Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Penyebab Bencana Banjir Sumatera Barat

Bencana banjir dan tanah longsor melanda Sumatera Barat. Dampak hujan ekstrem diperparah alih fungsi lahan di daerah hulu.

17 Maret 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ERPALZI tak menyangka hujan pada Kamis sore, 7 Maret 2024, bakal membawa malapetaka. Warga Kampung Langgai, Kecamatan Sutera, Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat, itu awalnya bahkan tak khawatir ketika air Sungai Batang Surantih mulai meluber ke area permukiman. Sungai yang membelah Nagari Ganting Mudiak Utara Surantih itu memang kerap meluap saat musim hujan datang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Biasanya banjir hanya setinggi mata kaki, lalu tak lama surut,” kata Erpalzi ketika ditemui di Kampung Langgai pada Selasa, 12 Maret 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Erpalzi mulai waswas ketika luapan Sungai Batang Surantih tak kunjung surut. Air malah sampai setinggi paha orang dewasa. Erpalzi dan warga Kampung Langgai lain makin panik tatkala listrik padam sekitar pukul 20.00 WIB. Dalam gelap, mereka tunggang-langgang menerobos hujan untuk mencari lokasi yang aman di perbukitan.

Pada malam yang sama, kepanikan juga melanda Kampung Batu Bala, kampung tetangga di selatan Kampung Langgai. Ineng Purnamasari bersama suami dan dua anaknya berlarian bersama warga Kampung Batu Bala lain menuju bukit di belakang kantor Wali Nagari Ganting Mudiak Utara Surantih. Seperti warga Kampung Langgai, mereka mulanya mengira luapan Sungai Batang Surantih pada sore hari tadi akan segera surut.

“Kami ke luar rumah hanya membawa pakaian di badan, tidak sempat menyelamatkan barang lain,” ucap Ineng.

Baik Erpalzi maupun Ineng tak bisa melihat apa yang terjadi di bawah bukit yang malam itu mereka pijak. Mereka hanya bisa mendengar air menderu-deru dari kejauhan. Pemandangan pagi keesokan harinya makin membuat mereka terpana.

Kampung Langgai dan Kampung Batu Bala nyaris rata dengan tanah, terutama yang berada tepat di pinggir kali. Bangunan rumah yang masih bertahan tampak reot, dipenuhi timbunan material tanah cokelat dan bebatuan. Kayu bekas rumah yang roboh berserakan, berebut ruang dengan potongan pohon yang tumbang.

Jumat pagi itu pula kabar bencana banjir dan tanah longsor di Kabupaten Pesisir Selatan menyebar ke seantero negeri. Bencana hidrometeorologi—yang dipicu cuaca ekstrem—nyatanya tak hanya melanda Kabupaten Pesisir Selatan, tapi juga 11 kabupaten/kota lain di Sumatera Barat. Selain Kabupaten Pesisir Selatan, ada empat daerah dalam status tanggap darurat bencana, yaitu Kabupaten Padang Pariaman, Kabupaten Pasaman Barat, Kepulauan Mentawai, dan Kota Padang.

Jumlah korban dalam bencana Sumatera Barat itu terus bertambah. Hingga Rabu, 13 Maret 2024, Badan Nasional Penanggulangan Bencana mencatat 28 orang meninggal. Lima korban lain masih hilang. Sementara itu, hampir 79 ribu jiwa saat ini tinggal di lokasi pengungsian karena banjir telah merendam lebih dari 24 ribu unit rumah.

Pesisir Selatan menjadi daerah dengan dampak bencana paling parah. Sebanyak 24 korban tewas, juga semua korban yang belum ditemukan, berasal dari kabupaten ini.

Kondisi di Kampung Langgai paling memprihatinkan. Sejak banjir bandang menerjang, kampung ini praktis terisolasi. Dua jembatan penghubung menuju Langgai putus. Jalan pun tertimbun tanah longsor, sehingga kampung yang diapit perbukitan ini paling terakhir mendapatkan pertolongan.



•••

Hujan untuk sementara menjadi kambing hitam dalam bencana Sumatera Barat. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika memang mencatat intensitas curah hujan meningkat dalam beberapa pekan terakhir dan mencapai puncaknya pada Kamis, 7 Maret 2024, hari ketika banjir bandang menerjang. Kala itu curah hujan di Kabupaten Pesisir Selatan dan Solok Selatan mencapai 320 milimeter per hari, lebih dari dua kali lipat batas bawah kategori hujan ekstrem.

Curah hujan setinggi itu juga melampaui kondisi normal di Sumatera Barat, yang berkisar 300-400 milimeter per bulan. “Sehingga, bisa dianalogikan, hujan yang terjadi pada 7 Maret 2024 itu merupakan hujan untuk satu bulan tapi turun dalam sehari,” kata Koordinator Observasi dan Informasi Stasiun Bandar Udara Internasional Minangkabau Padang Pariaman, Yudha Nugraha, kepada Tempo, Rabu, 13 Maret 2024.

Menurut Yudha, hujan ekstrem sebenarnya juga terjadi di sepanjang pesisir barat Pulau Sumatera, yang mencakup wilayah Sumatera Selatan, Bengkulu, dan Jambi. “Namun saat ini curah hujan sudah mulai normal,” ujarnya.

Namun, di Nagari Ganting Mudiak Utara Surantih, sebagian masyarakat mulai bertanya-tanya mengapa dampak banjir kali ini begitu parah. Wali Nagari Ganting Mudiak Utara Surantih, Zuheldi, memperkirakan sedikitnya 80 rumah warganya rusak berat. Dia curiga banyaknya rumah yang rusak tersebut tak hanya disebabkan oleh terjangan banjir, tapi juga akibat hantaman potongan-potongan kayu raksasa yang terbawa arus dari hulu Sungai Batang Surantih.

“Saya tidak juga mengetahui kenapa terlalu sampai ada pohon-pohon besar ini, sehingga membuat rumah warga rusak,” tutur Zuheldi.

Ketika Tempo tiba di Kampung Langgai pada Selasa, 12 Maret 2024, atau lima hari setelah banjir bandang, log-log kayu yang dimaksud oleh Zuheldi masih berserakan di bibir sungai dan area permukiman. Potongan kayu bulat besar-besar juga menumpuk dan melintang di wilayah jembatan Kampung Langgai yang putus.

Tenda pengungsian masyarakat yang rumahnya rusak berat akibat banjir bandang dan longsor di Nagari Ganting Mudiak Utara, Kecamatan Sutera, Kabupaten Pesisir Selatan, 11 Maret 2024/Tempo/Fachri Hamzah.

Kayu-kayu bulat itu tak utuh sepohon, yang paling panjang 3 meter, dengan diameter lebih-kurang 50 sentimeter. Bekas potongan di pangkal-pangkalnya mengindikasikan bahwa kayu itu digergaji, bukan dari pohon yang tumbang. Keberadaan kayu bulat yang diduga hasil digergaji itulah yang belakangan menguatkan dugaan adanya aktivitas perusakan hutan di hulu Sungai Batang Surantih.

Kepala Dinas Kehutanan Sumatera Barat Yozawardi menyatakan tidak bisa menanggapi dugaan tersebut. Dia berdalih, bagian hulu di Langgai merupakan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS). “Alangkah baiknya ditanyakan ke Kepala TNKS,” ujarnya melalui pesan WhatsApp.

Kendati begitu, dia tak menampik bila disebut masih ada aktivitas penebangan liar di wilayah Sumatera Barat. Pada 2023, dia mencontohkan, Dinas Kehutanan Sumatera Barat menyita 116 keping kayu dengan volume 15,43 meter kubik di wilayah kelola Unit Pelaksana Teknis Dinas Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi Pesisir Selatan. Timnya juga mendapati temuan 61 kayu gergajian jenis meranti sebanyak 61 keping dengan volume 3,3 meter kubik dalam patroli pada November 2023.

•••

Taman Nasional Kerinci Seblat merupakan kawasan hutan konservasi terbesar di Sumatera. Areanya meliputi Pegunungan Bukit Barisan, yang membelah wilayah Sumatera Barat, Bengkulu, Jambi, hingga Sumatera Selatan. Di Sumatera Barat, taman nasional ini berada di sisi timur Kabupaten Pesisir Selatan, sekaligus menjadi batas wilayah dengan Kabupaten Solok Selatan.

Puluhan daerah aliran sungai (DAS) di Pesisir Selatan berbanjar dan berhulu di pegunungan wilayah TNKS. DAS Surantih, termasuk di dalamnya Sungai Batang Surantih, satu di antaranya. Sebagian besar kawasan DAS seluas total 30 ribu hektare—sekitar separuh luas wilayah DKI Jakarta—ini berada di Kecamatan Sutera.

Hasil analisis Auriga Nusantara menunjukkan, dalam 20 tahun terakhir, deforestasi tak henti terjadi di hulu DAS Surantih. Pada 2002-2022, DAS Surantih kehilangan tutupan hutan seluas 7.410 hektare. Puncaknya terjadi sewindu lalu, ketika tutupan hutan hilang seluas 1.566 hektare pada 2017.

Khalid Khalilullah, Koordinator Jaringan Pemantau Independen Kehutanan (JPIK) Sumatera Barat, tak terkejut dengan banyaknya kayu bulat yang hanyut dan menerabas perkampungan bersamaan dengan banjir bandang dua pekan lalu. Pada Juli-Agustus 2023, dia turun ke lapangan untuk memantau kondisi TNKS di wilayah Pesisir Selatan dan Solok Selatan. Pemantauan dilakukan memanfaatkan data GLAD-L Alert, data peringatan pembukaan pohon pada platform Global Forest Watch.

Dari pemantauan lapangan tersebut, Khalid menyimpulkan masih banyak aktivitas illegal logging di sejumlah daerah yang berbatasan langsung dengan TNKS. “Kalau sejauh mata memandang, dari perkampungan terakhir memang tidak akan terlihat aktivitas logging itu,” kata Khalid pada Kamis, 14 Maret 2024. “Namun, jika masuk jauh ke dalam, barulah tampak bukaan lahannya.”

Kecamatan Sutera juga menjadi catatan khusus bagi Khalid karena sejak sedekade lalu merupakan salah satu lokasi lalu lintas pembalakan liar TNKS sisi Pesisir Selatan. Temuan lapangan JPIK pada medio tahun lalu masih mendapati aktivitas serupa di wilayah ini. “Masih banyak terlihat bukaan lahan. Jarak tempuhnya sekitar lima jam berjalan kaki dari kampung terakhir,” ucap Khalid.

Kepala Bidang Pengelolaan Taman Nasional Wilayah II Sumatera Barat pada Balai Taman Nasional Kerinci Seblat, Nadzrun Jamil, menampik temuan JPIK tersebut. Menurut dia, tim patroli terakhir kali menemukan aktivitas illegal logging pada 2021 di Kecamatan Tapan, Kabupaten Pesisir Selatan. “Setelah penangkapan tersebut, tidak ada lagi temuan. Saya rasa tidak ada aktivitas logging lagi di TNKS,” ujarnya.

Tumpukan kayu bekas ditebang yang beserakan di atas perbukitan di Nagari Ganting Mudiak Utara Surantih, 12 Maret 2024. Kayu juga jatuh hingga ke Sungai Surantih yang berjarak 50 meter dari bukit tersebut/Tempo/Fachri Hamzah.

Kendati demikian, Jamil tidak membantah kabar bahwa alih fungsi lahan di kawasan TNKS selama ini banyak dilakukan masyarakat. Di Kampung Langgai, misalnya, masyarakat mengubah fungsi lahan untuk menanam gambir. Namun persoalan tersebut, kata Jamil, sudah diselesaikan dengan mekanisme ketelanjuran yang diatur dalam Undang-Undang Cipta Kerja. “Jadi masyarakat yang sudah telanjur akan diberi sosialisasi dengan syarat tidak ada penambahan bukaan,” tutur Jamil.

Kelak, menurut Jamil, kawasan yang telanjur dibuka tetap dikelola oleh masyarakat dengan membentuk kelompok tani hutan. Kelompok inilah yang nantinya juga berperan sebagai pengawas di kawasan penyangga TNKS. “Yang sudah telanjur itu kami tetapkan sebagai kawasan rehabilitasi. Kami juga terus memantau dengan membentuk KPH (kesatuan pemangkuan hutan),” ujarnya.

Jamil mengakui alih fungsi lahan di masa lalu turut menyumbang terjadinya bencana banjir yang melanda Kecamatan Sutera. Namun, dia menilai, kontribusinya tak sebesar faktor curah hujan ekstrem belakangan ini.

Apa pun penyebab utamanya, bencana banjir di Kabupaten Pesisir Selatan membuat Egi Ade Saputra turut waswas. Direktur Eksekutif Yayasan Genesis—lembaga pemerhati lingkungan berbasis di Bengkulu—itu juga turut menganalisis kondisi terbaru TNKS di wilayah kerjanya bersama JPIK. Merujuk pada data GLAD, dalam rentang 2001-2023, tutupan hutan yang hilang di kawasan TNKS telah mencapai 72 ribu hektare. Sebanyak 9.877 hektare di antaranya terjadi di wilayah Bengkulu. “Jika terus dibiarkan, bukan tidak mungkin bencana akan menyusul di Bengkulu,” kata Egi.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Agoeng Wijaya berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Terimpit Dua Pangkal Petaka"

Fachri Hamzah

Fachri Hamzah

Kontributor Tempo di Padang, Sumatera Barat

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus