Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teroka

Putra Petir Rasa Marvel

Gundala, superhero ciptaan Hasmi, difilmkan oleh rumah produksi Screenplay Bumilangit. Resep baru racikan sutradara Joko Anwar berbeda dengan kisah komik Gundala Putra Petir (1969) yang berlatar di Yogyakarta.

14 September 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PETIR Gundala menyambar-nyambar. Di layar perak, superhero lokal itu tetap tangguh. Namun ia sehari-hari bukan wong Yogyakarta sebagaimana di komiknya. Ia tinggal sebagai buruh di Ibu Kota. Ia tak memiliki kekasih di Kota Gudeg bernama Minarti, yang minta putus hubungan karena merasa Sancaka (alias Gundala) kurang perhatian. Tak ada pula Kaisar Kronz, penguasa Kerajaan Petir sekaligus ayah angkat Gundala. Dan, perhatikan, tokoh kita di film itu tak mengenakan cawat merah sebagai pelengkap kostumnya yang legam mengkilat sebagaimana di komik.

Ya, Gundala (diperankan Abimana Arya-satya) garapan Joko Anwar dalam film memang sedikit beda asal-usulnya dengan Gundala asli versi komikus Yogya, Harya Suraminata alias Hasmi. Gundala lahir pada 1969 lewat komik berjudul Gundala Putra Petir. Namanya berasal dari kata gundolo, yang dalam bahasa Jawa berarti petir. Ini karena dia punya kesaktian berupa geledek maut yang bisa menyambar dari tangannya. Dalam mengarang sosok Gundala, Hasmi terilhami legenda Jawa, Ki Ageng Selo, yang konon sanggup meringkus petir. Sedangkan kostumnya terinspirasi dari tokoh komik The Flash.

Gundala versi film terasa lebih “urban”, lebih Marvel. Gundala versi film dirilis Screenplay Bumilangit Produksi. Rumah produksi gabungan antara Screenplay Films dan Bumilangit Studios Media ini juga mengajak kerja sama Legacy Pictures dan Ideosource Entertainment. “Screenplay dan Bumilangit akan bekerja sama hingga 2025,” kata produser Screenplay, Wicky V. Olindo, saat ditemui di Jakarta.

Ini bukan pertama kalinya Gundala no-ngol di jagat sinema. Pada 1981, pahlawan yang khas dengan ornamen mirip sayap putih di kuping itu difilmkan oleh Perusahaan Film Negara (PFN) bersama AGI Studio, yang bermarkas di Tokyo, Jepang, dengan judul Gundala Putra Petir. Adaptasi perdana dari komik Hasmi ini digarap sutradara Lilik Sudijo dengan Teddy Purba sebagai pemeran Gundala dan W.D. Mochtar sebagai pemeran Ghazul, bos sindikat narkotik internasional yang menjadi seteru alot Gundala.

Proses syuting film Gundala , Negara ini Butuh Patriot. Dok. Film Gundala Official

Di tangan Lilik, film Gundala teramat setia pada komiknya. Sancoko, alter ego Gundala, digambarkan sebagai ilmuwan yang meramu serum antipetir. Serum yang membikin tubuhnya tahan terhadap arus listrik itu menopang kekuatan dari Dewa Petir, yang menahbiskan Sancoko sebagai anaknya. Ia tak hanya bisa merobohkan musuh dengan petir di tangannya, tapi juga mampu melesat secepat kilat.

Namun jangan berharap alur epik itu bakal kita temui pada Gundala versi Joko Anwar. Dalam film Gundala anyar, Sancaka adalah petugas keamanan di sebuah kantor percetakan. Ia tinggal di kamar kos yang kucel dengan warna tembok yang tak kalah muram dari garis hidup sang pahlawan. Sancaka versi Joko merana nasibnya. Bapaknya (diperankan Rio Dewanto) adalah buruh aktivis yang hari-harinya bergesekan dengan perkara hidup-mati. Sedangkan sang ibu (Marissa Anita) pada satu waktu pergi begitu saja ditelan malam. Walhasil, Sancaka sejak bocah (diperankan Muzakki Ramdhan) mesti tertatih menghidupi diri. Takdirnya meloncat dari permukiman kumuh dekat pabrik ke gerbong-gerbong kereta bersama Awang (anak jalanan yang melatihnya bela diri) sampai menjadi buruh Ibu Kota.

Pertemuan magis Sancaka dengan petir pun tidak sedramatis dalam komik. Di film, petir “mengincar” dan menginginkan tubuh Sancaka sejak kecil. Saban petir menyambar dan menggenangi tubuhnya, ketika itu pula Sancaka bisa menyalurkan tuah guntur dari kedua tangannya. Ia kemudian menjadi pahlawan setelah pikirannya berulang kali dihantam dilema: mengamankan dirinya sendiri atau membela yang tertindas.

Sancaka yang “lebih membumi” sekaligus lebih kekinian versi Joko Anwar tak membuat Manajer Komersial Bumilangit Entertainment Corpora Andy Wijaya keberatan. Andy adalah kolektor ribuan komik Indonesia lawas, dari era komik pe-rempuan superhero Sri Asih, yang dikarang R.A. Kosasih pada 1954; Godam (1969), karakter ciptaan Widodo Noor Slamet atau Wid N.S.; sampai Gundala, yang sejak 1969 hingga 1982 dikisahkan Hasmi ke 23 judul komik.

Menurut Andy, plot bikinan Joko sangat menarik dan membuatnya yakin film Gundala bakal merenggut perhatian pasar, termasuk generasi milenial yang belum mengakrabi sosok superhero tersebut. Namun tentu ini mesti disokong promosi gila-gilaan. “Film ini enggak bisa kita samakan dengan isi komiknya karena namanya saja ‘jagat sinema’. Jadi penggemar komik dan penonton mesti paham kalau feel-nya akan beda,” ujar Andy saat ditemui pada akhir bulan lalu.

Namun, sebagai penggemar Gundala, ia memastikan film Gundala Joko Anwar tak kehilangan jiwa dan “daging” komik. “Pakem dalam komik tetap dipakai, seperti petir sebagai senjata dan detail sayap di kos-tumnya,” katanya. Bila pun ada sedikit perubahan, pihak ahli waris Hasmi dipastikan sudah merestuinya. “Film ini sudah direncanakan sangat matang dan menjadi gebrakan dari jalan panjang kami di Jagat Sinema Bumilangit.”

 

PROSES pengambilan gambar Gundala berlangsung sembilan bulan, sejak Januari tahun lalu. Joko Anwar menyebutkan tantangan paling besar adalah mencari lokasi pengambilan gambar. Total ada 70 area yang mereka manfaatkan untuk syu-ting, dengan jumlah total peme-ran mencapai 1.800 orang. Karena tidak memakai teknologi layar hijau (green screen), Joko harus mencari lokasi yang cocok dengan cerita, baik rumah susun, stasiun dan perlintasan kereta, percetakan, maupun pasar tradisional. “Pakai green screen sebenarnya enak, full AC, tapi kami syuting di lokasi asli walau ekstra-energi,” ujar Joko.

Adegan di pasar tradisional, misalnya, mengambil tempat di Bogor, Jawa Barat; Tangerang, Banten; dan Jakarta sekaligus. Tim produksi berpindah-pindah tempat demi menghasilkan adegan sesuai dengan harapan. Adapun area rumah susun yang ditempati Sancaka dan Wulan pernah ditinggali Joko.

Ongkos produksi yang ngepas juga “memaksa” Joko dan tim produksi lebih kreatif. Kecanggihan efek computer-generated imagery (CGI) dimanfaatkan untuk sekitar 680 shot dan hampir semuanya digarap di Indonesia. Joko memadukannya dengan gelut fisik yang mengingatkan kita pada trilogi Batman, The Dark Knight. Namun street fight dalam Gundala tak bakal sesadis ataupun berdarah-darah seperti karya Christopher Nolan tersebut.

Film ini dikondisikan aman untuk penonton usia 13 tahun ke atas. Jadi, kalaupun sepanjang film banyak gedebak-gedebuk antara Gundala dan “pasukan pengabdi” Bapak alias Pengkor (Bront Palarae), Joko mengklaim adegannya tak brutal. “Kami enggak ingin membatasi penonton, jadi memang tidak menunjukkan kekerasan. Pertarungan di film ini masih aman untuk remaja,” ucapnya.

Lain lagi urusan naskah. Sebagai pembuka Jagat Sinema Bumilangit, film Gundala memikul tanggung jawab mengenalkan banyak karakter sekaligus. Bukan hanya tokoh dari komik Gundala, tapi karakter lain yang bakal difilmkan juga oleh Screenplay Bumilangit. Soal ini, Joko mengupa-yakan jalan cerita tetap asyik walau penonton dijejali banyak karakter. “Ini seperti meng-ajak hewan peliharaan pakai tali. Kubiarkan ia jalan ke mana aja. Tapi, kalau mau masuk rumah orang, akan aku tarik,” katanya.

Di skenario, Joko tak meninggalkan ciri khasnya. Seperti film-film Joko sebelumnya, kali ini unsur hubungan antaranggota keluarga juga kuat. “Aku pernah mempertanyakan apakah seorang anak harus ada di sebuah keluarga. Bila orang tua tidak bisa menjamin anaknya bahagia, lalu kenapa harus punya anak? Kan, anak tidak minta dilahirkan. Jadi ini tema yang konsisten saya pegang sejak film pertama,” ujarnya. Begitu pula muatan kritik sosial dan politik, yang kadang gamblang, kadang implisit, dalam film ini. Joko mengaku ingin Gundala dekat dengan kondisi masyarakat Indonesia saat ini berikut problematika-nya. Itulah sebabnya, kita akan bersinggungan dengan kesenjangan sosial, anggota Dewan yang busuk, juga moralitas yang berkelindan di sekitar Gundala.

Kendati pesan ceritanya lumayan berat untuk remaja, guyonan kocak tapi kadang satire tetap berseliweran. Namun jangan bayangkan humor yang muncul adalah banyolan khas Yogyakarta yang sableng seperti dalam komik Hasmi. Candaan dalam film Gundala baru ini, seperti sering dibilang oleh generasi milenial, “receh” tapi mampu memancing tawa. Misalnya saat Kelam Malam (dinyanyikan The Spouse), lagu pengiring film Joko, Pengabdi Setan, terdengar selintas dalam film ini. Atau saat Gundala menjajal kostum yang ia bikin dari antena televisi.

Joko mengakui dia tidak terpancang penuh pada komik. Ia juga memilih tak “patuh” soal identitas Sancaka yang di dalam komik adalah seorang insinyur. Soal ini disinggung sedikit oleh dia dalam adegan Sancaka dikejar geng anak jalanan dan masuk ke mobil sepasang suami-istri. Dalam film, Joko memunculkan teori what if yang menjadikan Sancaka memilih kembali ke dunianya yang keras alih-alih menjadi insinyur ataupun ilmuwan. “Itu adegan yang membuat cerita di komik dan film Gundala bercabang,” kata Joko.

Pakar komik dan budaya pop Hikmat Darmawan menganggap tak jadi masalah bila ada perubahan identitas Sancaka versi film dengan buku, mengingat kisah yang tersaji dalam film lebih relevan dengan kondisi Indonesia saat ini. Selain itu, film Gundala akan punya sekuel yang memungkinkan karakter penting di komik, misalnya Kaisar Kronz, tetap mengambil peran di jalan cerita seperti halnya film-film superhero Hollywood, yang tak mene-lan mentah materi komik.

Yang menjadi catatan Hikmat, film Gundala seperti memikul beban untuk membentuk jagat superhero lokal yang mahaluas. Ia menyimpulkannya dari kemunculan banyak tokoh dalam film sehingga membuat karakter menarik seperti Pengkor justru kurang dieksplorasi. Alih-alih memberi ruang gerak lebih luas untuk tokoh antagonis, film Gundala malah sibuk mengenalkan karakter seperti Sri Asih, Ghazul, dan Ki Wilawuk. Menurut Hikmat, itu membuat banyak hal di film Gundala menjadi tidak tuntas dan kurang tergarap. “Kemunculan Sri Asih pun jadi semacam deus ex machina,” ujarnya.

Ia membandingkan dengan film-film superhero Marvel Cinematic Universe (MCU), yang berfokus pada satu tokoh dan musuhnya. Bila pun ada Easter egg alias pesan tersembunyi dalam film, hal itu tak menyi-ta banyak adegan. Misalnya kemuncul-an Nick Fury yang misterius mulai di film Iron Man, tapi menjadi benang merah bersatu-nya pahlawan-pahlawan super di Avengers. “Saya menyandingkannya dengan MCU justru karena menganggap film Gundala ini setara dengan Marvel,” tutur Hikmat.

Berbeda dengan Joko Anwar yang menanggalkan sebutan superhero dan memilih kata “jagoan”, Hikmat punya pandangan lain. Ia menilai diksi jagoan terlalu seksis karena maskulin. Di sisi lain, pakem seorang superhero ada pada Gundala: mempunyai dua identitas, memiliki kostum untuk menyembunyikan identitas asli, dan mempunyai kemampuan yang mele-bihi orang kebanyakan, baik dalam hal tekno-logi, fisik, maupun otak.

Kemampuan adidaya itu menguat karena dilawankan dengan sosok musuh yang tangguh. Sementara Superman berhadapan dengan Lex Luthor, Batman melawan Joker, Gundala punya lawan berbahaya seperti Pengkor. Sayangnya, kata Hikmat, Pengkor tak diberi porsi banyak dalam film ini. “Gundala ini ‘Joko banget’ karena signature-nya kuat di situ, yakni film yang gelap dan horor. Namun banyak yang perlu dievaluasi untuk film Bumilangit selanjutnya,” ujarnya.

 

JAGAT Sinema Bumilangit (JSB) adalah proyek besar Screenplay dan Bumilangit untuk waralaba superhero lokal Indonesia. Amunisi mereka terbilang mumpuni karena para pendiri Bumilangit adalah kolektor dan pengamat komik Indonesia. Bumilangit, yang berdiri pada 2003, kini mengelola lebih dari 500 karakter superhero dan pendekar yang lahir dari komik-komik kita sejak 60-an tahun lalu.

Andy Wijaya menjelaskan, -Bumilangit berancang-ancang mengorbitkan kembali Gundala dan kawan-kawan ke ranah sinema sejak 2004. Namun harapan baru terwujud belasan tahun kemudian, saat Joko Anwar menyodorkan naskah Gundala pada 2017. “Skenarionya asyik banget. Kami merasa cocok dan mulai mewujudkannya pelan-pelan,” ucapnya.

Sebelum naskah Gundala resmi dipegang Joko, pada 2014 sutradara Hanung Bramantyo (Bumi Manusia, Kartini) dikabarkan tertarik memfilmkan sang pahlawan. Hanung bahkan sempat meriset kostum dan sudah menyelami kebutuhan mengusung Gundala ke layar lebar. Namun iktikad itu akhirnya ambyar, tergilas kesulitan Hanung mendapatkan hak cipta komik tersebut. Bahkan Hasmi, yang disambangi Hanung ketika itu, mengaku tak tahu siapa pemegang hak cipta komik Gundala.

Menurut Andy, sejak awal pihaknya sengaja tak hanya memoles Gundala sebagai “wajah” JSB, tapi juga pahlawan super lain yang tergabung dalam satu paket “JSB Jilid I”. Artinya, hingga enam tahun ke depan, Screenplay Bumilangit sudah memastikan delapan film, termasuk Gundala, akan singgah di layar lebar. Film-film itu adalah Sri Asih, Godam & Tira, Si Buta dari Gua Hantu, Patriot Taruna, Gundala Putra Petir, Mandala Golok Setan, dan Patriot. Namun, hingga kini, Screenplay Bumilangit belum melansir tahun rilis film-film itu. “Kami yakin genre film superhero dan silat akan diterima penonton Indonesia, apalagi ini karya bagus dan sudah punya banyak penggemar,” ucapnya.

Strategi pun sudah disiapkan tim Screenplay Bumilangit untuk menggaet hati penggemar. Salah satunya menunjuk aktor dan aktris tenar untuk “berlaga” dalam jagat sinema mereka. Di media sosial pun nama-nama pemeran JSB sudah ramai dibicarakan, bahkan sebelum film Gundala tayang pada 29 Agustus lalu. Bukan hanya karakter protagonis yang diperan-kan nama besar, tapi juga geng penjahat. Sebut saja Hannah Al Rashid, Asmara Abigail, dan Kelly Tandiono.

Adapun buat urusan fulus, Screenplay Bumilangit, yang ditopang investor seperti Erick Thohir dan Anindya Bakrie, belum bisa jorjoran untuk Gundala. Kabarnya sutradara Joko Anwar menyebutkan biayanya tak sampai separuh dari Rp 70 miliar. Namun, menurut Andy Wijaya, mereka menyiasatinya dengan membangun fondasi cerita yang kuat sebagai “kompensasi” tak menonjolnya kecanggihan efek visual. “Strategi kami di jalan cerita yang kuat, menggalinya dari kearifan lokal, seperti mistis dan budaya kita. Hal-hal yang tak ada di Hollywood,” ujarnya.

Taktik lain adalah dengan menciptakan hype superhero lokal. Sejak dini, JSB sudah woro-woro soal “tim Avengers” mereka yang berjulukan Patriot. Seperti halnya Avengers dan Justice League, geng pah-lawan super lokal ini akan dibikinkan film khusus. Film itu akan menjadi puncak dan judul terakhir JSB Jilid I. “Dengan alur cerita yang berkesinambungan sejak Gundala, karena ini adalah jagat sinema,” kata Andy. “Yang pasti kami ingin mencipta jagat seperti Marvel.”

Joko Anwar saat syuting Gundala, Negara ini Butuh Patriot. Dok Film Gundala Official.

Tak mengherankan bila di layar perdana JSB ini kita dipertemukan sekejap dengan Sri Asih dan Awang alias Godam. Selain untuk memunculkan benang merah, siasat ini bisa membikin penonton penasaran terhadap kiprah si superhero anyar. Ihwal dipilihnya Sri Asih sebagai karakter berikutnya yang bakal difilmkan, produ-ser Screenplay, Wicky V. Olindo, menyebutkan penyegaran sebagai alasannya. “Kalau setelah Gundala kami langsung memunculkan Godam, praktis tidak banyak hal baru yang disajikan. Beda dengan Sri Asih, yang seorang tokoh sentral di Bumilangit dan menyimbolkan kekuatan perempuan,” ujarnya.

Karakter Sri Asih, yang merupakan reinkarnasi Dewi Sri, juga menarik. Dia bisa menduplikasi tubuhnya, dapat memperbesar diri dan terbang, serta memiliki kekuatan setara dengan tenaga 250 lelaki dewasa. Sosok Pevita Pearce dianggap Wicky sangat pas memerankan Sri Asih karena punya aura sebagai perempuan superhero dan wajahnya “bunglon”. Untuk penda-laman akting di film yang rencananya ta-yang pada 2020 itu, Pevita berlatih bela diri kepada aktor sekaligus pesilat Iko Uwais -sejak Desember tahun lalu.

Wicky optimistis strategi yang diusung Screenplay Bumilangit bakal menembus jagat sinema superhero dan membuat penggemar genre film ini kepincut. “Kalau enggak siap mengambil risiko, kami enggak akan belajar. Gundala sukses atau tidak, kami akan lanjut berfokus ke Sri Asih,” katanya.

Namun, pada kesempatan berbeda, Joko Anwar menyebutkan seri kedua dari JSB -belum dipastikan. Bahkan ada kemungkinan Patriot Taruna akan tayang mendahului Sri Asih. Sebab, awal bulan ini Screenplay Bumilangit menyatakan, pada 2020, mereka akan merilis Patriot Taruna. Menjadi menarik karena lakon film itu adalah Virgo and The Sparklings, seri komik digital di Webtoon yang dirilis pada 2017. Ihwal perbedaan “jagat komik” Gundala dan Virgo and The Sparklings, Joko menyebutkan hal itu masih dalam cakupan Jagat Sinema Bumilangit. 

ISMA SAVITRI

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Isma Savitri

Isma Savitri

Setelah bergabung di Tempo pada 2010, lulusan Ilmu Komunikasi Universitas Diponegoro ini meliput isu hukum selama empat tahun. Berikutnya, ia banyak menulis isu pemberdayaan sosial dan gender di majalah Tempo English, dan kini sebagai Redaktur Seni di majalah Tempo, yang banyak mengulas film dan kesenian. Pemenang Lomba Kritik Film Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan 2019 dan Lomba Penulisan BPJS Kesehatan 2013.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus