Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

Saya Tidak Akan Melarikan Diri

Pegiat Hak Asasi Manusia, Veronica Koman:

16 November 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Veronica Koman. Dok. Pribadi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

STATUS buron di negeri orang tak membelenggu ruang gerak Veronica Koman. Pengacara dan aktivis hak asasi manusia yang lantang menyuarakan isu Papua itu masih leluasa beraktivitas di “pengasingan”-nya di Sydney, Australia. Ia bahkan sempat mengikuti unjuk rasa warga Australia yang mengecam tewasnya Kumanjayi Walker, pemuda Aborigin yang ditembak polisi. “Ini kematian ketiga orang Aborigin di tangan polisi dalam dua bulan terakhir,” kata Veronica kepada Tempo, Rabu, 13 November lalu.

Veronica, yang merampungkan studi magister hukum di Australian National University pada Juli lalu, masih berada di Negeri Kanguru ketika, pada 4 September lalu, Kepolisian Daerah Jawa Timur menetapkannya sebagai tersangka kasus dugaan penyebaran hoaks dan ujaran kebencian terkait dengan kerusuhan di Asrama Mahasiswa Papua di Surabaya. Ia dituding telah memprovokasi dan menyebarkan kabar bohong lewat akun media sosialnya.

Ia tak merasa terganggu namanya masuk daftar pencarian orang dan daftar merah Interpol sejak pertengahan September lalu. Bekas pengacara publik di Lembaga Bantuan Hukum Jakarta ini justru merasa beruntung ketimbang rekannya, Paulus Surya Anta Ginting, yang ditahan polisi. Surya Anta dan lima aktivis Papua lain dijadikan tersangka kasus makar karena diduga mengibarkan bendera Bintang Kejora saat berdemonstrasi menuntut referendum di depan Istana Negara, Jakarta, 28 Agustus lalu.

Veronica, 31 tahun, merasa tidak enak lantaran teman-temannya tertangkap sementara ia masih bisa lolos dari kejaran aparat. Apalagi perempuan berdarah Tionghoa ini baru saja menerima Sir Ronald Wilson Human Rights Award dari Australian Council for International Development. “Sepanjang Agustus-September lalu banyak yang ditangkap dan sampai mati (di Papua). Saya di sini menerima penghargaan. Sebetulnya saya malu dan merasa bersalah,” ujarnya.

Kepada wartawan Tempo, Mahardika Satria Hadi dan Aisha Shaidra, Veronica menceritakan motivasinya menyuarakan isu Papua, sikapnya tentang referendum, dan keinginannya kembali ke Tanah Air. Wawancara berlangsung dalam dua kali kesempatan melalui sambungan video konferensi dan telepon pada Senin dan Rabu, 11 dan 13 November lalu.

Apakah status buron mengganggu kegiatan Anda?

Sejak di Jakarta, saya memonitor Papua dari jarak jauh. Tidak jauh berbeda dengan sekarang, saat berada di Australia, monitoring dan bikin laporan. Bedanya, karena berada di luar negeri, saya tidak bisa melakukan pendampingan dan beracara di pengadilan.

Bagaimana Anda mengadvokasi isu Papua sementara posisi Anda terpaut ribuan kilometer?

Sepanjang kuliah S-2 di Australia, saya juga tetap melakukan advokasi. Kadang, ketika ada kasus, ada yang mengontak saya. Jadi ibaratnya seperti memberi pertolongan pertama versi hukum. Orang Papua menghubungi saya karena pembela HAM di Papua yang mengadvokasi sangat sedikit. Orang Papua sering mengontak saya karena mungkin saya sering online.

Siapa yang membantu Anda di lapangan?

Di Papua, pembela HAM baru ada di kota. Kami sama-sama mengadvokasi.

Contohnya?

Sebagian besar memverifikasi masalah versi orang Papua, kemudian menampilkan versi alternatif ini. Kadang saya membantu jurnalis dan menyambungkannya dengan pihak-pihak di lapangan.

Seberapa sering Anda terjun ke Papua?

Sejak 2015, dalam setahun bisa dua-tiga kali dengan durasi beberapa pekan tiap kunjungan. April-Mei lalu saya baru dari Timika, menangani tiga kasus dalam persidangan di pengadilan.

Itu sebelum Anda ke Sydney?

Iya.

Di mana Anda tinggal selama di Sydney?

Tidak bisa saya jelaskan karena menyangkut keamanan. Tapi saya bersama suami saya, seorang warga negara asing.

Polisi menuduh Anda menyebarkan hoaks lewat media sosial. Apa yang terjadi sebenarnya?

Untuk kasus yang di Surabaya, mahasiswa Papua di Surabaya sudah ke Komisi Nasional HAM di Jakarta. Mereka bikin laporan dan konferensi pers, menjelaskan apa yang saya ekspos itu adalah kebenaran yang mereka alami.

Anda sering mendapat informasi dari lapangan dan membaginya di media sosial. Bagaimana Anda memverifikasinya?

Saya kontak orang yang ada di lokasi untuk menyambungkan saya dengan korban, saksi, atau keluarga korban. Jadi saya berbicara langsung dengan yang mengalami. Minimal yang saya hubungi dua orang. Kami menjalankan kerja jurnalistik. Impunitas dan pelanggaran HAM banyak terjadi di Papua karena banyak orang tidak tahu atau fakta kebenaran dibengkokkan oleh penguasa.

Anda dianggap menyebarkan disinformasi dan hasutan agar massa di Papua turun ke jalan.

Soal hoaks, orang Papua justru bilang saya ini penyambung lidah mereka. Soal cuitan saya, yang dimaksud menghasut itu sebenarnya pemberitahuan besok akan ada aksi. Pihak yang paham betul soal Papua tahu orang Papua yang main Twitter sangat sedikit. Lalu siapa yang saya hasut di Twitter? Tujuan saya itu ancang-ancang untuk jurnalis karena saya tahu banyak jurnalis internasional mengikuti akun Twitter saya. Lalu supaya kita semua pasang mata kalau di Papua akan muncul sesuatu.

Apa yang diperjuangkan masyarakat Papua dalam gelombang demonstrasi berujung kerusuhan di beberapa kota di Papua pada Agustus-September lalu?

Awalnya demonstrasi soal antirasisme, tapi kemudian masuk minggu kedua sudah jadi minta referendum penentuan nasib sendiri. Tagline orang Papua waktu itu referendum penentuan nasib sendiri sebagai solusi untuk mengakhiri rasisme. Ini tidak bisa lepas dari akar konflik Papua yang ada sejak 1960-an dan sudah diidentifikasi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia juga. Jadi bukan hanya saya. Sejarah integrasi adalah akar konflik di Papua. Saya pikir harus ada kemauan politik dari Jakarta untuk berbicara soal itu.

Presiden Joko Widodo sudah mengundang 61 tokoh Papua ke Istana Negara.

Katanya itu perwakilan, padahal orang Papua semua bertanya, itu siapa, tidak ada yang dikenal.

Jadi siapa yang tepat untuk mewakili masyarakat Papua?

Sebenarnya Pak Moeldoko (Kepala Staf Kepresidenan) juga sempat menyinggung soal United Liberation Movement for West Papua (ULMWP). Di Papua banyak organ yang menyuarakan pembebasan mereka. Mereka sudah bersatu di bawah payung ULMWP. Jadi bicaralah dengan ULMWP. Mereka ini sudah ada mandat kultural dan historis dari rakyat Papua untuk berbicara dengan Jakarta.

Anda pernah berkomunikasi dengan Benny Wenda?

Pernah beberapa kali. ULMWP itu bukan bentukan Benny Wenda. Dia hanya salah satu orang yang hadir ketika itu. ULMWP murni perwakilan rakyat Papua Barat.

Anda setuju terhadap tuntutan referendum?

Saya pro-penentuan nasib sendiri. Referendum adalah alat berdemokrasi. Di negara demokrasi ketiga terbesar di dunia ini, seharusnya referendum bukan alat yang tabu. Hak atas penentuan nasib sendiri adalah hak asasi manusia fundamental yang tidak bisa ditawar dan itu juga diakui dalam konstitusi kita. Sebagai pengacara HAM, saya tidak bisa menyebut satu saja jenis HAM yang tidak dilanggar di Papua. Hak atas pendidikan, kesehatan, air bersih, dan hak lain. Pelanggaran hak-hak tersebut terjadi karena hak dasarnya, yaitu hak atas penentuan nasib sendiri, dilanggar.

Apa yang dipersoalkan dari pendekatan ekonomi dan pembangunan infrastruktur yang gencar dalam lima tahun terakhir?

Hak atas pembangunan orang Papua itu perlu dan sangat penting. Tapi, masalahnya, pembangunan ala Jakarta ini tidak melalui konsultasi, tidak tanya orang Papua, “Eh, kalian mau dibangun seperti apa.”

Anda menilai komitmen Jokowi menuntaskan persoalan Papua belum menyentuh akarnya?

Saya percaya Pak Jokowi punya iktikad baik untuk Papua, tapi belum berani menyentuh akar konflik Papua. Berbeda dengan sikap Gus Dur (presiden keempat Abdurrahman Wahid), yang membekas bagi warga Papua. Dia mengakui Kongres Rakyat Papua, mengakui bendera Bintang Kejora. Saya pikir tren dua tahun terakhir di Papua justru makin represif.

Bagaimana dengan penanganan pelanggaran HAM?

Sampai sekarang belum ada pelanggaran HAM berat yang diusut tuntas. Di level lokal Papua, peradilannya tidak ada keadilan, tidak ada aparat yang diadili. Sampai level nasional kita juga mentok, tidak bisa ngapa-ngapain.

Anda menyuarakan isu Papua ke Parlemen Australia. Anda menganjurkan intervensi dari negara lain?

Saya tidak bilang itu intervensi. Bahkan Perserikatan Bangsa-Bangsa menilai itu bukan intervensi. Intervensi itu ketika, misalnya, PBB menerjunkan pasukan perdamaian ke Papua, Australia kirim tentara masuk ke Indonesia. Ini soal HAM. Itu persoalan universal di mata komunitas internasional.

Bagaimana respons Parlemen Australia?

Mereka antusias. Saya ketemu langsung dengan subkomite HAM. Ternyata mereka sudah mendengar ada kerusuhan di Papua, tapi mereka tidak tahu detailnya. Di situ saya bersama Amnesty International Australia menerangkan apa yang terjadi di Papua.

Dengan situasi sekarang, Anda akan menetap di Australia sampai kapan?

Saya belum tahu. Sebetulnya kesehatan kakek saya memburuk. Saya merasa sedih sekali karena kemungkinan besar saya tidak akan bisa ketemu dengannya. Padahal saya cucu perempuan pertamanya, saya cucu kesayangan dia.

Apakah keluarga pernah menanyakan kenapa Anda memilih membela orang Papua?

Keluarga saya Tionghoa konservatif. Tionghoa kan minim ke politik karena ada trauma politik. Saya memang anomali di keluarga besar. Ketika saya menjadi pengacara publik di LBH Jakarta pun sudah anomali.

Anda berasal dari kalangan Tionghoa, yang minoritas di Indonesia. Apakah itu yang membuat Anda memilih mengadvokasi isu Papua?

Ketika kerusuhan 1998, saya masih kelas IV sekolah dasar, sakit keras, demam tinggi. Saya tidak tahu apa-apa. Yang saya ingat, orang tua sangat stres karena tidak bisa ke dokter. Kami sekeluarga disembunyikan di rumah ketua rukun tetangga. Satu gang yang keluarga Cina diumpetin di rumah Pak RT, ramai-ramai kayak ikan teri. Kalau kerusuhan makin parah, mau diumpetin di masjid. Tapi untungnya enggak jadi.

Pengalaman itu turut membentuk sikap Anda terhadap isu Papua?

Solidaritas saya kepada Papua bukan karena sentimen minoritas. Saya tidak pernah melihat penindasan sebesar ini di Indonesia dibanding pengalaman mendampingi buruh, mahasiswa, petani, korban penggusuran, dan pengungsi.

Veronica Koman di Royal Botanic Garden, Australia, Oktober 2019. Dok. Pribadi

Sejak kapan Anda tertarik pada isu Papua?

Ketika sudah bekerja di LBH Jakarta. Pada 2014, terjadi pembunuhan di Paniai, empat anak sekolah menengah atas ditembak mati dan belasan lain terluka. Saya bingung, kenapa tidak ada yang marah, kenapa sepi-sepi aja. Di situlah saya mulai mencari tahu orang-orang Papua di Jakarta yang kemudian jadi komunitas Papua Itu Kita. Dari situlah saya masuk ke isu Papua. Saya belajar dan mendengar langsung dari orang Papua.

Sejumlah pihak mempertanyakan nasionalisme Anda karena sikap Anda yang pro-referendum. Tanggapan Anda?

Saya dulu sangat nasionalis. Tapi, setelah melihat perlakuan negara kepada orang Papua, saya malu mengakui diri saya nasionalis. Dulu, sebelum mata saya terbuka soal Papua, setiap Agustusan saya sangat antusias setiap kali mendengar lagu-lagu perjuangan. Tapi, setelah itu, saya sedih dan galau. Bisa-bisanya bangsa saya merayakan kemerdekaan sedangkan ada orang-orang di Papua menganggap Indonesia sedang menjajah mereka. Setiap 17 Agustus saya seperti perang batin.

Ada yang melabeli Anda pengkhianat bangsa.

Di pergelangan tangan kiri saya ada tato “Indonesia”. Filosofinya, Indonesia mengalir dalam darah saya. Justru karena kecintaan saya kepada bangsa dan negara, bangsa saya tak boleh melakukan pelanggaran HAM kepada Papua.

Kapan tato tersebut dibuat?

Dulu, waktu kuliah S-1.

Advokasi isu Papua tentu tidak murah. Bagaimana Anda membiayainya?

Sewaktu di LBH Jakarta, ya, dibayari lembaga. Setelah itu dari komunitas Papua Itu Kita, patunganlah. Dalam isu Papua, kultur patungan sangat kental. Justru ketika terakhir ke Timika saya pakai duit sendiri.

Berapa biaya yang dihabiskan dalam satu kali kunjungan?

Di Papua, saya numpang tinggal di rumah teman atau gereja. Jadi setidaknya enggak keluar duit untuk tempat tinggal dan makan. Sehari tiga kali makan ikan kembung bareng pastor dan suster, he-he-he…. Saya cukup beli tiket pesawat.

Anda tidak memungut bayaran saat memberikan pendampingan hukum?

Untuk advokasi itu, saya tidak ambil fee. Saya ada uang sedikit dari program-program penelitian NGO (non-governmental organization).

Sedikit itu berapa nilainya?

Ini freelance, jadi enggak tetap jumlahnya.

Jadi, selama bertahun-tahun mengadvokasi isu Papua, Anda mendapat pemasukan dari mana?

Dari riset, monitoring, evaluasi. Riset itu ibaratnya ada penelitian.

Ada lembaga yang menjadi sumber pendanaan?

Saya tidak mendapat dana dari lembaga funding, tapi saya dibayar untuk melakukan penelitian dengan sesama pembela HAM dari NGO. Tidak ada pendanaan dari pemerintah asing.

Apa yang Anda peroleh dengan membela isu Papua?

Itu pola pikir orang-orang yang tidak akan melakukan sesuatu apabila tidak dibayar. Kan, tidak semua orang hidupnya seperti itu. Saya pernah bekerja di firma hukum korporasi nomor satu di Indonesia setelah lulus kuliah. Di situ saya sudah sadar, korporasi bukan tempat saya. Ini murni karena saya tidak pernah melihat penindasan sebesar itu. Hati saya benar-benar sudah nyantol ke Papua. Orang Papua jarang bisa percaya kepada orang Jakarta, termasuk lembaga swadaya masyarakat dan Komnas HAM.

Anda mengatakan sering mendapat ancaman. Bagaimana mereka mengancam Anda?

Lewat komentar di media sosial. Yang menyerang misoginis, karena saya perempuan. Ada yang menyerang ras karena saya Tionghoa. Baru kemudian menyerang apa yang saya lakukan, ada ancaman mati, pemerkosaan, rasis, semua ada. Saya enggak blok biar orang bisa lihat juga. Yang lebih serius, banyak juga pesan masuk di pesan langsung.

Siapa yang mengancam Anda?

Tidak ada yang mengaku secara langsung. Tapi, ketika saya buka, lihat profil media sosialnya, ada yang anggota kepolisian. Tapi tidak banyak yang langsung teridentifikasi aparat.

Anda pernah merasa tertekan atas ancaman tersebut?

Dulu setiap hari bisa mencapai seratus pesan ancaman yang muncul. Sekarang sudah jauh berkurang. Kini sudah pada tahap enggak ngefek lagi.

Selama di Australia sudah ada penegak hukum yang menemui Anda?

Belum ada. Katanya sudah ada surat panggilan yang pernah dikirim ke alamat Australia, tapi belum dapat.

Anda masih beraktivitas normal?

Saya enggak ngumpet, kok. Posisi saya tidak salah. Jadi saya tidak akan melarikan diri.

Jika merasa tidak bersalah, mengapa Anda tidak kembali ke Indonesia dan menghadapi proses hukum?

Yang terjadi pada saya adalah kriminalisasi. Komnas HAM, PBB, dan teman-teman aktivis juga menganggap seperti itu. Kalau mengajukan praperadilan, berarti saya mengakui tuduhan itu. Lagi pula, saya lebih berguna bagi orang Papua apabila berada di luar penjara sehingga bisa menginformasikan apa yang terjadi di Papua dengan lebih baik.

Ada rencana mengajukan permohonan suaka ke pemerintah Australia?

Tergantung situasi mendatang. Kalau bisa, saya tidak mengajukan suaka. Saya mau pulang ke Indonesia. Papua kan di sana. Keluarga saya di Indonesia, passion saya bisa bolak-balik Papua lagi, bersidang segala macam.

 


 

Veronica Koman

Tempat dan tanggal lahir: Medan, 14 Juni 1988 | Pendidikan: Sarjana Hukum Spesialisasi Hukum Internasional di Universitas Pelita Harapan (2006-2011), Master of Laws di Australian National University (2017-2019) | Karier: Perkumpulan Pengacara HAM untuk Papua (2017-sekarang); Anggota Dewan Refugees & Asylum Seekers Information Center (2018-sekarang); Lembaga Bantuan Hukum Jakarta (2013-2016); Organisasi SUAKA (2013-2015); Anggota Staf Ahli Dewan Perwakilan Rakyat (2011); Save the Children (2011); Hadiputranto, Hadinoto & Partners (Baker McKenzie) (2010-2011) | Penghargaan: Sir Ronald Wilson Human Rights Award (2019)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus