Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada 1730, Senen adalah pasar kecil di sekitar Istana Weltevreden (kini Rumah Sakit Angkatan Darat). Pasar yang hanya buka pada hari Senin, dan masyarakat menyebutnya Pasar Senen. Dua setengah abad kemudian, Senen berkembang sangat pesat—meliputi Jalan Kramat Bunder, Jalan Senen Raya, Jalan Gunung Sahari, terminal bus, dan stasiun kereta api.
Pada masa Gubernur Ali Sadikin, Gelanggang Remaja Planet Senen didirikan, dengan tujuan utama: menampung para seniman yang sering berkumpul di sana. Lalu berturut-turut muncul gedung Pasar Senen, gedung parkir, pasar inpres, dan terminal bus. Sejak itu, kawasan Senen menjadi pusat perdagangan yang masyhur di Jakarta.
Senen kian megah ketika dibangun sebuah superblock modern, Atrium Senen, pada 1990-an. Hanya, kemegahan Senen yang dijuluki ”Segi Tiga Emas” itu makin pudar menyusul badai krisis ekonomi 1998. Sektor bisnis formal rontok. Di kawasan itu lalu menjamur para pedagang informal alias pedagang kaki lima. Jumlah mereka terus bertambah dan menyesakkan. Senen pun kian semrawut. Dan citra kawasan Senen sebagai pusat perdagangan meredup sehingga roda perekonomian di sana macet.
Lalu, muncullah ide penataan kawasan itu lewat sayembara. Keluar sebagai pemenangnya adalah Maryanti Kusuma Asmara dari Jakarta Konsultindo, yang mengusung konsep desain Life in Tomorrow’s Senen. Konsep pusat bisnis terpadu, kompetitif, dan berwawasan lingkungan. Menurut Maryanti, konsepnya mengintegrasikan fasilitas perdagangan, perkantoran, dan hunian, yang didukung fasilitas publik seperti terminal bus, stasiun kereta api, gelanggang remaja, pusat kebudayaan, dan taman.
Di kawasan seluas 24,5 hektare itu akan didirikan beberapa blok bangunan terpisah. Koridor melayang (elevated corridor, selebar 15-20 meter) akan menghubungkan satu bangunan dengan bangunan lainnya. Beratap kanopi, di sepanjang koridor itu diletakkan pot-pot tanaman sebagai hiasan sekaligus penghijauan. Koridor tersebut digunakan untuk menampung para pedagang kaki lima. ”Sehingga pedagang kaki lima tak lagi menyerobot trotoar dan jalur kendaraan,” kata Maryanti.
Koridor melayang juga berfungsi menghindari pertemuan antara pejalan kaki dan kendaraan. Ini menjadi lebih efisien, sehingga pergerakan orang dari satu blok ke blok lain tak harus keluar dari gedung itu dulu, lalu menyeberang jalur kendaraan. Singkat kata, koridor bisa menghindari konflik di ruang publik—konflik antara pejalan kaki, kendaraan, dan pedagang kaki lima—sebagai pemicu kesemrawutan kawasan Senen selama ini.
Sedangkan ruang terbuka antarblok bangunan difungsikan sebagai taman dan kawasan hijau. Lalu, adanya fasilitas hunian menjadikan kawasan Senen hidup sepanjang 24 jam. Selama ini riuh-rendah kawasan Senen hanya membuncah pada siang hari. Malam hari, kawasan itu bak kota mati. Adanya hunian juga bisa menjadi kontrol sosial sehingga bisa mereduksi kriminalitas dan prostitusi yang marak di kawasan itu.
Life in Tomorrow’s Senen juga mencoba mengembalikan kawasan itu sebagai pusat kegiatan kesenian. Stasiun Senen, yang ditetapkan sebagai kawasan cagar budaya, bisa dimanfaatkan menjadi pusat kebudayaan. Menurut Maryanti, dalam konsepnya, di sekitar kawasan tersebut dibangun semacam amfiteater tempat berkumpulnya para seniman sehingga kejayaan para ”seniman Senen” bisa bergaung kembali.
Sebuah konsep desain yang menarik. Hanya, biasanya membuat konsep lebih mudah daripada mewujudkannya. Sebab, kawasan Senen sekarang dimiliki oleh empat stakeholder yang berbeda: PD Pasar Jaya, PT Pembangunan Jaya, PT Jakarta Realtindo, dan PT Kereta Api Indonesia. ”Kita dalam proses mufakat untuk mewujudkan konsep itu,” kata Saptastri Ediningtyas Kusumadewi. ”Yang pasti, dalam pembangunannya nanti akan memadukan konsep hasil sayembara dengan konsep para stakeholder,” Kepala Badan Perencanaan Kota Madya Jakarta Pusat itu menjelaskan.
Nurdin Kalim
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo