Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jalan Raya Pos, Jalan Daendels Penulis: Pramoedya Ananta Toer Penerbit: Lentera Dipantara, Jakarta, Oktober 2005 Tebal: 148 halaman
Mati. Mereka meninggal karena kelaparan, kelelahan, atau terserang penyakit. Yang membangkang digantung di pepohonan di sepanjang ruas jalan.
Inilah kisah pembangunan jalan sepanjang 1.000 kilometer, dari Anyer di Jawa Barat hingga Panarukan di Jawa Timur. Kisah yang berawal dari imajinasi seorang Gubernur Hindia Belanda, dalam perjalanannya dari Buitenzorg atau Bogor ke Semarang dan Oesthoek alias Jawa Timur. Dalam bukunya yang terakhir, Jalan Raya Pos, Jalan Daendels, Pramoedya Ananta Toer mencatat perjalanan itu tertanggal 29 April 1808, dan si pemilik imajinasi itu adalah Herman Willem Daendels.
Imajinasi yang cepat menjadi ambisi buta. Ya, proyek raksasa itu menggunakan kerja rodi, tanpa bayar—kalaupun ada, upahnya sudah disunat oleh mandor baik berkulit putih maupun cokelat, atau keduanya, tulis Pramoedya. Korban semakin banyak, ”ribuan orang kecil di Grobogan, wilayah Keresidenan Semarang, berkaparan tak terkuburkan,” tutur Pram (hlm. 22). Tapi angan-angan sang Gubernur Jenderal tak kunjung kendur.
Awalnya, Daendels hanya memerintahkan memperbaiki dan melebarkan jalan Anyer-Batavia. Tapi rupanya itulah proyek yang berbuntut panjang, sangat panjang. Pekerjaan dilanjutkan dengan pelebaran ruas jalan Batavia-Bogor. Dan pada 5 Mei 1808, Daendels mengambil keputusan untuk membikin jalan dari Bogor ke Karangsembung di daerah Cirebon, berjarak 250 kilometer.
Setelah pembangunan sampai ke Karangsembung, Residen Cirebon mengajukan permohonan agar pekerjaan diteruskan melewati keresidenannya. Selanjutnya, demikian pula halnya dengan Residen Pekalongan. Dan Jalan Raya Pos pun semakin panjang, hanya sekarang menyusur pantai, hingga ke Panarukan.
Dalam Jalan Raya Pos, Jalan Daendels, Pramoedya, kini 80 tahun, bercerita tentang asal-muasal genosida itu sampai ke telinganya. Beberapa kali Pram kecil berlibur melewati Teluk Rembang, Rembang Lasem, bagian dari Jalan Raya Pos. Di sinilah Pati Unus dulu pernah memamerkan kapal komandonya setelah menggempur pasukan Portugis di Malaka, 1 Januari 1513. Di sini pula, genosida pembangunan Jalan Raya Pos terjadi.
Tapi Pram kecil tak melihat apa-apa, hingga akhirnya di Instituut Boedi Oetomo, sekitar 1935, ia mendengar gurunya berkisah soal jalan ”terpanjang di dunia pada masanya” dengan kualitas jalan raya Amsterdam-Paris. Di sanalah ia mendengar kesimpulan sang guru: ”Di sepanjang Jalan Raya Pos terdapat kuburan-kuburan terluas di Pulau Jawa.”
Kepada Tempo, Pram mengakui, Jalan Raya Pos lahir atas prakarsa seorang sutradara film dokumenter dari Belanda, Bernie Ijdis, pada awal 1990-an. Kala itu Bernie berniat membikin film dokumenter tentang Anyer-Panarukan, dan ia diminta membuat teksnya. Bernie kemudian mengirimi Pram seabrek fotokopi guntingan surat-surat kabar Hindia Belanda abad ke-18. Bernie juga mengirim sejumlah literatur tentang Jalan Raya Pos.
Pram membutuhkan sekitar setahun untuk mempelajari dokumen-dokumen itu. Setelah itu, ia membuat catatannya. Selain dokumentasi, Pram menambahinya dengan pengalaman pribadinya menelusuri sebagian ruas jalan itu. Dengan cara itu pula, sosok yang beberapa tahun terakhir masuk nominasi hadiah Nobel ini ”menghidupkan” sejarah, seraya menarik benang merah antara data sejarah dan masa kini. Pada 1992, Pram merampungkan buku esainya ini.
Nurdin Kalim, Evieta Fadjar
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo