Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA 2014 adalah lalu-lintas yang lumpuh total. Klakson bersahutan di tengah jutaan kendaraan yang beringsut siput, rapat menyendat badan jalan. Macet menjulur hingga ke jalan-jalan sempit ranah hunian. Tak sepetak pun tersisa hanya untuk sekadar mengeluarkan mobil dari garasi rumah. ”Itulah hasil kajian konsultan transportasi yang disewa Pemerintah DKI Jakarta,” kata Udar Pristono, Wakil Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta.
Kajian itu menyebutkan, jumlah kendaraan roda empat yang hingga akhir 2004 baru 2 juta unit, sepuluh tahun kemudian sedikitnya mencapai 3 juta unit. Dengan asumsi tiap mobil menyita 15 meter persegi, luas badan jalan di Ibu Kota, yang hanya 45 juta meter persegi, sudah habis tersita. Belum lagi memperhitungkan ratusan ribu mobil yang setiap hari merangsek ke Jakarta dari berbagai penjuru—Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi.
Kemudian tambahkan dengan pertumbuhan jumlah sepeda motor, yang pada akhir tahun lalu sudah 2,5 juta unit. Karena itu, kata Bambang Susantono, Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia, ”Lalu-lintas akan lumpuh sebelum 2014.” Melihat hasil kajian Japan International for Cooperation Agency (JICA), pada 2002 lalu, asumsi Staf Khusus Menteri Koordinator Perekonomian itu tampaknya beralasan.
Jumlah orang hilir-mudik saat ini sudah mencapai 20 juta kali per hari. Jika cakupan diperluas hingga Jabodetabek, angkanya jadi 30 juta. Karena itulah, di beberapa perempatan jalan, seperti di kawasan Tomang, Kuningan, Cawang, Cileduk Raya, dan Ciputat Raya, kemacetan luar biasa sudah pemandangan sehari-hari. Pada jam-jam puncak, 07.00-09.00 dan 17.00-19.00, mobil hanya bisa merayap 10 kilometer per jam.
Kemacetan tak berampun ini harus dibayar mahal warga Jakarta. Ramando Sinaga, staf penjualan PT Garudafood, termasuk yang ”teraniaya” karena sekitar 60 persen jam kerjanya setiap hari dihabiskan dengan berkubang dalam kemacetan. ”Setiap hari saya kehilangan waktu dua jam,” katanya.
Keluhan Ramando sama persis dengan hasil kajian Pusat Penelitian Departemen Pekerjaan Umum. Pada 2004 lembaga pemerintah ini pernah menghitung kerugian waktu dan ekonomi yang ditimbulkan akibat kemacetan di sejumlah kota besar di Indonesia.
Normalnya, kendaraan harus bisa melaju 40-50 km per jam. Tapi kenyataannya, di Jakarta dan Bandung mobil rata-rata hanya bisa mengesot 20 km per jam. Pada jam masuk dan pulang kerja, lebih ”slow motion” lagi: 10 km per jam. Itu sebabnya, ”Setiap orang rata-rata kehilangan dua jam waktu produktif per hari,” ujar Doni Widiantono, pejabat PU yang melakukan penelitian.
Jika dikalkulasi secara ekonomi, kerugian rata-rata setiap penduduk Jakarta Rp 2.300 per hari. Plus biaya pemborosan bahan bakar dan perawatan kendaraan Rp 2.600 per hari, total kerugian Rp 4.900 per hari. Nah, jika dikalikan dengan jumlah hari kerja setahun (250 hari) dan total penduduk Jakarta saat itu yang 8,3 juta jiwa, rata-rata kerugian warga Ibu Kota mencapai Rp 10,4 triliun per tahun. Hampir menyamai APBD DKI Jakarta yang cuma Rp 12,7 triliun.
Dari hal kesehatan, pengorbanan warga Jakarta tak pula sedikit. Kajian Bank Pembangunan Asia pada 2002 menyebutkan, total biaya warga per tahun akibat terserang infeksi saluran pernapasan mencapai US$ 100 juta—atau Rp 900 miliar. ”Belum lagi biaya penyakit lain akibat tingginya polusi kendaraan,” ujar Danang Parikesit, dosen ekonomi transportasi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Bukan tak pernah ada upaya pembenahan. Setidaknya sudah 12 kali pengkajian pembenahan transportasi sejak 1978. Dua yang kini dijadikan acuan, yakni Study on Integrated Transportation Master Plan (SITRAM) 2000-2004, yang mencakup sistem transportasi Jabodetabek, dan studi Pola Transportasi Makro (PTM) 2003, yang khusus mengkaji transportasi Jakarta.
Konsep SITRAM lebih mengutamakan penguatan sistem transportasi massal berbasis rel. Jaringan kereta api diperkuat dan dibuat mengelilingi Jakarta. Jaringan kereta dari luar menuju Jakarta juga diperkuat. Menurut Gubernur DKI Jakarta, Sutiyoso, bila konsep megapolitan sudah berjalan, sistem transportasi massal akan menghubungkan Jakarta dengan Bogor dan Depok di selatan, serta Tangerang dan Bekasi di barat dan timur.
Tapi, persoalannya, kata pengamat transportasi Darmaningtyas, ”Konsep transportasi megapolitan masih sulit diterapkan karena tiap daerah mau jalan sendiri-sendiri.” Upaya Bappenas yang sudah memfasilitasi pertemuan pun tak kunjung membuahkan hasil. Padahal, tanpa konsep menyeluruh, penataan transportasi Jakarta hanya akan berjalan sepotong-sepotong.
Apa boleh buat, upaya pembenahan oleh pemerintah DKI Jakarta saat ini baru sebatas pengembangan Pola Transportasi Makro Jakarta. Pola ini mengintegrasikan empat basis transportasi, yakni mass rapid transit (subway), light rapid transit (monorel), bus rapid transit (busway), serta angkutan sungai dan penyeberangan.
Sebagai langkah awal, dua tahun lalu Sutiyoso mulai membangun jalur busway koridor I yang menghubungkan Blok M-Kota. Tahun lalu dibangun lagi dua koridor, yakni Kalideres-Harmoni dan Harmoni-Pulogadung. Untuk tahun ini, empat koridor dibangun sekaligus sehingga makin merayakan kemacetan. Tahun depan masih akan dibangun tiga koridor lagi.
Total hingga 2010, ditargetkan bisa dibangun 15 koridor di seluruh Jakarta. ”Kami memilih busway untuk tahap awal karena paling memungkinkan dari sisi biaya,” ujar Sutiyoso. Namun, selain busway, Jakarta juga sedang membangun monorel. Jika dananya lancar, dia menjanjikan jalur hijau, yang dianggap sebagai jalur gaul karena melalui mal-mal, sudah bisa beroperasi tahun depan.
Pada 2010, monorel jalur biru sebagai penghubung barat-timur, yakni Kampung Melayu-Mal Taman Anggrek, ditargetkan sudah beroperasi. Begitu pula dengan proyek subway yang menghubungkan selatan-utara, yakni Lebak Bulus-Dukuh Atas. ”Nantinya Dukuh Atas akan menjadi stasiun terpadu tempat pertemuan subway, busway, monorel, dan angkutan sungai,” kata Sutiyoso.
Pertanyaannya: maukah para pengendara mobil pribadi beralih ke angkutan massal? Sejumlah ”jurus paksa” tampaknya sudah disiapkan. Salah satunya, areal parkir di jalan protokol akan dihapus dan tarif parkir di gedung dalam kota bakal dipatok mahal. Sebagai pengganti, akan dibangun pusat-pusat parkir di pinggiran Jakarta. Pembatasan juga akan dilakukan lewat pungutan ongkos terhadap mobil pribadi yang melewati jalan utama di sepanjang jalur monorel.
Heri Susanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo