Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Perayaan Kasih Sayang

Tiga perupa perempuan asal Belanda, Amerika, dan Kanada memamerkan karyanya di Jakarta. Sebuah refleksi kehidupan.

17 Oktober 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ada pepatah mengatakan, wanita dan Allah adalah dua batu karang, tempat semua lelaki karam dan terpaksa berlabuh. Dan salah satu karya seni rupa kontemporer yang dipamerkan di Bentara Budaya, Jakarta, sepekan lalu, mencoba merepresentasikan ”tempat” berlabuh para lelaki itu.

How my heart was taken over karya Deborah J. Nolan, perempuan kelahir-an Kanada ini, menggambarkan pertumbuhan janin di dalam perut, yang menjadi wadah kehidupan baru. Kar-ya-nya berupa patung torso yang terbuat dari gelas bening berisi tanaman menjalar. Dari bulan ke bulan tumbuh-an itu berkembang, sebagaimana pertumbuh-an janin di dalam perut selama sembilan bulan. -”Ini merupakan cetak-an kehamilanku yang kedelapan,” tutur- ibu satu anak ini.

Deborah menceritakan, proses kehamilannya sungguh tak terbayangkan sebelumnya. Dia yang saat itu tinggal di Yogyakarta mengikuti keyakinan tradisi setempat, mulai dari mitoni atau upacara tujuh bulanan, sampai saat kelahiran dan menanam ari-ari. ”Ini proses yang tak terlukiskan. Pemaham-an baru ini menumbuhkan rasa cinta mendalam, dan rasa cinta itu membuatku kalang-kabut,” tutur lulusan program musim panas bidang seni dan budaya Universitas Moskow, Rusia ini.

Deborah hanyalah salah satu dari tiga perempuan perupa, di samping Christine Cocca dan Mella Jaarsma, yang juga menerjemahkan perasaan itu melalui medium karya seni lukis, instalasi, artists book, maupun patung. De-ngan tema Ripe harvesting meaning from motherhood, ketiganya memamerkan karya-karyanya yang menggambarkan proses kehidupan, mulai dari kehamil-an, persalinan, hingga menyusui, bagi setiap perempuan. Tentu saja dengan sensasi dan reaksi yang berbeda-.

Ibu yang rela memberikan segalanya- untuk anaknya digambarkan oleh Christine, 35 tahun, dalam karyanya- berjudul I Want to Give Everything I Have (to you). Sepasang patung pe-ngantin Jawa terbuat dari kaca bening duduk bersila berhadapan di atas rerumputan hijau. Dan semut-semut itu menggerogoti si perempuan.

Christine mencoba menggambarkan, semut-semut itu sebagai ”serangga so-sial” yang bekerja dalam koloni kehidup-an yang terkesan tunggal dan monoton. Dia ingin menunjukkan segi buruk peri keibuan dan hidup perkawinan, termasuk sisi negatif masyarakat Indonesia yang komunal. ”Tapi, untuk saya, yang penting nilai spiritual dari rutinitas tugas-tugas remeh seorang ibu, yang membuat ibu itu mengutamakan tuntutan kebutuhan anak-anaknya,” kata dia.

Ibu dua orang anak asal Amerika ini sengaja menggunakan bahan tak permanen dan rapuh semisal lilin, garam, gula, kaca, bunga, dan rambut. Alasannya, sifat fisik bahan itu sejajar dengan sifat kebenaran yang halus dan rumit/njlimet. Bahan-bahan itu juga merupa-kan bahan keseharian yang digunakan Christine.

Semua karya dibuat berdasarkan pengalaman pribadi, melibatkan proses- fisik kehamilan dan persalinan yang halus, lembut di peradaban tapi juga kuat perkasa secara spiritual. Hal itu menjadikan Christine sadar, betapa- pikiran telah memainkan peran pen-ting dalam membangun realitas.

Mella Jaarsma, 45 tahun, menampilkan karya-karya lamanya, yang dibuat pada 1992-1997. Karya-karya itu diilhami dan dipengaruhi pengalaman reproduksi dan penciptaan kehidup-an. Mella menafsirkannya sebagai kehidupan dan kematian yang bersumber pada napas. Saat pertama kali datang di Indonesia, Mella mengaku sangat terkesan pada bayang-bayang ritual penguburan dan pembakaran jenazah di Sulawesi dan Bali. ”Bayang-bayang itu membawaku pada batas antara hi-dup dan mati,” tuturnya.

Lewat karyanya Sound of Breath, Mella mencoba memvisualkan napas pertama bayi yang baru lahir. Ada dua pipa berbentuk kerucut dengan bagian tengah menyempit. Menurut Mella, bagian tengah itu menunjukkan titik tegangan. Di tempat itu, perempuan kelahiran Belanda ini menggambarkan adanya segumpal daging di ujung satu corong dan sebuah bayangan sosok embrio di ujung lain terpantul oleh sorot lampu di tembok. ”Di sinilah titik awal tempat napas pertama berembus, bermula dan di situ pulalah titik kehidupan akan berakhir,” tutur ibu dua anak ini.

The Hand that Feeds karya Christine Cocca menampilkan 20 pasang tangan bergelantungan dan kembang kamboja di ujung jari dengan perempuan. Tangan-tangan itu terbuat dari sarung tangan karet dan kembang kamboja itu tak lagi berwarna putih, tetapi kecokelatan karena telah mengalami proses- pengawetan. Christine menjelaskan kar-yanya sebagai manifestasi pera-yaan kasih sayang seorang ibu yang memberikan kehidupan kepada bayi yang tidak berdaya, yaitu saat menyusui. Dan bunga kamboja sebagai perlambang indah sekaligus sesuatu yang ringkih.

Perupa Amerika yang pernah belajar di IKIP Malang ini kini tinggal di Yogyakarta. Dia beradaptasi lewat kar-yanya berjudul Cerewet. Lima rumah-rumahan kayu setinggi setengah meter, masing-masing terisi sesosok wajah putih dengan ekspresi yang berbeda-beda. Empat di antaranya dengan mulut tersumbat sebuah apel merah. Satunya tersumpal segepok rambut yang ujungnya menjuntai. ”Saya ingin menggambarkan dua budaya yang menyatu,” -tutur istri pelukis Entang Wiharsa ini.

Kegairahan Deborah, Mella, dan Christine sebagai ibu terpantul melalui karya-karyanya. Lihatlah pada perut kaca berisi tumbuhan salah satu karya mereka. Atau kodok yang telah dihilangkan kulitnya, ada di telapak kaki (Frogthoughts karya Mella). Kegairahan memperbincangkan proses kehidupan yang datang dan tumbuh bersamanya.

Secara umum, karya-karya para perupa perempuan itu menarik. Hanya pada Narration of an Odyssey karya Deborah tampak kurang mendapat perhatian pengunjung. Lembaran kertas panjang yang dilipat-lipat dan di-sampirkan di atas rak kayu itu bergambar peta geografis dan cerita perjalanan pertumbuhan janin hingga kelahiran. Karya instalasi para perupa perempuan itu terasa lebih hidup dan memikat ketimbang karya lukisnya.

Tak banyak perempuan perupa yang terus bertahan sebagai perupa setelah menikah dan punya anak kecil. Deborah, Mella, dan Christine menjadi bagian dari yang tak banyak itu. Mereka justru ingin memberi tanda pada setiap peristiwa, termasuk saat terjadi perubah-an total pada pola hidupnya. ”Saya bahagia, meski kehilangan kebebasan se-bagaimana sebelumnya,” tutur Mella.

L.N. Idayanie

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus