Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

Mengapa Kita Tidak Bisa Memberantas TBC?

Wawancara Christos Christou, Presiden Internasional Dokter Lintas Batas (MSF). Baru 30 persen anak Indonesia terdiagnosis TBC.

23 Juli 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TUBERKULOSIS atau TBC menjadi penyakit tertua di Indonesia. Relief di Candi Borobudur mencatat penyakit ini sudah ada sejak abad ke-8 Masehi. Sejak saat itu, TBC tak kunjung bisa diberantas. Menurut Global Tuberculosis Report 2022 dari Badan Kesehatan Dunia (WHO), Indonesia menjadi negara kedua tertinggi yang penduduknya terjangkit bakteri tuberkulosis. India berada di urutan pertama. Pada 2022, dari 969 ribu kasus, 11 orang meninggal setiap jam akibat TBC.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Christos Christou, Presiden Internasional Dokter Lintas Batas atau Médecins Sans Frontières (MSF), menilai pemerintah Indonesia menghadapi problem serius dalam menangani TBC. Soalnya, dia menjelaskan, diagnosis dokter baru mendeteksi 30 persen anak-anak yang menderita penyakit ini. Untuk mengetahui suatu penyakit dan cara menanganinya, dokter yang lahir di Trikala, Yunani, ini menyarankan perlunya lebih banyak deteksi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bagi Christou, perubahan iklim membuat tantangan kesehatan masyarakat makin berat. Bencana dan perubahan lingkungan yang ekstrem membuat penyakit makin marak. Pandemi Covid-19 terjadi karena perpindahan virus dari hewan ke manusia (zoonosis) akibat krisis iklim. Dia menyoroti pentingnya kesiapan kesehatan dalam tanggap bencana, terutama bagi negara rawan bencana seperti Indonesia.

Saat berkunjung ke Indonesia pada awal Juli lalu, Christou bertemu dengan wakil pemerintah Indonesia dan negara anggota Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN). "Kami sampaikan dua isu penting: tanggap darurat terhadap bencana alam dan orang-orang yang berpindah, khususnya Rohingya," katanya kepada wartawan Tempo, Iwan Kurniawan, Abdul Manan, dan Purwani Diyah Prabandari, di Jakarta, Senin, 10 Juli lalu.

Dokter bedah yang pernah bekerja di berbagai daerah konflik itu melihat pengungsi telah menjadi fenomena global dan angka kasusnya akan terus meningkat di masa mendatang. Tak hanya disebabkan perang, dampak perubahan iklim yang memicu cuaca ekstrem pun membuat migrasi tak terhindarkan. Penduduk negara-negara selatan yang miskin dan mengalami kekeringan lebih rentan akibat bencana alam.

Dalam percakapan sekitar satu setengah jam, Christou juga membahas kondisi pengungsi Rohingya di Bangladesh serta konflik di Ukraina dan Palestina.

Apa masalah kesehatan masyarakat di Indonesia yang Anda lihat?

Tuberkulosis. Pemerintah memang punya banyak obat, tapi obatnya sudah sangat tua. Saat ini banyak obat yang menjanjikan dan vaksin. Tapi masalahnya adalah diagnosis. Kita hanya bisa mendiagnosis kurang dari 30 persen anak-anak. Kita tidak tahu di mana yang lain dan kita tidak memiliki alat diagnosisnya. Kita buta terhadap penyakit ini. Jika tidak tahu siapa yang bermasalah, kita tidak bisa memberantas tuberkulosis, terutama yang kebal terhadap berbagai obat.

Belum ada obat baru?

Kami telah menjalankan uji klinis obat TBC. Kami telah melihat obat baru yang dapat dikembangkan. Sekarang sudah ada obat baru dalam daftar WHO (Badan Kesehatan Dunia) yang lebih aman dan lebih singkat untuk tuberkulosis yang kebal terhadap berbagai obat.

(TB-PRACTECAL, uji klinis yang dipimpin MSF, telah menemukan regimen obat baru TBC yang lebih aman dan efektif untuk mengobati tuberkulosis yang kebal terhadap rifampisin, obat TBC lini pertama yang paling efektif. Bila orang terkena TBC yang kebal terhadap rifampisin atau obat TBC lain, ia memerlukan obat TBC lini kedua. MSF mengembangkan obat untuk lini kedua ini.)

Indonesia sudah punya program untuk menyembuhkan penderita TBC?

Baru 30 persen anak yang terdiagnosis. Anda perlu mendiagnosis lebih banyak anak. Memang ada obat baru, tapi kita punya masalah karena obat ini dilindungi oleh paten dan paten itu akan kedaluwarsa sekarang. Obat tersebut berasal dari Inggris. Salah satunya punya Johnson & Johnson. Sekarang mereka berusaha memperpanjang dan memperluas paten ini untuk mendapatkan monopoli atas paten obat ini selama dua tahun lagi, hingga Desember 2027. Indonesia dan negara lain di kawasan ini perlu meminta pengecualian. Negara-negara ini sangat terbebani penyakit ini sehingga berhak meminta pengecualian. Kita membutuhkan obat murah yang tersedia untuk semua orang.

Selain TBC, problem kesehatan apa lagi yang ada di Indonesia?

Penyakit tidak menular, diabetes. Penderitanya membutuhkan insulin. Setiap orang membutuhkan akses layanan medis dasar. Jika tidak, Anda tidak dapat benar-benar mengatasi masalah ini. Yang lain adalah penyakit yang berhubungan dengan perubahan iklim. Kita harus lebih waspada dan lebih memantau serta mengembangkan alat diagnostik. Kita tentu perlu menjamin kebersihan air di semua tempat untuk mencegah datangnya penyakit lain.

Kabarnya MSF mau membangun pusat darurat bencana di sini?

Saya tahu Anda punya banyak pengalaman sehingga peran kami di sini lebih sebagai pelengkap. Tapi program ini juga bertujuan mengubah pola pikir dan mental kita agar bersiap sebelum bencana terjadi dan memahami apa area utama yang perlu kita siapkan bersama. Misalnya, saat terjadi bencana, kita perlu banyak berfokus pada aspek kesehatan dan dukungan psikososial. Kita perlu memahami bagaimana menanggapi korban massal, ketika orang berbondong-bondong datang ke rumah sakit. Kita punya rencana darurat untuk rumah sakit, memahami bagaimana merawat pasien, serta siapa yang harus dirawat lebih dulu dan atas alasan apa. Kami juga membangun sebagian besar data dan menggunakan sistem informasi teknologi geografi yang tersedia saat ini. Kami punya satelit. Kami punya segala hal yang dapat membantu kita memahami dengan tepat seberapa besar masalahnya, apa bencananya, dan apa yang diharapkan.

Apa yang dilakukan di pusat bencana ini?

Ada beberapa bidang utama siaga bencana yang kami sediakan melalui pelatihan. Tapi kami tidak bisa berada di semua lokasi. Banyak pulau di sini. Jadi kami mulai dengan beberapa daerah dan kami melihat bagaimana kelanjutannya. Kami berharap ada lebih banyak lagi yang ikut serta. Ini baru permulaan, tapi kadang-kadang hal-hal begini berkembang sangat cepat dan makin banyak permintaan untuk pelatihan. Kami di sini untuk menanggapi permintaan itu.

Komunitas apa yang Anda latih?

Berbasis rumah sakit. MSF telah menggelar enam pelatihan di Serang, Banten, sejak Desember tahun lalu karena sudah meneken nota kesepahaman dengan Pemerintah Provinsi Banten. MSF juga bekerja sama dengan Pusat Krisis Kesehatan Kementerian Kesehatan, Ikatan Dokter Indonesia, dan Muhammadiyah Management Center.

Apa bedanya penanggulangan bencana di Indonesia dengan di negara lain?

Tidak ada bedanya. Tantangannya selalu berupa koordinasi. Kami melihat itu dalam berbagai bencana, entah bencana alam entah bencana buatan manusia. Kadang-kadang kami melihat banyak sekali organisasi, aktor-aktor lain, atau masyarakat sipil yang sangat ingin membantu tapi tidak tahu persis apa yang harus dilakukan. Ini cenderung mudah menjadi "sirkus".

Anda merekrut dokter lokal?

Ya. Tingkat kompetensi tenaga kesehatan Indonesia sangat bagus. Kami membutuhkan orang Indonesia untuk membantu kami di sini dalam mengembangkan pelatihan dan tanggap bencana, sama seperti kami membutuhkan orang Indonesia untuk bergabung dengan kami di tempat lain, seperti yang saya temui di Yaman bulan lalu. Dia orang Indonesia, dia di MSF.

Berapa banyak orang Indonesia di MSF?

Sekitar seratus orang. Mereka bergerak secara internasional di berbagai tempat di seluruh dunia. Dalam proyek-proyek di sini mereka kebanyakan orang Indonesia, seperti dokter, perawat, dan pekerja bagian logistik.

Omong-omong, Anda berpengalaman di wilayah konflik. Bagaimana pengungsi Rohingya di Bangladesh?

Situasinya mengerikan. Ada kamp besar dan mereka bahkan tidak diizinkan keluar. Mereka tidak dapat mencari nafkah. Mereka tidak dapat bekerja. Mereka punya keluarga. Mereka punya anak-anak yang tidak pernah melihat dunia luar. Mereka bahkan tidak mendapat pendidikan. Tidak ada layanan medis selain yang kami sediakan: kami punya klinik dan beberapa klinik keliling. Sekadar indikasi, saat ini lebih dari 70 persen orang di sana mengidap penyakit kulit, kudis, yang, lagi-lagi, sangat mudah diidap bila tidak ada sanitasi yang baik.

Apa yang kemudian Anda lihat? Frustrasi, kekerasan, senjata, prostitusi, dan apa pun yang dapat Anda bayangkan ada di sana. Air dan sanitasi merupakan tantangan besar bagi MSF dan juga segala sesuatu yang berhubungan dengan penyakit menular dan tidak menular. Insulin adalah masalah lain. Bagi organisasi lain, mungkin isunya soal jamban dan bagaimana mereka bisa menyediakan fasilitas dasar.

Ada 1 juta orang di sana. Tentu beberapa dari mereka berpikir untuk pulang ke Myanmar, seperti gagasan yang muncul saat ini, solusi dari pemerintah Bangladesh adalah repatriasi sukarela. Tapi bagaimana mereka bisa pulang ketika tidak tahu persis seperti apa situasinya nanti? Itulah yang kami sampaikan: biarkan kami setidaknya punya akses lebih banyak terhadap orang-orang di Rakhine, misalnya, dan melakukan perbaikan untuk membuat situasi di sana lebih menarik bagi orang-orang ini untuk kembali.

Ada masalah keamanan jika mereka kembali?

Soal keamanan, tidak ada seorang pun di organisasi medis yang dapat menjamin. Yang bisa kami jamin sekarang adalah, kalau punya akses, kami bisa menjamin kondisi hidup di sana bisa diperbaiki dan mereka punya akses layanan kesehatan dasar.

Jadi tergantung kemauan politik pemerintah Myanmar?

Sebagai Presiden MSF, saya tidak tahu seperti apa solusi dari sudut pandang politik dan bagaimana pemerintah de facto di Myanmar harus terlibat dengan siapa dan siapa yang harus memimpin itu. Yang saya lihat, tidak ada yang terlibat secara serius dalam menangani Rohingya.

Bagaimana kondisi Rohingya dibanding pengungsi lain?

Sama. Entah itu di Cox's Bazar, Bangladesh, entah di Yunani, negara saya, situasinya kurang-lebih sama. Mereka tidak memiliki akses kebutuhan dasar. Mereka tidak memiliki akses pendidikan. Anak-anak tumbuh dalam tekanan. Perempuan menjadi yang paling rentan. Laki-laki putus asa dan mulai melakukan lebih banyak kekerasan. Begitulah polanya. Dunia penuh dengan masalah dan solusinya tidak dapat diberikan oleh organisasi medis. Mereka hanya berusaha meringankan penderitaan masyarakat dan mengobati rasa sakit, tapi mereka tidak dapat memberikan solusinya. Solusinya selalu politik.

Kalau Ukraina, Anda memantaunya?

Kami ada di semua negara, terutama di wilayah timur dan tenggara Ukraina, tempat sebagian besar konflik terjadi sekarang. Kami memprioritaskan kebutuhan mereka yang lebih rentan, tapi bukan kombatan. Mereka adalah orang tua, anak yatim, dan warga sipil lain yang tidak bersalah. Kami juga mengevakuasi mereka dari daerah itu ke sisi yang lebih aman, yaitu sisi barat Ukraina.

Kami punya klinik bergerak yang siap ke mana pun saat ada area baru yang bisa kami akses. Tidak mudah mengakses daerah-daerah yang diduduki tentara Rusia, tapi kami tetap bernegosiasi dengan mereka. Tidak banyak kemajuan. Tapi kami terus berusaha karena kami telah hadir di wilayah ini bertahun-tahun lalu, bahkan sebelum 2014, ketika perang dimulai. Sekarang eskalasinya naik dan kami harus menarik diri dari beberapa daerah. Kami tidak bisa masuk ke sana karena Rusia mendudukinya dan Rusia tidak mengizinkan kami mengakses tempat-tempat ini. Ketika daerah itu diambil alih tentara Ukraina, kami bisa masuk dan membantu lebih banyak orang.

Presiden Internasional MSF Christos Christou mengunjungi kamp Moria di Lesbos untuk melihat situasi para pencari suaka dan pengungsi yang terjebak di kepulauan Yunani/Anna Pantelia/MSF

Mengapa Rusia menolak MSF?

Saya pikir MSF masih dianggap sebagai organisasi negara Barat. Padahal kami tidak begitu. Tapi mungkin secara historis kami bermula di Eropa, yang membuat mereka dan mungkin rezim lain di dunia memandang kami sebagai organisasi yang tidak netral. Situasi Ukraina sangat kompleks dan tidak bisa segera selesai. Sudah 500 hari sejak perang pecah dan terus berlanjut. Sekarang kami menyaksikan makin banyak warga sipil yang menjadi korban utama.

Selain Rohingya dan Ukraina, konflik di Palestina juga meningkat. Anda melihatnya seperti apa?

Kami juga kaget. Palestina hancur dengan tingkat kekerasan yang dilakukan oleh tentara Israel. Bahkan mereka menyerang rumah sakit kami. Ini bukan sesuatu yang baru. Tapi saya pikir komunitas internasional saat ini tidak punya alasan untuk menonton saja. Mereka perlu, entah bagaimana, berusaha mencari solusi atas akumulasi kebencian yang ada di sana. Itu membuat saya merasa tidak optimistis untuk (melihat perubahan dalam) waktu dekat ini.


Christos Christou

Pendidikan:

  • Sarjana Fakultas Kedokteran Aristotle University of Thessaloniki, Yunani
  • Magister Manajemen Krisis Kesehatan Internasional, Kapodistrian University of Athens, Yunani
  • PhD bidang bedah, Kapodistrian University of Athens, Yunani

Pekerjaan:

  • Tenaga bedah umum dan darurat di Unit Bedah dan Transplantasi Evangelismos Hospital, Yunani
  • Fellow Klinis Senior Bedah Kolorektal King’s College Hospital, Inggris, 2013
  • Konsultan Bedah Kolorektal dan Darurat North Middlesex University Hospital, Inggris, 2018
  • Fellow of the European Board of Surgery in Coloproctology, 2018

Peran di Dokter Lintas Batas (MSF):

  • Dokter lapangan di Yunani, 2002-2003
  • Dokter dalam proyek HIV/AIDS di Zambia, 2004-2005
  • Dokter di sejumlah zona konflik, termasuk Sudan Selatan, Irak, dan Kamerun, sejak 2013
  • Presiden Dewan Direksi MSF, 2005
  • Presiden Internasional MSF, 2009-sekarang

Apa masalah kesehatan terbesar di sana?

Trauma. Banyak trauma. Trauma ortopedi (cedera fisik) dan inilah yang kami tangani. Banyak korban setiap hari. Kami harus mengeluarkan peluru dari tubuh prajurit Palestina. Mereka ditembak, tapi tidak dibunuh. Seperti yang Anda lihat, mereka tentu saja banyak yang terbunuh. Tapi yang tidak Anda lihat adalah berapa banyak pasien yang terluka dan harus diamputasi, yang ditembak secara sistematis. Juga kekerasan. Tempat ini sangat terisolasi. Mereka tidak punya akses pengobatan esensial dan layanan kesehatan primer.

Bagaimana dengan Gaza?

Gaza adalah penjara terbesar di dunia. Tidak mudah mendapatkan obat yang Anda butuhkan. Orang-orang terlihat lelah, begitu pula tenaga kesehatan. Ada akumulasi keputusasaan dan kami tidak bisa menjanjikan apa-apa. Solusinya seharusnya diberikan sejak dulu. MSF berusaha membantu dan terkadang juga menjadi suara yang tidak berguna.

Palestina merasa ditinggalkan oleh negara-negara Barat. Apa benar?

Dalam hal politik mereka mungkin merasa tidak ada yang peduli terhadap mereka. Memang benar bahwa begitu banyak krisis yang terabaikan atau tak dilaporkan di seluruh dunia saat ini karena minat terfokus pada Ukraina. Bukan hanya minat, tapi juga uang dan dukungan. Semuanya mengalir ke sana dan tempat-tempat lain terabaikan. Mengapa? Tampaknya karena alasan politik.

Berkaitan dengan perang dan krisis iklim, apakah akan lebih banyak pengungsi di masa depan?

Dua tahun lalu ada 60 juta dan sekarang seratusan juta pengungsi. Siapa yang tahu berapa banyak yang akan jadi pengungsi tahun depan? Orang-orang dari seluruh dunia sekarang melarikan diri untuk mencari selamat dan tidak ada yang akan dapat menghentikan mereka. Mereka tidak peduli jika Anda memblokade mereka. Mereka akan menemukan alternatif cara untuk menembusnya. Jalannya akan menjadi lebih berisiko dan akan membahayakan keluarga mereka, tapi mereka tak merasa rugi. Jadi lihatlah dunia yang menjadi begitu tidak adil dan lihat betapa putus asanya mereka untuk melarikan diri.

Apa yang dunia lakukan? Apakah kita bersatu dalam solidaritas? Apakah kita mengutamakan kemanusiaan? Atau kita mencoba bersembunyi di balik benteng kecil kita dan berpikir bahwa dengan melakukannya Anda akan terlindungi dan aman serta memberikan solusi untuk masalah tersebut. Kita tahu bahwa dari tempat-tempat seperti Amerika Serikat atau Uni Eropa, tidak ada solusi yang bisa dibuat dengan membangun benteng semacam itu

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Kita Tidak Bisa Memberantas TBC"

Iwan Kurniawan

Iwan Kurniawan

Kini meliput isu internasional. Sebelumnya menulis berbagai topik, termasuk politik, sains, dan seni. Pengasuh rubrik Pendapat dan kurator sastra di Koran Tempo serta co-founder Yayasan Mutimedia Sastra. Menulis buku Semiologi Roland Bhartes (2001), Isu-isu Internasional Dewasa Ini: Dari Perang, Hak Asasi Manusia, hingga Pemanasan Global (2008), dan Empat Menyemai Gambut: Praktik-praktik Revitalisasi Ekonomi di Desa Peduli Gambut (Kemitraan Partnership, 2020). Lulusan Filsafat Universitas Gadjah Mada.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus