyeleksi berita....
Dua pihak, baik pers maupun perusahaan platform, menolak. Pers menolak jika kewenangan menyeleksi diserahkan kepada platform. Menurut rekan-rekan pers, tugas memverifikasi berita yang dianggap sebagai karya jurnalistik berkualitas atau sebaliknya berada di tangan Dewan Pers. Masak, tugas itu diserahkan kepada perusahaan platform? Begitu juga dengan pihak platform yang merasa, “Kok, tanggung jawab itu diserahkan kepada kami?”
Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu memberikan sambutan saat puncak perayaan Hari Pers Nasional 2024 di Jakarta, 20 Februari 2024/Tempo/ Febri Angga Palguna
Apa jalan tengahnya?
Perusahaan platform memang tak mau ketika diminta menjamin dan menentukan karya jurnalistik yang berkualitas. Negosiasinya kemudian mengganti diksi dalam peraturan presiden itu bahwa perusahaan platform wajib memberikan upaya terbaik untuk mendukung jurnalisme berkualitas.
Bagaimana implementasinya?
Perusahaan platform tak memfasilitasi berita yang berisi misinformasi dan disinformasi. Mereka memfasilitasi berita yang berkualitas baik dan mendukung dengan pelatihan. Yang terpenting adalah mendesain algoritma untuk mendukung pemberitaan yang berperspektif kebinekaan dan tak menimbulkan polarisasi. Teknologi sekarang sudah mampu melakukan itu, asalkan mau. Di beberapa negara, berita yang tak memenuhi standar langsung cut. Itu yang kami harapkan.
Bukankah itu menjurus pada sensor yang berlawanan dengan kemerdekaan pers?
Kami tak ingin membangkitkan sensor. Karena itu, Pasal 5 peraturan presiden itu meminta perusahaan platform memfasilitasi berita berkualitas yang diproduksi perusahaan pers. Mereka bukan penentu sehingga semuanya kembali ke Dewan Pers.
Menurut Anda, berita bermutu itu seperti apa?
Karya jurnalistik yang mengandung keadilan yang hakiki, yang bisa menimbulkan kesejahteraan dan keamanan.
Di media ada gejala memburu umpan klik atau clickbait untuk mendulang profit ketimbang membuat berita berkualitas. Apa tanggapan Anda?
Memang ada gejala setiap orang merasa bisa menulis. Tapi, kalau menulis tak sesuai dengan standar, kami akan bertindak. Ada juga yang sebaliknya, menulis berita dengan serius, tapi hasilnya begitu-begitu saja. Kami tentu berharap pers mampu menyuarakan keadilan hakiki yang menjadi kebutuhan publik.
Regulasi mengeluarkan berita buruk dari mesin pencari pasti berdampak pada konstituen Dewan Pers dari perusahaan media di level tengah. Apa mitigasinya?
Itu tugas Dewan Pers karena kami punya tugas berat bisa menghasilkan masyarakat yang terlayani dengan informasi yang benar. Kami akan mendampingi mereka sampai tahap menjadi pers profesional. Kami membangun sistem untuk melihat prosesnya. Jadi tak ada cerita Ninik Rahayu bisa meloloskan perusahaan pers menjadi berstandar profesional. Sebab, ada pleno tim verifikasi dan prosesnya jelas.
Apa tantangan mendampingi perusahaan pers yang belum profesional?
Ada foto tanpa caption. Substansi beritanya lebih dari separuh mengambil berita media lain tanpa ada kerja sama formal. Ada juga yang melanggar pedoman pemberitaan anak dan keberagaman. Kalau kami melihat problem itu dengan kacamata kuda, pasti marah. Tapi kami juga enggak bisa marah karena jangan-jangan mereka tak paham dan tak pernah mendapat pelatihan.
Ada lobi dari perusahaan platform kepada Anda untuk mengegolkan isi peraturan?
Pasti. Mana ada pembuatan kebijakan tanpa ada lobi dan negosiasi. Setiap pihak pasti menginginkan hasil yang ideal menurut persepsi dan kepentingan mereka. Apakah ada pasal tertentu yang mereka minta diganti? Ada. Kami menjelaskan, kalau kalian tak mau mendesain algoritma, tak mau melakukan delisting berita buruk, implikasinya akan begini. Akhirnya mereka mau setelah ada pemahaman bersama. Di situ proses lobi berjalan dan wajib ada dalam pembentukan dan advokasi sebuah peraturan.
Apa yang membuat perusahaan platform akhirnya bersedia melakukan upaya terbaik untuk mendesain algoritma yang mendukung berita berkualitas?
Ada dialog. Kami mendudukkan mereka sebagai pihak yang punya derajat yang sama. Kami sudah menggelar survei, termasuk mengukur respons platform. Hasilnya baik dan tak ada resistansi. Bahwa tak semua harapan bisa diakomodasi, iya. Mereka pun melihat yang dikehendaki perusahaan pers juga ada yang tak diakomodasi. Bahkan sampai sekarang ada yang tak bisa menerima.
Ada contohnya?
Perpres Publisher Rights mensyaratkan pihak yang bisa menjalankan perjanjian adalah perusahaan pers yang sudah terverifikasi Dewan Pers. Ketentuan ini ada yang tak bisa menerima.
Apa keberatan perusahaan pers itu?
Mereka mempertanyakan kenapa verifikasi menjadi syarat. Sedangkan mengurus verifikasi di Dewan Pers, menurut mereka, ribet karena sampai kontennya diurusi. Saya bilang, justru jantung perusahaan media itu konten. Bagaimana kalau kontennya bias dan dibuat serampangan? Kami tak mau ada pembajakan atau distorsi pada informasi yang menjadi kebutuhan publik.
Amanat lain Perpres Publisher Rights adalah pembentukan komite. Apa tugas komite ini?
Kami sudah membuat kerangka kerja karena regulasi itu memberi mandat bahwa kewenangan memilih, membentuk, dan menetapkan komite ada di Dewan Pers. Kami sudah membentuk gugus tugas yang akan memikirkan seperti apa komite ini. Komite ini akan mengawasi dan memfasilitasi pemenuhan pelaksanaan kewajiban perusahaan platform.
Seberapa independen komite ini?
Setelah komite terbentuk, sifatnya akan independen. Hakikat pertanggungjawabannya juga kepada publik. Tapi secara administratif komite ini di bawah Dewan Pers karena mereka tetap memerlukan dukungan kesekretariatan. Kami pun memberikan kewenangan kepada tim seleksi anggota komite untuk melakukan konsultasi atau dialog dengan mengundang sebanyak mungkin pemangku kepentingan agar kami mendapatkan calon-calon terbaik.
Bagaimana memastikan komite ini diisi orang profesional, bukan para pemburu jabatan?
Kekhawatiran itu pasti ada. Meski begitu, melihat susunan tim seleksi yang terdiri atas jurnalis senior, kami menitipkan pesan untuk menjaga kualitas. Kami tak bisa menitipkan nama. Yang bisa kami lakukan adalah menitipkan kualifikasi calon yang layak. Mudah-mudahan langkah ini bisa menjadi cara mengukur kompetensi dan kredibilitas orang yang berkomitmen menjaga kemerdekaan pers.
Apa ukuran kompetensi bagi calon anggota komite hak penerbitan ini?
Salah satu yang disepakati adalah rekam jejak, apakah dalam perjalanan kariernya pernah melakukan perbuatan yang mencederai kebebasan pers. Kualifikasi ini yang kami jaga.
Bagaimana caranya agar komite tak berat sebelah dalam mengatur kerja sama antara perusahaan pers dan platform?
Sepanjang yang saya tahu, komite akan bersikap pasif dan tidak campur tangan dalam urusan kerja sama antarperusahaan. Komite baru bekerja jika ada persoalan yang tidak bisa diselesaikan. Kerja sama antarperusahaan ini dijalankan berdasarkan kesepakatan.
Ninik Rahayu
Tempat dan tanggal lahir:
Lamongan, Jawa Timur, 23 September 1963
Jabatan publik:
- Komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (2006-2014)
- Anggota Ombudsman Republik Indonesia (2016-2021)
- Ketua Dewan Pers (2022-2025)
Pendidikan:
- Doktor ilmu hukum Universitas Jember, Jawa Timur
- Magister ilmu hukum Universitas Airlangga, Surabaya
- Sarjana ilmu hukum Universitas Jember
Laporan harta kekayaan:
Rp 7,6 miliar (2020)
Bagaimana dengan ketentuan bagi hasil antara perusahaan pers dan platform?
Sedang disusun dan didiskusikan dengan para ahli. Catatan teman-teman pers yang lalu adalah tak adanya transparansi. Dalam skema ke depan, harapannya lebih transparan. Detailnya ada pada komite yang menyusun dan didukung para ahli.
Pembagian itu akan adil bagi perusahaan pers di level menengah?
Harus dan tak boleh ada pembedaan. Karena itu, perusahaan pers yang masih berada di level tersebut boleh diwakili asosiasi.
Ihwal Undang-Undang Pers, kami mendengar ada upaya merevisi peraturan itu. Apa benar?
Kami tiba-tiba diundang Dewan Perwakilan Rakyat pada 2023 untuk membahas revisi. Ada akademikus juga yang datang. Saya tanya, kenapa membahas revisi? Mereka bilang bukan revisi, tapi ingin mengetahui apakah ada kendala dalam implementasi Undang-Undang Pers. Maksudnya, jika ada kendala, apa dukungan kebijakan yang bisa diberikan. Dalam kasus perpres tentang publisher rights ini agak lama pembahasannya karena tak ada mandat Undang-Undang Pers untuk membuat aturan turunan.
Pembahasan itu bisa menjadi pintu masuk untuk mengubah undang-undang....
Kami paham tak ada undang-undang yang tak berpotensi diubah. Persoalannya adalah melihat dinamika dan punya relevansi dengan kebutuhan atau tidak. Saya tanya saja kepada insan pers, dengan disrupsi digital sekarang, apakah undang-undang itu mengakomodasi? Pasti jawabannya belum.
Bukankah ada peluang menghapus kemerdekaan pers jika revisi betul-betul bergulir?
Bisa jadi demikian. Dengan adanya revisi, akan ada penghilangan pasal yang menjamin kebebasan pers. Sebab, pembentukan undang-undang itu proses politik. Jika dihadapkan pada situasi itu, kita akan bilang bahwa tak perlu ada revisi Undang-Undang Pers. Revisi atau tidak, bagi saya, harus diletakkan pada persoalan substansinya sebagai basis argumentasi.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Kami Tak Ingin Membangkitkan Sensor"