Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kematian Munir Said Thalib belum bisa dimengerti Alif Allende, 8 tahun, dan Diva Suukyi, 4 tahun. Suatu hari kedua bocah itu terbangun tengah malam sambil menangis. ”Saya kangen Abah,” kata Alif sambil terisak.
Abah adalah panggilan Alif dan Diva untuk almarhum Munir, ayah mereka, yang tewas diracun, 7 September 2004. Pejuang Hak Asasi Manusia (HAM) itu tewas dalam penerbangan ke Belanda dengan pesawat Garuda Indonesia.
Dua tahun berlalu dan kematian Munir masih berselimut kabut. Sejumlah nama menjadi tersangka, tetapi dalang peristiwa keji tersebut masih berkeliaran bebas. Inilah yang membuat Suciwati, 38 tahun, istri mendiang Munir, tak hendak berpangku tangan.
Sejak 2004, Suci—panggilan akrab Suciwati—menemui tokoh-tokoh teras negeri ini, menuntut pengungkapan kasus secara tuntas. Permintaannya hanya satu: temukan dalang pembunuh Munir. Permintaan yang hingga kini tak bisa dipenuhi.
Tetapi penerima gelar Asia’s Heroes 2005 versi majalah Time Asia ini pantang menyerah. Ia terus menagih meski sejumlah teror mencecarnya. Pekan lalu dia melayangkan gugatan perdata ke maskapai penerbangan Garuda Indonesia. ”Saya ingin anak saya tahu ibunya terus mencari keadilan bagi abahnya,” kata Suciwati kepada Abdul Manan, Cahyo Junaedy, Poernomo Gontha Ridho, dan fotografer Cheppy A. Muchlis dari Tempo, Rabu pekan lalu di Jakarta.
Dalam wawancara selama satu jam itu, sesekali Suci tampak menahan rasa geram melihat lambannya pengungkapan kasus Munir. Selebihnya ia bersikap wajar.
Anda baru saja menggugat Garuda Indonesia secara perdata?
Ya, saya menagih hak-hak konsumen yang seharusnya dilindungi. Seperti dalam kasus Munir. Sebagai seorang konsumen yang membeli tiket Garuda, dia seharusnya mendapat jaminan keamanan, termasuk dalam soal makanannya. Belum lagi ada pemindahan tempat duduk yang tidak sesuai dengan boarding pass.
Target dari gugatan itu?
Kami ingin memperbaiki kinerja Garuda Indonesia. Karena Garuda dibiayai oleh APBN, berarti kita juga ikut membiayai mereka. Seharusnya mereka bisa lebih bagus dalam melayani publik, tapi yang terjadi malah sebaliknya, bahkan ada yang terbunuh di sana. Siapa pun bisa mengalami nasib seperti itu. Karena itu, saya berpikir jangan sampai hal yang sama terjadi pada orang lain.
Kasus Munir sudah dua tahun berjalan, bagaimana proses pengusutannya?
Yang pasti saya akan tetap menagih janji Presiden Yudhoyono. Sejak awal kasus ini, presiden berjanji dan berkomitmen akan mengusut kasus tersebut. Menurut dia, ini adalah tes sejarah bagi bangsa kita. Itu sudah menjelaskan komitmen seorang kepala negara bahwa pembunuhan itu harus diungkap sampai dalangnya.
Sekarang bagaimana komitmen presiden?
Komitmen itu memang masih ada, seperti dibentuknya Tim Pencari Fakta (TPF). Dia terus-menerus menanyakan perkembangan kasus ini kepada kepala Badan Intelijen Negara (BIN), Kapolri, dan Jaksa Agung. Tapi, kita melihat sendiri pengungkapan kasus belum berhasil. Saya melihat upaya mereka belum sepenuh hati, hanya setengah hati.
Sudah bertemu presiden?
Saya mencoba menelepon lewat Andi Mallarangeng. Dia bilang semua sudah ditangani aparat hukum. Jawaban standarlah. Belakangan dia tidak pernah mengangkat ketika saya telepon.
Dengan skala 1 hingga 10, berapa Anda menilai proses pengusutan kasus Munir?
Saya kasih 1. Pemerintah hanya bisa menyelesaikan di tingkat lapangan. Begitu hendak diteruskan ke atas, masih jauh banget. Padahal para tersangka sudah jelas.
Jadi, selama satu tahun terakhir tidak ada kemajuan?
Akan ada kemajuan jika ada tersangka baru. Polisi selama ini terbentur pada sebuah pasal dalam undang-undang, yakni harus ada bukti fisik. Saya tidak mau tahu persoalan hukum itu. Bagi saya yang penting adalah keadilan.
Melihat fakta persidangan dan temuan TPF, Anda menilai sudah mengarah ke dalang sesungguhnya?
Berdasar putusan hakim PN Jakarta Pusat, yang terlibat sudah jelas, yakni Indra Setiawan, Rohaini Aini, Muchdi, dan Yetty. Hakim juga menyatakan adanya pemilik alat komunikasi dengan nomor sekian-sekian, dan itu diakui Muchdi Purwoprajono, Deputi V di BIN. Semua itu kan harus dijawab.
Dengan kata lain, Anda melihat ada yang tak ditelusuri?
Saya melihatnya seperti itu. Polisi pintar dan profesional ketika mengejar teroris, tetapi kenapa dalam kasus Munir mereka tidak bisa? Apa karena dalam kasus terorisme banyak uangnya, sedang kasus Munir tidak?
Anda ingin mengatakan soalnya bukan pada ketiadaan alat bukti?
Bukan. Tetapi karena tidak adanya kemauan. Bila ada kemauan pasti bisa. Sudah mengerucut, kok, siapa dalam pembunuhan Munir.
Ketika Ketua TPF diganti, apakah ada pengaruhnya?
Jelas ada, makanya saya minta untuk dilakukan audit terhadap kepolisian, apa saja yang sudah mereka lakukan. Karena sejak awal saya tidak percaya dan meminta untuk membuat tim independen. Saya tidak pernah percaya pada sistem yang ada. Tiba-tiba, kasus ini dikembalikan ke sistem yang biasa. Ketika Kepala Badan Reserse dan Kriminal (Bareskrim) Markas Besar Kepolisian Indonesia diganti dari Suyitno Landung ke Makbul Padmanegara, hasilnya sama saja. Malah semakin tidak ada kemajuan.
Bukankah sudah ada pemanggilan saksi baru?
Ya, Erry Bunjamin, tapi itu tidak pernah ditindaklanjuti lagi.
Sudah bertemu dengan Kabareskrim?
Sekitar tiga bulan lalu saya bersama Hendardi bertemu Pak Makbul untuk menanyakan perkembangan kasus ini. Katanya, mereka mulai menelusuri saksi-saksi di sekeliling Muchdi. Mereka bilang jangan diekspose dulu, tapi nyatanya diekspose atau tidak, tetap tidak ada hasilnya.
Bagaimana dengan Kapolri?
Tahun lalu pernah bertemu sekali dan dia menyatakan komitmennya, tapi ini sudah setahun tak ada kemajuan. Sekarang berkali-kali saya telepon tidak bisa.
Anda juga bertemu Jaksa Agung—apa yang Anda sampaikan?
Saya meminta Jaksa Agung menelusuri hubungan telepon antara Pollycarpus dan Muchdi, karena itu dimungkinkan undang-undang telekomunikasi, tetapi sampai sekarang itu tidak dilakukan. Bahkan waktu bertemu dia malah bertanya pada bawahannya soal kemajuan kasus Munir. Saya menilai dia tidak memiliki komitmen.
Apa yang Anda desakkan ketika bertemu Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan?
Saya minta MA membuka kembali persidangan karena ada yang dihilangkan. Di tingkat banding disebutkan Polly yang memalsukan surat. Bila ada surat berarti ada dalangnya. Saya minta MA membuka kembali dan memanggil saksi-saksi kunci yang tidak dipanggil dalam persidangan sebelumnya.
Bagaimana dengan Ketua DPR?
Saya pernah meminta tanda tangan Agung Laksono untuk mendukung pengusutan kasus Munir, tapi dia tidak mau. Alasannya, lebih baik membuat surat sendiri. Lagi pula, di DPR sudah ada Tim Munir. Saya kecewa dengan pertemuan itu. Ketika orang Thailand datang dan minta tanda tangan, dia langsung mau. Tetapi dengan orang yang di depan mata, dia menolak.
Bagaimana dengan Komisi III?
Mereka bilang akan memberikan jawaban berupa laporan tim DPR soal kasus Munir. Mereka juga minta bertemu dengan Presiden, tapi sampai sekarang belum ada jawaban.
Sepertinya Anda sibuk menagih janji dari semua orang?
Ya, masih banyak tugas yang harus dilakukan. Soal janji harus ditagih terus. Setiap kali bertemu para elite itu, mereka semua berkata kenal Munir. Mereka bilang akan minta bawahannya melihat kasus ini. Saya merasa tak mendapatkan apa-apa dari pertemuan-pertemuan itu.
Anda juga meminta dukungan dari luar. Kabarnya Anda baru pulang dari Belanda?
Saya ke parlemen Belanda. Sekitar bulan Oktober mereka akan datang ke Jakarta, khusus untuk menanyakan kasus Munir.
Selain Belanda, dukungan lain datang dari mana?
Ada tanda tangan 68 anggota kongres Amerika Serikat mempertanyakan kasus Munir, Oktober tahun lalu. Tetapi sudah hampir setahun belum dijawab pemerintah. Rencananya, Oktober saya akan ke Amerika lagi.
Apa pengaruh langsung dari sorotan internasional itu?
Dengan banyaknya monitoring bangsa-bangsa lain, saya berharap pemerintah gerah. Ketika saya rajin mencari dukungan ke luar negeri, banyak yang kebakaran jenggot. Artinya, ada orang yang masih ketakutan.
Dalam mengungkap kasus ini, apakah masih suka mendapat teror?
Masih, lewat surat, juga SMS. Saya pernah ditabrak dan pelakunya lari, tapi saya tidak mau paranoid. Pesan dari mereka jelas, saya tidak boleh mengusut kasus Munirº lagi.
Bagaimana Anda bisa bertahan selama dua tahun?
Saya punya harapan besar agar negeri ini berubah, menjadi negeri yang mencintai HAM dan memberikan keadilan kepada para korban. Dan alasan pribadi adalah mencari dalang pembunuhan Munir. Ini karena kecintaan saya pada Munir. Sementara secara ekonomi saya bertahan dengan bekerja di Yayasan Tifa. Ini bentuk dukungan konkret dari teman-teman.
Anak-anak sudah bisa menerima kepergian ayahnya?
Saya saja tidak terima, apalagi mereka, tetapi saya selalu mengingatkan agar realistis kami telah kehilangan. Anak-anak harus menerima kenyataan, Abah tidak lagi hadir secara fisik, tapi tetap bisa hadir di hati mereka. Dalam mimpi mereka.
Optimis bisa mengungkap dalang pembunuhan Munir?
Kalau tidak optimis, saya sudah menyerah. Saya terus mengobarkan harapan dalam diri sendiri. Saya akan terus meminta, menagih, dan menggedor mencari keadilan.
Sampai kapan?
Mungkin sampai mati. Ini sebuah komitmen. Ini adalah pilihan.
Suciwati Pendidikan: IKIP Malang Karier:
Penghargaan: Asia’s Heroes 2005 (majalah Time Asia) |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo