Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
GUNDALA bukanlah sebuah film superhero.
Sejak awal kalimat itu ditekankan sutradara Joko Anwar ataupun para penggagas di belakangnya yang tentu saja telah menggenggam catatan tangan Harya Suraminata alias Hasmi, sang pencipta “putra petir”, yang sudah almarhum tiga tahun lalu.
Karena Indonesia belum mencapai kedahsyatan finansial Hollywood—bahkan seujung kukunya pun--dana yang kabarnya sebesar Rp 30 miliar untuk sebuah film superhero sangatlah mustahil dibanding, katakanlah, film Man of Steel atau Iron Man yang anggarannya puluhan kali lipat.
Dengan “disclaimer” seperti ini, yang perlu saya ingat sejak awal: saya tak boleh (meski sering tergoda) membandingkannya dengan serangkaian film superhero yang tak pernah datang bertubi-tubi di layar bioskop sepanjang tahun, sepanjang masa.
Ternyata, begitu gambar-gambar pertama muncul, kita segera sadar, Joko Anwar berkisah tentang Indonesia. Tentang seorang anak bernama Sancaka (Muzakki Ramdhan) yang tumbuh di kawasan pa-brik yang kelabu, penuh polusi, keringat buruh, dan perlawanan kelas. Pada menit-menit pertama, unjuk rasa bapak Sancaka (Rio Dewanto) dengan segera menyebabkan Sancaka kecil menjadi anak yatim yang terlalu cepat mengenal persoalan dewasa.
Pada 20 menit pertama, Joko Anwar menafsir masa kecil Sancaka yang tak pernah tampil di komik tapi dicatat oleh komikus Hasmi. Adapun catatan Hasmi yang berserakan di sana-sini dikumpulkan dengan takzim oleh kolektor komik yang kini menjadi General Manager Bumilangit Studios, Andy Wijaya. Buku inilah yang kemudian menjadi semacam “buku primbon” selain puluhan komik Gundala yang terbit sejak 1969 itu.
Adapun Sancaka kecil yang diberi porsi cukup panjang di paruh awal dan sesekali sebagai kilas balik agaknya menjadi sebuah titik penting bagi Joko, yang sering sekali mengaduk-aduk tema keluarga sebagai bagian dari pembentukan karakterisasi tokoh-tokohnya.
Sancaka kecil mengalami trauma besar. Hingga dewasa, dia selalu membawa foto sang ibu di sakunya. Ada sesuatu yang di-cari, ada sesuatu yang hilang dalam dirinya. Juga nasihat sang ayah agar dia peduli terhadap keadaan sosial di sekitarnya, termasuk kepada mereka yang susah telah membangun dirinya. Berbagai tokoh berkelebatan pada masa pertumbuhannya. Misalnya Awang, yang mendidik Sancaka bertahan menghadapi sesama anak jalanan dengan silat. Bagi para penggemar komik, munculnya Awang (Faris Fadjar) bukan sekadar sebuah fan-service. Dia memang menjadi mentor penting dalam hidup Sancaka di masa dini. Adalah Faris Fadjar yang mencuri perhatian penonton meski penampilannya hanya sekejap.
Ketika Sancaka menjadi dewasa (Abimana Aryasatya), kita makin masuk ke dunia “Jokoisme” yang sangat kental: politik dan persoalan keluarga berbaur menjadi satu. Seorang Pengkor (Bront Palarae) yang mengalami masa kecil yang sangat keji dan kelam menjadi seorang bos mafia yang berhubungan mesra dengan anggota parlemen; seorang sosok yang berbicara dengan suara mengelus dan gaya licin serta mani-pulatif, Pengkor mewakili segala yang menjijikkan sekaligus menggiurkan bagi kaum korup. Tapi Joko tentu saja menyediakan penjahat yang jauh lebih gigantik berbulu kelinci, ganteng, dan mampu berbahasa Jawa kuna hingga dia “bisa berkomunikasi” dengan “zat” masa lalu yang kemudian berubah wujud.
Film Gundala, meski sepanjang film masih tentang Sancaka yang baru berkenalan dengan wujudnya yang baru, menurut saya, menjadi film hiburan yang melampaui harapan. Pertama, karena duit kita memang belum--atau bakal masih sangat lama--mendekati anggaran Hollywood untuk bisa menggunakan computer-genera-ted imagery (CGI), sehingga Joko Anwar dan para produser serta pemain paham mereka harus menekankan unsur cerita, adegan laga silat, dan bahkan sesekali daya kejut jump-scare gaya film horor. Itulah sebabnya film ini saya anggap bukan film superhero. Ini menjadi sebuah pendekatan baru yang segar dan realistis. Bahkan ide gila bernama “serum amoral” , semua itu adalah bagian dari “komik” gaya Joko untuk menertawakan bagaimana masyarakat kita yang kian konservatif ini gemar menggunakan demarkasi antara tindak “moral” dan “amoral”. Kedua, ada beberapa “keindahan” di antara kekelaman. Salah satu tangan kanan Bapak, Swara Batin (Cecep Arif Rahman), tampil dahsyat di tengah gelap. Tangan, kaki, dan tubuhnya seolah-olah melayang dalam tari sebelum dia siap membunuh.
Ketiga, mereka yang mengikuti film-film Joko Anwar sejak pertama tentu saja mengenal jejak “Jokoisme” dalam film terbarunya ini: hubungan “ribet” antara tokoh utama, Sancaka, dan ibunya serta persoalan para ibu hamil. Apa pun genre yang dipilih Joko, komedi seperti Janji Joni, thriller seperti Pintu Terlarang dan Modus Anomali, horor seperti Pengabdi Setan, atau film berlatar belakang sosial-politik seperti A Copy of My Mind, maka kedua unsur itu akan selalu ada. Itulah sidik jari Joko yang selalu akan membawa kita pada “Jagat Joko Anwar”, bukan “Jagat Sinema Bumilangit”.
Ketika Joko Anwar tetap ingin memberikan penghormatan besar kepada pencipta komik ini, Hasmi, dalam satu adegan, secara tiba-tiba Sancaka kecil yang dikejar-kejar sekumpulan anak jalanan diselamatkan sepasang lelaki dan perempuan (yang tampak makmur kaya raya) yang begitu saja ingin mengangkat dia sebagai anak. Kok? Si perempuan (diperankan Djenar Maesa Ayu) menyampaikan dia akan disekolahkan dan suatu hari bisa menjadi ilmuwan. Sancaka tergoda. Tapi dia menjenguk ke luar jendela, melihat bagaimana kawan-kawannya yang bertubuh kurus diinjak oleh para preman anak-anak. Sancaka menentukan nasibnya: memasuki jagat Joko Anwar. Seandainya ikut ibu itu, dia akan memulai halaman hidupnya seperti yang ditorehkan Hasmi: Sancaka yang suatu malam lupa ulang tahun Narti dan diputuskan hubungannya… dan seterusnya.
Sebuah penghormatan yang cerdas.
Tentu, tentu saja, saya mempunyai beberapa catatan/pertanyaan kecil. Misalnya, apakah kata “patriot” dan “saya rakyat” harus bertaburan sebegitu kerap? Lalu apakah wajib membebani skenario dengan kawan-kawan sejagat sedini ini--di luar Awang, tentu saja. Meski saya penggemar berat Sri Asih karya R.A. Kosasih, saya yakin siapa pun yang menyutradarai film ini (mudah-mudahan) mampu menampilkan dia tanpa karpet merah dari Gundala. Pertanyaan terakhir: bagaimanakah para sineas akan menggarap film-film yang tampaknya membutuhkan CGI yang kuat semacam Sri Asih, Aquanus, dan Dewi Api? Ini pertanyaan seorang penggemar yang tumbuh dengan tokoh-tokoh itu dan merasa ikut memiliki cerita tentang mereka.
Sementara Gundala sudah dimulai dengan karpet merah yang panjang dan bersinar untuk mereka, tentu kita tidak hanya menanti sekuel Gundala dan Merpati, tapi juga para jagoan lain.
LEILA S. CHUDORI
GUNDALA
Sutradara: Joko Anwar
Skenario: Joko Anwar. Berdasarkan komik karya Hasmi
Pemain: Abimana Aryasatya, Muzakki Ramdhan, Tara Basro, Bront Palarae, Ario Bayu, Rio Dewanto, Marissa Anita, Lukman Sardi, Cecep Arif Rahman, Faris Fadjar
Produksi: Screenplay Films, Bumilangit Studios Media, Legacy Pictures, dan Ideosource Entertainment
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo