Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

Revisi Undang-undang Jelas Memperlemah KPK

Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Agus Rahardjo:

14 September 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TERPILIHNYA Inspektur Jenderal Firli Bahuri sebagai Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi periode mendatang dan revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi merupakan pukulan besar bagi lembaga antirasuah itu. Ketua KPK Agus Rahardjo, 63 tahun, mengatakan lembaganya sedang dikepung dari berbagai sisi. Merasa ada banyak upaya melemahkan KPK, dalam jumpa pers bersama Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarif dan Saut Situmorang pada Jumat, 13 September lalu, Agus menyerahkan tanggung -jawab pengelolaan Komisi kepada Presiden Joko Widodo.

Pembahasan revisi Undang-Undang KPK yang terkesan sembunyi-sem-bunyi dan terburu-buru menjadi alasan para pemimpin Komisi menye-rahkan mandat tersebut kepada Presiden Jokowi. Revisi itu disetujui Dewan Perwakilan Rakyat dalam rapat paripurna pada 5 September lalu. “Yang membuat kami sangat kecewa dan prihatin, kenapa pembahasan RUU KPK tetap sembunyi-sembunyi, tidak transpa-ran,” kata Agus kepada -Tempo.

Sehari setelah revisi Undang-Undang KPK disepakati, pemimpin Komisi menyurati Presiden Jokowi. Dalam surat tersebut antara lain disampaikan bahwa poin-poin revisi akan memperlemah KPK. Gayung tak bersambut. Presiden Jokowi menandatangani surat presiden terkait dengan revisi tersebut. Kamis malam, 12 September lalu, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly serta Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo menghadiri rapat pembahasan revisi undang-undang tersebut bersama Badan Legislasi DPR.

Kepada wartawan Tempo, Anton Aprianto, Sapto Yunus, Linda Trianita, Riky Ferdianto, Aisha Shaidra, dan Maya Ayu Puspitasari, di Gedung Merah Putih KPK, Senin, 9 September lalu, Agus menjelaskan upaya-upaya pelemahan KPK serta harapannya kepada Presiden Jokowi. Wawancara susulan berlangsung pada Jumat, 13 September, melalui pesan WhatsApp.

Bagaimana masa depan KPK dengan terpilihnya Firli Bahuri sebagai ketua periode mendatang?

Terhadap pimpinan KPK, Presiden sudah mengusulkan ke DPR dan DPR sudah menyetujui. KPK wajib menerima. Tidak boleh melawan keputusan Presiden dan DPR.

Ihwal revisi Undang-Undang KPK, apa sikap pemimpin KPK?

Yang membuat kami sangat kecewa dan prihatin, kenapa pembahasan RUU KPK tetap sembunyi-sembunyi, tidak transparan, serta ada tenggat buru-buru harus jadi. Sebenarnya ada kegentingan apa, kok, harus buru-buru?

Kapan Anda menyurati Presiden tentang revisi Undang-Undang KPK?

Jumat dua pekan lalu.

Bunyi suratnya bagaimana?

Intinya memohon untuk membenahi ­beberapa hal lain lebih dulu. Kami juga menyampaikan bahwa poin revisi yang ada itu jelas akan memperlemah KPK. Begitu dikirim, besoknya mendapat pesan Whats­App dari Pak Pratikno (Menteri Sekretaris Negara) yang menyatakan surat sudah kami terima.

Apa tanggapan Pratikno?

Enggak ada.

Presiden tidak pernah mengontak?

Enggak. Saya berharap, sih, berharap paling tidak ditanyailah.

Anda mengatakan ada sembilan persoalan dalam draf revisi Undang-Undang KPK. Kapan KPK mulai merumuskan sikap terhadap revisi itu?

Setelah mendengar informasinya di media. Terkejut juga yang lain. Tiba-tiba ada revisi gitu lho.

Dari poin-poin revisi, apa saja yang berpotensi besar melemahkan KPK?

Salah satunya soal melakukan penya­dapan harus berdasarkan persetujuan dewan pengawas, penyidik dan penyelidik dari Kepolisian Republik Indonesia dan kejaksaan. Itu dampaknya luar biasa.

Menurut DPR, sebagian dari poin-poin tersebut pernah diusulkan pemimpin KPK era Taufiequrachman Ruki....

Saya enggak akan berkomentar ya, karena ini periode yang lalu. Tapi kan Pak Ruki bilang tidak pernah mengusulkan. Saya bingung, ini yang benar yang mana.

(Pelaksana tugas Ketua KPK pada 2015, Taufiequrachman Ruki, membantah pernyataan anggota Komisi Hukum DPR, Arsul Sani, yang menyebut pemimpin KPK saat itu sebagai inisiator revisi Undang-Undang KPK.)

Setelah ada calon pemimpin KPK bermasalah, menyusul revisi Undang-Undang KPK. Anda melihat ini serangan untuk mematikan KPK?

Saya tidak yakin apakah disengaja atau tidak. Tapi, yang jelas, ada usaha melemahkan. Makanya kami menyampaikan permohonan kepada Presiden dan semoga menjadi perhatian Presiden.

Anda yakin Presiden bisa diharapkan?

Ya, harus berharap.

Apakah hal ini ada kaitannya dengan anggota Dewan yang sering menjadi sasaran ­operasi tangkap tangan KPK?

Saya enggak tahu ya, apakah ada hu­bungannya atau tidak. Tapi dulu ada Pansus Hak Angket begitu ada kasus yang menyentuh tokoh besar. Tapi hubungannya ke mana, saya belum tahu.

(Pada 2017, DPR membentuk Panitia Khusus Hak Angket Komisi Pemberantasan Korupsi untuk menyelidiki tugas dan wewenang KPK. Hal ini diduga berkaitan dengan kasus e-KTP yang akan menjerat Ketua DPR saat itu, Setya Novanto.)

Ada yang mengatakan revisi undang-­undang ini bertujuan memperbaiki kinerja KPK yang lemah. Ada penyalahgunaan kekuasaan sehingga ada kasus yang tidak dite­ruskan. Pembelaan Anda?

Jika contoh kasusnya R.J. Lino (mantan Direktur Utama PT Pelindo II), itu karena ada ketergantungan pada banyak pihak. Jika hanya soal kerugian negara, seharusnya sudah selesai. Selama lebih dari dua tahun kami bergantung pada Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Waktu itu BPKP ingin mendapat rinciannya. Tidak tahu kenapa satgas tidak memberikan rincian data tersebut kepada BPKP sehingga hitungan dari BPKP tidak bisa tuntas, pending terus.

KPK diserang balik dengan berbagai spanduk yang menyebutkan laporan keuangan KPK pada 2018 mendapat opini wajar dengan pengecualian. Mengapa KPK mendapat opini tersebut?

Itu di labuksi (pengelolaan barang bukti dan eksekusi). Semestinya tidak hanya sekarang, sebelumnya juga begitu. Tapi kami sudah mulai merapikannya. Mudah-mudah­an nanti bisa terukur betul berapa jumlah barang yang kami rampas.

Menurut catatan Badan Pemeriksa Keuangan, apa saja yang kurang detail?

Pokoknya terkait dengan pengelolaan barang bukti dan eksekusi, tapi saya kurang paham.

RUU KPK ini sebetulnya tidak menjadi ­prioritas Program Legislasi Nasional 2019. Anda tidak melihat ini sebagai celah bahwa DPR telah melakukan pelanggaran syarat formal legislasi?

Saya orangnya cenderung tidak mau konfrontatif. Jadi, seperti hari ini, ada banyak pihak bilang KPK brengsek, saya diamkan saja. Kalau saya jawab kan jadi debat yang tidak perlu. Ngapain?

Tapi soal opini wajar dengan pengecualian (WDP) itu penting dijelaskan kepada publik.

Iya, WDP itu penting terkait dengan masalah pencatatan penyitaan saja. Kalau soal perjalanan dinas, kegiatan, kami tidak berlebihan. Tidak ada pemborosan. Ke mana pun saya tidak menerima honor tambahan. Masyarakat harus yakin itu.

Anda menyesalkan masih ada calon ­pemimpin KPK yang lolos padahal pernah melanggar kode etik berat?

Itu kode etik yang dikeluarkan Peng­awasan Internal KPK. Ya, silakan nanti DPR yang menentukan. Jadi, kalau nanti DPR minta bukti, bisa kami tunjukkan.

Artinya sudah diakui Firli Bahuri melakukan pelanggaran berat?

Begini saja, biarkan DPR meminta kepada kami, baru kami tunjukkan datanya.

Rapat musyawarah DPR tidak cukup menyatakan Firli melanggar kode etik berat?

Kan, putusan pimpinan. Saat itu pimpinan belum memutuskan apa-apa.

Kenapa belum?

Waktu itu rasanya kita berpikir tunggu saja semuanya tuntas, baru diputuskan. Proses Pengawasan Internal (PI) berjalan, tapi belum diputuskan pelanggaran berat, mungkin PI masih mengumpulkan bahan, informasi.

Firli Bahuri, yang diduga pernah melanggar kode etik, menjadi ketua. Apa yang akan terjadi di dalam KPK?

Ada kemungkinan tidak harmonis dan tidak akan efektif dari dalam. Orang di dalam KPK yang akan mempermasalahkan hal itu.

Apa yang membuat tidak harmonis?

Bisa tidak bekerja dengan baik lho, karena ada protes terus-menerus dari dalam.

Apakah ada aturan yang memungkin­kan pemeriksaan etik kembali berjalan jika ia kembali ke KPK?

Di KPK, Pengawasan Internal itu independen, ya. Jadi kemungkinannya bisa berlanjut. Saya tidak bisa memerintah Pengawasan Internal. Dia juga bisa memeriksa saya.

Dari kandidat tersisa, menurut Anda siapa saja yang bisa membahayakan KPK?

Saya tidak punya informasi yang cukup, tidak hafal semuanya. Kalau pegang data itu, saya bisa coba jelaskan.

Sempat ada petisi di kalangan internal KPK mengenai dugaan pembocoran data. Apakah hal itu akan berpengaruh pada pemimpin KPK yang baru?

Belum ada pemeriksaan terhadap yang bersangkutan berdasarkan laporan dari petisi tersebut.

Partai politik pendukung revisi Undang-Undang KPK adalah partai pendukung pemerintah.

Makanya saya berharap Pak Jokowi ­seimbang mendengarkan pendapat para ahli hukum dari perguruan tinggi. Sangat berharap lagi Presiden mengajak KPK berbicara agar informasinya berimbang.

Pada beberapa kesempatan, Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan penangkapan oleh KPK membuat pejabat birokrasi takut sehingga mengganggu iklim investasi….

Yang takut menghambat investasi itu ­operasi tangkap tangannya atau korupsinya? Investor pasti takut terhadap korupsinya. Kalau penegakan hukumnya, semestinya tidak perlu ditakutkan. Yang menakutkan dari penegakan hukum itu sebetulnya pejabat yang melakukan korupsi. Kalau pejabatnya bersih, kenapa takut? Belakangan ini saya meminta besarnya langkah pencegahan bisa berkontribusi menghasilkan tambahan untuk negara.

KPK juga disebut melakukan pencegahan ke provinsi-provinsi, tapi pulangnya ada kepala daerah yang ditangkap.…

Itu artinya kami memberi pesan agar mereka berhenti menyalahgunakan aturan ­lelang, melakukan jual-beli jabatan, serta sembarangan mengelola aset daerah. Berhentilah membuat peraturan lelang dan memperjualbelikan jabatan. Saya bekas orang pengadaan, jadi cukup mengetahui penyelenggaraan semacam itu masih belum sehat.

Pada praktiknya, apakah persentase pencegahan dan penindakan berimbang?

Media sendiri jarang meliput aktivitas pencegahan. Rasanya, kalau alokasi anggaran, saya yakin lebih besar pencegahan dibanding penindakan.

Apa yang paling terlihat dari pencegahan?

Kami mulai dari ranah pendidikan, dari pembuatan kurikulum di level pendidikan usia dini hingga perguruan tinggi. Selain itu, menyediakan bahan ajar, me­ngelola manajemen pendidikan, hingga memikirkan pencegahan ke tataran politik. Kami juga menyediakan aplikasi JAGA untuk menuntut kehadiran pelayanan publik yang lebih transparan.

Untuk kondisi di Indonesia saat ini, mana yang harus diprioritaskan?

Menurut saya, dua-duanya harus berjalan. Kita tak bisa hanya bergantung pada pencegahan karena sejarah korupsi di negeri ini panjang. Sayangnya, sense of crisis masyarakat terhadap korupsi juga masih rendah.

Semangat mengutamakan pencegahan tidak cocok?

Saya setuju dalam waktu dekat harus dilakukan perubahan sistem, prosedur disederhanakan, lebih transparan, dan menegakkan integritas. Selain itu, ada perubahan tata kelola.

Dalam poin revisi Undang-Undang KPK, dewan pengawas kelak diisi DPR dan orang yang ditunjuk presiden. Seberapa berbahaya hal ini bagi KPK?

Terkait dengan tugas pokok saja. Kalau tugas pokoknya mengawasi, mirip Komisi Kepolisian Nasional atau Komisi Kejaksaan, dan tidak mencampuri urusan operasional, menurut saya masih masuk akallah. Tapi, kalau mengawasi operasional sehari-hari, tentu akan mengganggu.

Mengenai poin pegawai KPK adalah aparat sipil negara (ASN), yang tunduk pada peraturan perundang-undangan, apakah ada kaitannya dengan independensi?

Kalau ASN itu kan biasanya selalu di bawah menteri koordinator. Itu yang kemudian akan menjadi pertanyaan. Sebab, begitu berada di bawah satu koordinasi menteri, semestinya posisinya tidak bisa lagi independen.

Agus Rahardjo (kiri) bersama penyidik KPK menunjukkan barang bukti uang hasil operasi tangkap tangan di gedung KPK, Jakarta. TEMPO/Imam Sukamto

Poin revisi soal penyadapan harus melalui izin dewan pengawas, apa tanggapan Anda?

Sebetulnya kami sudah bercerita banyak, kan? Satu-satunya lembaga yang mempergunakan penyadapan yang di­audit itu KPK. Auditnya berhenti tahun berapa ya, karena ada peraturan sehingga Kementerian Komunikasi dan Informatika enggak berani melakukan karena kewenangannya hilang. Tapi kami tetap kirim surat. Meminta tetap diaudit supaya orang tidak memandang kami mempergunakan kewenangan audit sembarangan. Anak-anak tidak pernah mengaudit yang tidak disetujui pimpinan. Selalu dari satgas ke direkturnya, direktur ke deputinya, deputinya kemudian ke pimpinan.

Mengurus izin ke pengadilan juga sulit?

Kekhawatiran kami kan ada kemungkinan bocor, ya. Apalagi audit sudah dilakukan. Kami tidak pernah melakukan penyadapan yang tidak sesuai dengan prosedur. Kami selalu bertanya, orang ini di­sadap kenapa, alat bukti awalnya apa, kaitannya dengan peristiwa apa. Jadi tidak pernah sembarangan mengaudit orang. Ada prosedurnya. Dan penyadapan itu tidak dilakukan di penindakan. Yang melakukan deputi lain. Teman-teman deputi lain kalau tidak ada tanda tangan tiga pimpinan juga tidak ada yang berani melakukan tindakan. Meski mendesak, tidak akan dilakukan.

Penolakan terhadap RUU KPK yang muncul dari pegawai itu dikoordinasikan dengan pimpinan?

Kami kan punya Pembinaan Jaringan Kerja Antar-Komisi dan Instansi. Kami punya Wadah Pegawai. Alamiah kalau lembaganya akan dilemahkan, sebagai salah satu tempat berjuang, dari pimpinan, seluruh insan KPK akan melihat ini sebagai sesuatu yang harus diperjuangkan bersama.

Anda masih optimistis terhadap ­Presiden?

Masih berharap.

Kapan terakhir kali bertemu dengan ­Presiden?

Sudah lama, ya. Kalau di acara-acara sering ketemu. Salaman saja.

Langkah DPR bergantung pada surat presiden, KPK bergantung kepada siapa?

KPK itu sandarannya rakyat. Mudah-mudahan rakyat masih membela KPK. Selama ini pelemahan terhadap KPK gagal karena KPK selalu dibela rakyat. Rakyat itu terdiri atas berbagai macam komponen, ada perguruan tinggi, civil society.

Apakah pemimpin KPK wajib terdiri atas unsur polisi dan jaksa?

Sebetulnya, kalau kita bicara secara nasional, KPK itu tugas pertama dan keduanya koordinasi dan supervisi kepada penegak hukum yang menangani korupsi. Nah, untuk menjadi koordinator, Anda menjadi supervisor yang berasal dari kepolisian atau kejaksaan, semestinya orang yang disegani. Siapa? Menurut saya, mantan Kepala Polri dan Jaksa Agung yang berintegritas. Jangan bawahannya dan bukan orang yang ditugasi.

Perwakilan dari kepolisian yang tersisa hanya satu….

Terjemahkan sendiri kata-kata saya tadi.

 


 

Agus Rahardjo | Tempat dan tanggal lahir: Magetan, Jawa Timur, 28 Maret 1956 | Pendidikan: S-1 Teknik Sipil Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya (1984) S-2 di Arthur D. Little Management Education Institute, Cambridge, Amerika Serikat (1991) | Karier: Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (Desember 2015-sekarang) Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang atau Jasa Pemerintah (2010-2015) Kepala Pusat Pengembangan Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Publik (2006-2008) Direktur Sistem dan Prosedur Pendanaan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (2003-2006) Direktur Pendidikan dan Agama Bappenas (2000-2003)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus