Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

Suciwati: ”Saya Terus Menagih”

11 September 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kematian Munir Said Thalib belum bisa dimengerti Alif Allende, 8 tahun, dan Diva Suukyi, 4 tahun. Suatu hari kedua bocah itu terbangun tengah malam sambil menangis. ”Saya kangen Abah,” kata Alif sambil terisak.

Abah adalah panggilan Alif dan Diva untuk almarhum Munir, ayah mereka, yang tewas diracun, 7 September 2004. Pejuang Hak Asasi Manusia (HAM) itu tewas dalam penerbangan ke Belanda dengan pesawat Garuda Indonesia.

Dua tahun berlalu dan kematian Mu­nir­ masih berselimut kabut. Sejumlah nama menjadi tersangka, tetapi dalang peristiwa keji tersebut masih berkelia­ran­­ bebas. Inilah yang membuat Suciwati, 38 tahun, istri mendiang Munir, tak hendak berpangku tangan.

Sejak 2004, Suci—panggilan akrab Su­ci­wati—menemui tokoh-tokoh te­ras ne­­geri ini, menuntut pengungkapan ka­sus­­­­ secara tuntas. Permintaannya ha­nya satu: temukan dalang pembunuh Munir. Permintaan yang hingga kini tak bisa dipenuhi.

Tetapi penerima gelar Asia’s Heroes 2005 versi majalah Time Asia ini pantang menyerah. Ia terus menagih meski­ sejumlah teror mencecarnya. Pekan­ la­lu­­ dia melayangkan gugatan per­­data­ ke­ maskapai penerbangan Garu­da Indo­nesia. ”Saya ingin anak saya tahu ibunya terus­ men­cari keadilan bagi abah­nya,” kata Suciwati kepada Abdul­ Ma­nan,­ ­Cah­yo Junaedy, Poernomo Gon­tha­ ­Ri­­dho,­ dan fotografer Cheppy A. Muchlis dari Tempo, Rabu pekan lalu di Jakarta.

Dalam wawancara selama satu jam itu, sesekali Suci tampak menahan­ rasa geram melihat lambannya pengung­ka­pan­­ kasus Munir. Selebihnya ia ber­sikap­ wajar.

Anda baru saja menggugat Garuda Indonesia secara perdata?

Ya, saya menagih hak-hak konsumen yang seharusnya dilindungi. Se­perti dalam kasus Munir. Sebagai se­orang konsumen yang membeli tiket Garuda, dia seharusnya mendapat jamin­an keamanan, termasuk dalam soal makanannya. Belum lagi ada pemindahan tempat duduk yang tidak sesuai dengan boarding pass.

Target dari gugatan itu?

Kami ingin memperbaiki kinerja Ga­ru­da­ Indonesia. Karena Garuda dibiayai oleh APBN, berarti kita juga ikut membiayai mereka. Seharusnya mereka bisa lebih bagus dalam melayani publik, tapi yang terjadi malah sebaliknya, bahkan ada yang terbunuh di sana. Siapa pun bisa mengalami nasib seperti itu. Kare­na­­ itu, saya berpikir jangan sampai hal yang sama terjadi pada orang lain.

Kasus Munir sudah dua tahun berjalan, bagaimana proses pengusutannya?

Yang pasti saya akan tetap mena­gih janji Presiden Yudhoyono. ­Sejak awal ­kasus ini, presiden berjanji dan ber­ko­mit­men akan mengusut kasus tersebut.­ Menurut dia, ini adalah tes sejarah bagi bangsa kita. Itu sudah menjelaskan ko­mit­men seorang kepala negara bahwa pem­bunuhan itu harus diungkap sampai­ dalangnya.

Sekarang bagaimana komitmen presi­den?­

Komitmen itu memang masih ada, se­per­ti dibentuknya Tim Pencari Fakta (TPF). Dia terus-menerus menanyakan per­kembangan kasus ini kepada kepala Badan Intelijen Negara (BIN), Kapolri,­ dan Jaksa Agung. Tapi, kita melihat sen­diri pengungkapan kasus belum berha­sil.­ Saya melihat upaya mereka belum sepenuh hati, hanya setengah hati.

Sudah bertemu presiden?

Saya mencoba menelepon lewat Andi Mallarangeng. Dia bilang semua sudah­ ditangani aparat hukum. Jawaban standarlah. Belakangan dia tidak pernah mengangkat ketika saya telepon.

Dengan skala 1 hingga 10, berapa Anda menilai proses pengusutan kasus Munir?

Saya kasih 1. Pemerintah hanya bisa menyelesaikan di tingkat lapangan. Begitu­ hendak diteruskan ke atas, masih­ ja­uh banget. Padahal para tersangka sudah­ jelas.

Jadi, selama satu tahun terakhir tidak ada kemajuan?

Akan ada kemajuan jika ada tersangka baru. Polisi selama ini terbentur pada se­buah pasal dalam undang-undang, yakni harus ada bukti fisik. Saya tidak mau tahu persoalan hukum itu. Bagi saya yang penting adalah keadilan.

Melihat fakta persidangan dan temuan TPF, Anda menilai sudah mengarah ke dalang sesungguhnya?

Berdasar putusan hakim PN Jakarta­ Pusat, yang terlibat sudah jelas, yakni Indra Setiawan, Rohaini Aini, Muchdi,­ dan Yetty. Hakim juga menyatakan ada­­nya pemilik alat komunikasi dengan­ no­mor sekian-sekian, dan itu diakui Much­­di Purwoprajono, Deputi V di BIN. Semua itu kan harus dijawab.

Dengan kata lain, Anda melihat ada yang tak ditelusuri?

Saya melihatnya seperti itu. Polisi­ pintar­ dan profesional ketika mengejar­ teroris, tetapi kenapa dalam kasus Mu­nir­ mereka tidak bisa? Apa karena da­lam kasus terorisme banyak uangnya, sedang kasus Munir tidak?

Anda ingin mengatakan soalnya bu­kan­ pada ketiadaan alat bukti?

Bukan. Tetapi karena tidak­ adanya ke­mauan. Bila ada ke­­mauan pasti bisa. Sudah mengerucut, kok, siapa dalam pembunuhan Munir.

Ketika Ketua TPF diganti, apakah ada pengaruhnya?

Jelas ada, makanya saya min­ta untuk dilakukan audit ter­hadap kepolisian, apa saja yang sudah mereka lakukan.­ Karena sejak awal saya tidak­ percaya dan meminta untuk­ mem­buat tim independen. ­Sa­­­­ya­­­­­ tidak pernah percaya pa­da­­ sistem yang ada. Tiba-tiba, kasus ini dikembalikan ke sis­tem yang biasa. Ketika­ Kepala Badan Reserse dan Kriminal (Bareskrim) Markas­ Besar Kepo­lisian Indonesia diganti dari Suyitno Lan­dung ke­ Makbul­ Padmanegara, ha­silnya­ sama saja. Malah sema­kin­ tidak ada kemajuan.

Bukankah sudah ada pe­mang­gilan saksi baru?

Ya, Erry Bunjamin, tapi itu ti­dak­ pernah ditindaklanjuti ­la­gi.­­­

Sudah bertemu dengan ­Ka­­­­ba­res­­krim?

Sekitar tiga bulan lalu saya ber­sama Hendardi bertemu Pak Makbul untuk menanya­kan ­per­kembangan kasus ini. Kata­nya, mereka mulai me­nelusuri sak­si-saksi di sekeliling­ Much­di.­ Mereka bilang jangan diekspose du­lu, tapi nyatanya diekspose atau tidak­, ­te­tap tidak­ ada hasilnya.

Bagaimana dengan Ka­polri?

Tahun lalu pernah bertemu sekali dan di­a menyatakan komitmennya, tapi ini su­dah setahun tak ada kemajuan. Se­ka­­ra­ng­­ berkali-kali saya telepon tidak ­bi­sa.­

Anda juga bertemu Jaksa Agung—apa yang Anda sampaikan?

Saya meminta Jaksa Agung menelu­­­su­ri hubungan telepon antara Pollycarpus dan Muchdi, karena itu di­mungkin­kan undang-undang telekomuni­­ka­si, tetapi sampai sekarang itu tidak di­la­ku­kan. Bahkan waktu bertemu dia malah bertanya pada bawahannya soal kemaju­an kasus Munir. Saya menilai dia tidak ­memiliki komitmen.

Apa yang Anda desakkan ketika bertemu Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan?

Saya minta MA membuka kembali persidangan karena ada yang dihilangkan. Di tingkat banding disebutkan Polly yang memalsukan surat. Bila ada surat berarti ada dalangnya. Saya minta MA membuka kembali dan memanggil saksi-saksi kunci yang tidak dipanggil dalam persidangan sebelumnya.

Bagaimana dengan Ketua DPR?

Saya pernah meminta tanda ta­ngan Agung Laksono untuk mendukung pe­ngusutan kasus Munir, tapi dia tidak mau. Alasannya, lebih baik membuat surat sendiri. Lagi pula, di DPR sudah ada Tim Munir. Saya kecewa dengan pertemuan itu. Ketika orang Thailand datang dan minta tanda tangan, dia langsung mau. Tetapi dengan orang yang di depan mata, dia menolak.

Bagaimana dengan Komisi III?

Mereka bilang akan memberikan ja­waban berupa laporan tim DPR soal kasus Munir. Mereka juga minta bertemu dengan Presiden, tapi sampai sekarang belum ada jawaban.

Sepertinya Anda sibuk menagih janji dari semua orang?

Ya, masih banyak tugas yang harus dilakukan. Soal janji harus ditagih te­rus. Setiap kali bertemu para elite itu, me­reka semua berkata kenal Munir. Mereka bilang akan minta bawahannya melihat kasus ini. Saya merasa tak mendapatkan apa-apa dari pertemuan-pertemuan itu.

Anda juga meminta duku­ngan dari luar. Kabarnya Anda baru pulang dari Belanda?

Saya ke parlemen Belanda. Sekitar bulan Oktober mereka­ akan datang ke Jakarta,­ khusus­­ untuk menanyakan kasus­ Munir. ­­

Selain Belanda, dukungan lain datang dari mana?

Ada tanda tangan 68 anggota kongres Amerika Serikat mempertanyakan kasus Munir, Oktober tahun lalu. Tetapi sudah hampir setahun belum dijawab pemerintah. Renca­nanya, Oktober saya akan ke Amerika lagi.

Apa pengaruh langsung dari sorotan internasional itu?

Dengan banyaknya moni­toring bangsa-bangsa lain, ­sa­ya­ berharap pemerintah ge­rah. Ketika saya rajin mencari dukungan ke luar negeri, ba­nyak yang kebakaran jenggot. Artinya, ada orang yang masih ketakutan.

Dalam mengungkap kasus ini, apakah masih suka mendapat teror?

Masih, lewat surat, juga SMS. Saya pernah ditabrak dan pelakunya lari, tapi saya tidak mau paranoid. Pesan ­da­ri me­reka jelas, saya tidak bo­leh mengusut kasus Munirº lagi.

Bagaimana Anda bisa bertahan selama dua tahun?

Saya punya harapan besar agar negeri ini berubah, menjadi negeri yang mencintai HAM dan memberikan keadilan kepada para korban. Dan alasan pribadi­ adalah mencari dalang pembunuhan Munir. Ini karena kecintaan saya pada Munir. Sementara secara ekonomi saya bertahan dengan bekerja di Yayasan Tifa.­ Ini bentuk dukungan konkret dari teman-teman.

Anak-anak sudah bisa menerima kepergian ayahnya?

Saya saja tidak terima, apalagi mere­ka,­ tetapi saya selalu mengingatkan agar realistis kami telah kehilangan. Anak-anak harus menerima kenyataan, Abah ti­dak lagi hadir secara fisik, tapi tetap bisa hadir di hati mereka. Dalam mimpi­ mereka.

Optimis bisa mengungkap dalang pembunuhan Munir?

Kalau tidak optimis, saya sudah menyerah. Saya terus mengobarkan harapan dalam diri sendiri. Saya akan terus­ meminta, menagih, dan menggedor mencari keadilan.

Sampai kapan?

Mungkin sampai mati. Ini sebuah ko­mitmen. Ini adalah pilihan.

Suciwati

Pendidikan: IKIP Malang

Karier:

  • Guru SMA Cokroaminoto, Malang
  • Tenaga peneliti masyarakat dan buruh Ketindan, Malang
  • Tenaga lapangan Divisi Buruh dan Sekretaris LBH Malang
  • Tenaga peneliti upah buruh di Malang
  • Sekretaris program Yayasan Tifa, Jakarta

Penghargaan:

Asia’s Heroes 2005 (majalah Time Asia)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus