Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

Sayap Garis Keras itu Bernama Thoifah Muqatilah

17 Oktober 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MENELUSURI jaringan teror-is-me di Indonesia bukanlah hal baru bagi Sidney Jones, Di-rektur International Crisis Group di Indonesia. Dia merilis makalah berjudul ”Al-Qaeda in Southeast Asia: the Case of the Ngruki Network in Indonesia”, Agustus 2002, dua bulan sebelum bom menghantam Legi-an, Bali. Sesudah itu, Sidney melakukan penelitian dan membuat laporan ”Ja-ringan Teroris Indonesia: Cara Kerja Jamaah Islamiyah”. Dua pekan sebelum bom Bali II meledak di kawasan Jimbaran, Sidney baru saja menyelesaikan paper-nya berjudul ”The Changing Face of Terrorism in Indonesia”. Kertas kerja enam halaman ini dibuatnya untuk Australian Strategic Policy Institute, sebuah kelompok kajian di Negeri Kanguru.

Dalam paper-nya itu, Sidney, 53 tahun, menyebut lahirnya generasi baru yang bernama Thoifah Muqatilah. Inilah generasi baru yang direkrut dan dididik oleh para pentolan Jamaah Islamiyah seperti Noordin M. Top, Azahari, dan Zulkarnaen.

Pendapat Sidney tentang Jamaah Islamiyah memang jadi kontroversi. Ba-nyak yang mempercayainya, tapi ada pu-la yang mengecam. Tahun lalu ia sempat diusir dari Indonesia karena dianggap membocorkan rahasia negara. Beberapa bulan kemudian ia sudah bisa kembali lagi ke Indonesia.

Rabu dua pekan lalu, dalam sebuah wawancara di kantor majalah Tempo, Sidney memaparkan pendapatnya tentang bom Bali II dan gerakan Jamaah Islamiyah. Berikut petikannya.

Bagaimana peta jaringan teroris di Indonesia saat ini?

Jamaah Islamiyah (JI) jauh lebih lemah dibanding tiga tahun lalu. Dulu ada empat Mantiqi. Mantiqi I di Malaysia dan Singapura sudah hancur. Kemudian Mantiqi III, yang meliputi Sulawesi, Kalimantan Timur, dan sekitarnya, juga hancur kepemimpinannya, walaupun masih ada orang-orangnya di Poso, Sulawesi Tengah, dan Mindanao, Filipina Selatan. Sedangkan Mantiqi IV di Australia kemungkinan juga sudah hancur. Sementara itu, ada perpecahan serius dalam Mantiqi II (Sumatera dan Jawa) yang merupakan bagian besar Jamaah Islamiyah.

Bagaimana bentuk perpecahan itu?

Banyak orang JI yang menolak aksi pengeboman. Mereka melihat Hambali dan pengikutnya sudah menyelewengkan tujuan JI. Mereka menilai semua pengeboman mulai dari bom Natal sampai sekarang sudah menghancurkan organisasi. Kelompok yang anti-Hambali mengkritik Abu Bakar Ba’asyir karena tidak mau tegas menindak Hambali. Tetapi di antara yang tidak setuju ini juga ada perbedaan pandangan. Satu kelompok menolak bom, tetapi keberatan menyerahkan para pelaku ke polisi. Satu kelompok lagi menganggap sudah wak-tu-nya mereka yang menghancurkan organisasi ini lalu diserahkan saja kepada polisi. (Abu Bakar Ba’asyir berkali-kali membantah perannya dalam aksi teror. ”Saya selalu dihubung-hubun-g-kan de-ngan banyak kasus, termasuk bom Bali,” katanya. Perkenalannya de-ngan Hambali, yang pernah bertetan-g-ga dengannya di Sungai Manggis Mala-y-sia, kata Ba’asyir, sebatas da-lam kegiatan dakwah—Red.)

Sejak kapan perpecahan itu?

Sejak 1999 sudah ada per--bedaan pendapat anta-ra Hambali dan orang yang lebih taat struktur. Me-reka menilai Hambali sudah bermain di luar tu-ju-an sebenarnya.

Bagaimana posisi kelompok garis keras dalam organisasi ini?

Itu yang kita tidak ta-h-u pasti, apakah me-reka sudah secara fo-rmal ber-pisah atau hanya se-ma-cam sayap yang sangat mi-litan.

Anda pernah menyebut lahirnya generasi baru. Siapa mereka?

Satu sayap garis keras lama kembali muncul tiga atau empat bulan belakang-an. Saya dengar namanya Thoifah Mu-qa-tilah. Mereka berusaha membe-ntuk kem-bali laskar khos yang sudah ha-ncur karena banyak yang ditangkap. Tuju-an mereka semacam proyek isti-mata, briga-de pengebom bunuh diri. Ada indik-a-si, sejak beberapa bulan belakangan me-re-ka sudah merencanakan oper-asi. Tapi sa--ya tidak tahu di mana dan si-ap-a saja me-reka. Menurut Nassir Abbas (Ketu-a Mantiqi III—Red), istilah Thoifah Mu-qati-lah sudah lama dipakai JI sejak bom Bali I.

Apa peran Azahari dan Noordin dalam kelompok baru ini?

Kita tidak tahu pasti. Bisa jadi se-ma-cam pendiri atau malah pemimpin. Zul--karnaen, yang dulu panglima militer JI, kami duga ikut merekrut orang-orang muda masuk Thoifah. Konsepnya m-emang masih kabur. Yang pasti, mereka terlibat, dan kelompok ini ada.

Apakah mereka ini generasi yang benar-benar baru?

Bisa jadi, jika kita menyebut Noo-rdin dan Azahari sebagai generasi pertama JI. Sementara yang direkrut satu ge--nerasi tahap kedua, karena memang jauh lebih mu-da. Mereka ini belajar di sekolah atau pesantren JI yang jumlahnya sekitar 18 sek-olah. Salah satunya sebuah uni-versitas yang sangat pen-ting di Solo, Ja-wa Te-ngah. Jika mereka ingin berhubungan satu sa-ma lain, mereka akan meng-hubu-ngi orang di universitas ini yang seka--ligus men-ja-di markas JI di Jawa Tengah. Tempat ini betul-betul penting ka-r-ena disebut-sebut dalam be--rita aca-ra pemeriksaan (dari tersangka yang sudah tertangkap—Red.).

Di mana saja 18 sekolah itu?

Sebagian besar di Jawa dan Lombok. Ada juga di Lampung dan perbatasan Aceh-Sumatera Utara.

Bagaimana persisnya keterlibatan se-kolah-sekolah itu?

Kami melihat anak pemimpin JI di-kirim ke sekolah-sekolah ini. Di sana, lulusan terbaik dipilih ikut program wiyata bakti selama satu tahun. Dalam satu sekolah yang jumlah lulusannya 30 orang, ada dua atau tiga orang yang diundang. Sebagai anggota organisasi, mereka dibayar dan mendapat supervisi dari pimpinan JI. Tentunya nasib mereka lima tahun mendatang sangat bergantung pada kondisi di Indonesia, situasi internasional, dan juga lahirnya partai lokal.

Mereka termasuk JI garis keras atau garis moderat?

Bisa kedua-duanya. Mereka bisa tertarik masuk jalur dakwah. Tetapi tuju-an--nya tetap mendirikan negara Islam, mes--kipun tidak selalu melalui praktek jahat.

Apakah pelaku bom Bali II berasal dari Thoifah Muqatilah ini?

Belum diketahui pasti. Ada kemung-kin-an mereka anggota Thoifah. Kita ta-hu mereka ada kegiatan menuju ope-ra-si, tetapi di mana dan kapan kita sama sekali tidak tahu. Sebab, jika ada indikasi terjadi di Bali, pasti ada travel warning yang muncul dari kedutaan. Tetapi kali ini tidak ada sama sekali. Kita ha-rus menunggu hasil investigasi polisi.

Apakah jejak Azahari dan Noordin tampak pada bom Bali II?

Dugaan memang mengarah ke N-oor-din, Azahari, dan kelompok lain. Saya ti-dak bisa pastikan apakah mereka dari Banten atau dari daerah lainnya. Te-tapi sa-ya akan heran sekali kalau ternyata ada permainan di luar kelompok jihad ini.

Mengapa target bom kali ini terkesan tak terarah? Tak seperti bom Bali I, korban kebanyakan bukan warga asing?

Ada kemungkinan mereka ke Bali t-i-dak punya cukup waktu untuk melak-ukan survei. Dugaan saya, waktu direnca-nakan ada perhitungan di mana saja tar--get di Bali pasti ada orang bule yang kena. Akibatnya, banyak orang yang b-i-lang bom Bali II ini hasilnya tidak s-e-dahsyat bom Kuningan. Tidak sensa-sio-nal.

Mengapa polanya lain, misalnya tidak memakai mobil?

Mereka memperhitungkan kalau pa-kai bom mobil lebih gampang dilacak ahli forensik. Di Tentena (Sulawesi Te-ngah, Mei lalu—Red.) tidak pakai bom mo-bil dan hasilnya sampai sekarang tidak diketahui siapa pelakunya.

Apakah ada hubungan antara teroris di Indonesia dan di luar negeri, misalnya bom London?

Saya tidak melihat ada kaitannya. Yang terjadi di London, Inggris, Juli la--lu, pengebom berhasil membuat ne-ga-ra itu gemetar. Saya kira mereka mau bikin pola yang sama di Bali dengan memakai ransel dan masuk begitu saja ke restoran. Tetapi saya ragu kalau disebut ada pengaruh langsung. Yang terjadi di Indonesia 100 persen independen.

Bagaimana hubungan mereka dengan Al-Qaidah?

Di Indonesia tidak. Saya kira agak sa-lah kalau JI dicap sebagai Al-Qaidah di Asia. Mungkin ada hubungan dekat saat Hambali masih aktif dan sering bolak-balik dari Indonesia, Malaysia, Pa-kis-tan, dan Afganistan. Saat itu juga ada orang Al-Qaidah yang datang ke Indonesia. Tetapi itu sudah dua tahun lalu.

Bagaimana dengan pen-danaannya?

Untuk kegiatan sehari-ha-ri, mereka memperoleh dari infak anggota. Ada juga sumbangan dari per-usahaan-perusahaan yang mendukung mereka. Semen-tara itu, setiap kali ada ope-rasi pengeboman, ada dana cukup besar datang dari luar. Kita tahu pada bom Bali I ada sekitar US$ 35 ribu (sekitar Rp 350 juta) yang mungkin dari Al-Q-ai-dah. Ketika bom Mar-riott, ada uang sekitar 10 ribu dolar Australia (sekitar Rp 76 juta) yang tiba-tiba masuk. Meskipun dalam bentuk dolar Australia, bukan berarti dananya dari Australia, sebab mata uang kan bisa dialihkan dalam bentuk apa saja. Kalau untuk bom Kuningan, angka yang saya dengar sekitar 9.700 dolar Australia (sekitar Rp 74 juta) dalam bentuk tu-nai. Dalam bom kali ini ada investigasi yang menyebut biayanya jauh lebih murah, sekitar US$ 700 (sekitar Rp 7 juta) untuk semuanya.

Kembali soal faksi anti-Hambali. Si-apa mereka ini?

Kelompok ini bukan berarti baik-baik dan lemah lembut. Tujuan jangka panjang mereka 25 tahun sampai 30 tahun ke depan mendirikan NII (Ne-ga-ra I-slam Indonesia). Jalurnya de-ngan men-dirikan qoidah aminah sebagai tem-pat aman seperti usro dulu, di mana sya-riat Islam diterapkan secara mu-rni. Setelah terbentuk, kemudian diluas-kan untuk mendapat massa, barulah meng-ubah Indonesia menjadi negara Islam. Tetapi mereka melihat ide ini pasti akan mendapat perlawanan dari kelompok pemerintah atau kelompok kafir, saat mereka mencoba mendirikan qoidah aminah. Jadi, mereka menyiapkan kapasitas dan keterampilan militer untuk melawan.

Apakah saat ini mereka sudah m-asuk dalam organisasi formal atau partai po-litik?

Mereka mengaku sampai sekarang belum ada qoidah aminah. Sebelumnya mereka akan menjadikan Poso sebagai wing block pertama untuk meluaskan pengaruh. Tetapi belum jadi.

Berarti sampai sekarang hanya menggunakan JI?

Yang ada di Indonesia sekarang ini bukan hanya JI. Macam-macam kelompoknya. Di Banten ada ring Banten, yang jadi kelompok sempalan dari KW 9 (Kartosuwiryo, penggagas berdirinya NII) yang pecah dari Darul Islam.

Bagaimana peran ring Banten ini?

Di sana paling sedikit ada dua atau tiga sempalan KW 9. Salah satunya kelompok Abu Totok. Saya belum melihat jelas hubungan antara Abu Totok alias Panji Gumilang (pimpinan Pesantren Al-Zaytun di Indramayu, Jawa Barat) dan kelompok teroris. Mungkin lambat-laun akan ketemu, tapi sekarang belum muncul. Peran ring Banten ini mencuat setelah nama Iqbal menjadi pengebom bunuh diri pada bom Bali I. (Panji Gumilang dalam wawancara dengan Tempo beberapa tahun lalu menyangkal ke-terlibatan dia dan pesantrennya dalam kegiatan kekerasan. ”Yang benar saja. Saya memimpin Al-Zaytun kok dikait-kaitkan dengan yang enggak-enggak begitu,” katanya—Red.)

Bagaimana dengan bom Kuningan?

Bom Kuningan jelas peran Rois alias Iwan Darmawan dari Bandung dan temannya. Mereka semua anggota ring Banten yang ketemu JI di Poso. Ada juga orang Banten yang kenal JI melalui Imam Samudra. Hubungan mereka makin erat karena ada kamp latihan JI di Poso. Informasi yang saya dapat, saat Azahari membutuhkan orang untuk bom Kuningan, dia datang ke salah satu orang JI. Dia dikenalkan dengan Rois alias Iwan Darmawan dari Bandung yang mereka kenal saat di Poso. (Sumber Tempo lainnya menyebutkan Azahari mengenal Rois sejak latihan militer di Filipina, 1997—Red.)

Apakah betul muncul kelompok-kelompok baru?

Ya. Memang muncul kelompok ma-cam-macam dari DI, JI, mungkin sisa Laskar Jundullah di Poso dan Makassar. Belum lagi kelompok yang sangat regional seperti Mujahidin Kayama-nya, atau kelompok-kelompok di Ambon. Jum-lah mereka sangat kecil-kecil. Ba-gaimana mereka saling terkait, tidak gampang untuk menjelaskan. Misalnya kelompok Mujahidin Kayamanya, yang mengambil nama sebuah kampung di Poso. Orang Mujahidin Kayamanya ikut dalam serangan di Seram (Mei lalu—Red.), perginya lewat Solo. Saya melihat ada keterlibatan sebuah LSM di sini, tapi namanya saya mohon off the record dulu. Saat konflik Ambon meletus, LSM ini ikut menyalurkan uang untuk mela-tih para mujahidin dengan instruktur yang diambil dari JI. Mereka kemudian muncul sebagai perantara dalam peta yang sangat rumit antara kelompok JI dan Darul Islam dan kelompok lainnya.

Bagaimana jaringan ini bekerja?

Saat merencanakan operasi, mereka bisa memakai hubungan pribadi dari orang di LSM ini tanpa perlu melalui organisasi. Misalnya, jika menurut Noordin dan Azahari Thoifah Muqatilah ini orangnya tidak cukup (kualitasnya), mereka bisa mencari di tempat lain.

Bagaimana peran kelompok Su-ma-te-r-a?

Kita tak cukup tahu bagaimana struk-tur kelompok-kelompok di sana. Di Serang, misalnya, dari delapan orang yang terlibat serangan, ada orang dari dalam DI Riau. Masalahnya di Riau ada DI, ada JI, dan ada preman yang tidak jelas berafiliasi ke mana. Lampung masih menjadi basis JI di Sumatera. Tetapi di sana juga ada sel-selnya. Sementara di Bengkulu ada lulusan Ngruki yang buat yayasan.

Sidney Jones

Lahir:31 Mei 1952

Pendidikan: Oriental Studies and International Relations dari Universitas Pennsylvania, dan setahun di Universitas Pahlevi di Shiraz, Iran.

Karier:

  • Ford Foundation, Jakarta dan New York (1977-1984)
  • Peneliti Amnesty International untuk Indonesia dan Filipina (1984-1988)
  • Direktur Divisi Asia Human Rights Watch (1988-2002)
  • Direktur Indonesia International Crisis Group (Mei 2002 hingga sekarang)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus