Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsitektur

Mester, Seraut Wajah Remaja

Penataan ulang kawasan Jatinegara disayembarakan. Pemenangnya mengangankan Jatinegara ramah terhadap pedagang kaki lima, kaya kawasan publik.

17 Oktober 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Jatinegara seperti sebuah jaring raksasa. Di kompleks pasar, pedagang kaki lima menghambur di jalan umum, kendaraan tak sanggup bergerak. Pejalan kaki, calon pembeli, menyeret kakinya perlahan dari satu pedagang ke pedagang lain. Di antara tawar-menawar penjual-pembeli, mobil-mobil menurunkan barang dagangan di beberapa titik terpadat: pasar grosir, pasar burung dan binatang peliharaan lainnya, pasar batu akik, bahkan Stasiun Jatinegara dan Terminal Kampung Melayu. Jatinegara adalah sebuah jebakan—hiruk-pikuk, tapi tak sanggup berubah.

Jatinegara kini bukan sebuah daerah dalam foto dokumentasi tahun 1900-1940: dengan deretan rumah besar, land huis atau vila dengan arsitektur bergaya art deco atau malah kubisme. Ia daerah yang meliputi 155 hektare (Kelurahan Rawa Bunga dan Bali Mester), dihuni 35 ribu jiwa, ditambah sekitar 2.000 pedagang kaki lima yang sibuk menyodorkan segalanya, dari obat-obatan, barang elektronik, buku, hingga barang bekas.

Jatinegara pengap dan mentok, tapi baru-baru ini Pemerintah Daerah Jakarta Timur mengadakan sayembara menata ulang kawasan segi tiga itu. Bulan lalu sebuah kelompok dari Bandung, Snektaiger, jadi juara pertama. Menurut Danisworo, ketua tim juri, itulah kelompok yang paling mampu menawarkan solusi praktis dan masuk akal. Idenya sederhana, tanpa membongkar besar-besaran, apalagi menggusur.

Temanya Rejuvenating Jatinegara. ”Kondisi Jatinegara masa kini yang kurang vital akan dikembalikan ke masa kejayaannya dulu, pada saat kawasan ini masih muda dan bergairah.” Kelompok yang dipimpin oleh Heru W. Poerbo, dosen Jurusan Arsitektur Institut Teknologi Bandung, ini mengawalinya dari satu langkah: menata pedagang kaki lima.

Snektaiger berencana mengumpulkan para pedagang ini secara tematis menurut jenis dagangannya. Setiap titik penampungan akan dihubungkan dengan arkade yang berfungsi optimal bagi pejalan kaki. Sedangkan koridor Jalan Matraman Raya, Bekasi Barat, Jatinegara Timur, dan jalur-jalur lain yang selama ini disesaki pedagang emperan akan dipatok menjadi zona pejalan kaki.

Langkah berikutnya, menciptakan ruang publik yang dihubungkan dengan arkade. Ruang publik, misalnya, akan dibuat di muka Wihara Amurvabhumi—dekat Gereja Koinonia—dengan tema ”Little Canton”. ”Para pedagang kaki lima akan berintegrasi positif dengan ruang publik,” kata Heru. Inilah skenario yang memiliki akar Jatinegara sebagai pecinan lama yang masih bertahan hingga kini. Penduduk etnis Cina di sana, yaitu di Kelurahan Bali Mester, 35 persen dari sekitar 13 ribu jumlah penduduk. Di kelurahan tersebut juga masih ada 50 rumah lama bergaya arsitektur Cina dan tiga wihara yang salah satunya punya grup barongsai.

Ruang publik juga akan ”ditanam” di berbagai tempat bersejarah, termasuk Stasiun Jatinegara. Ya, ada area terbuka di depan stasiun, dan itu akan dikembangkan fungsinya untuk bisnis. Di sana akan dibangun ruang pameran. Area sirkulasi arus lalu-lintas juga akan dioptimalkan karena di masa mendatang di kawasan ini akan dibangun busway dan monorel.

Pengembangan ini punya benang merah dengan Jatinegara tempo dulu sebagai pusat transportasi. Stasiun Jatinegara adalah satu dari empat stasiun yang pertama kali dibangun di Jakarta. Kereta api pertama kali beroperasi di Jakarta pada 1875 dengan beberapa jalur, antara lain Tanjung Priok-Gambir-Jatinegara.

Ide Snektaiger simpel dan sadar sejarah. Pasar batu akik, pasar binatang peliharaan, misalnya, berkembang menjadi tempat belanja dan jelajah. Berbagai tempat bersejarah seperti gedung Cornelis Meester akan dikembangkan memperkuat citra Jatinegara. Tempat pusat kerumunan publik lainnya ditata dengan intensitas maksimal. Kalaupun akan didirikan bangunan baru, Jatinegara tak akan meninggalkan cirinya sebagai tempat bisnis tua. Bangunan tak terlalu tinggi.

Untuk menyempurnakan ide Snektaiger, panitia memutuskan memakai sebagian konsep pemenang kedua dan ketiga. Pemenang kedua, Tim Bandung 8, menawarkan ide konsep berputar dalam manajemen transportasinya. Untuk melancarkan arus lalu-lintas, jalan melingkar bertingkat harus dibangun. Pemenang ketiga, kelompok Enabru, Bandung, menawarkan pengembangan bisnis kawasan—pembangunan jembatan-jembatan yang berfungsi sebagai pertokoan.

Penataan segi tiga Jatinegara yang dilombakan meliputi wilayah terbatas. Di bagian utara berbatas rel kereta api Jatinegara, Kelurahan Pal Meriam. Bagian barat berbatas Jalan Jatinegara Barat, Kelurahan Kampung Melayu. Di timur, viaduct atau putaran jalan tol. Dan jangkauan selatannya sampai pada pertemuan antara Jalan Kampung Melayu Besar dan Jalan Otto Iskandardinata.

Sayembara kini jalan keluar yang mulai diperhitungkan. Sebelum Jatinegara, penataan segi tiga Senen juga dilombakan. Entah bagaimana perwujudannya kelak. Yang terang, Jatinegara telah berubah banyak.

Kawasan yang mulanya hutan ini—oleh VOC pada 1656 dihadiahkan kepada Meester Cornelis Senen, penginjil asal Pulau Lontar, Kepulauan Banda—berkembang menjadi gemeente atau kotapraja pada awal abad ke-20. Peruntukannya adalah sebagai pendukung pembangunan Batavia Centrum (Jakarta Pusat) yang terletak di sekitar Lapangan Banteng. Meester—demikian tempat ini biasa disebut, bahkan hingga kini—diberi citra tempat permukiman Eropa. Sebagai penunjang hunian, dibangun berbagai sarana seperti gereja, sekolah, kantor-kantor pemerintahan, plus pertokoan lengkap dengan pecinannya.

Posisinya penting di masa lalu karena kawasan tersebut menjadi area yang dilalui Groote Post Weg (Jalan Raya Pos) Daendels. Pada akhir abad ke-19, jalan bersejarah itu dibangun bercabang dua di Meester, yaitu ke Bogor dan Bekasi. Akses prima itu juga yang membuat Jatinegara pada masa kolonial Belanda dipatok sebagai ”kota depan” Batavia. Sedangkan pusatnya, di Lapangan Banteng dan Jakarta Kota lama, justru menjadi beneden stad (kota bawah atau kota rendah).

Tapi, kini sisa-sisa kejayaan Meester tinggal samar. Menurut data Dinas Museum dan Pemugaran Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, bangunan bersejarah yang tersisa tinggal enam, di antaranya Gereja Koinonia, bekas rumah Bupati Meester yang pernah digunakan sebagai kantor Kodim 0505.

Bina Bektiati

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus