Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Arus modernisasi mengubah hidup masyarakat adat Masewo.
Masyarakat adat berupaya mempertahankan adat istiadatnya dengan membuat pelbagai kebijakan.
Salah satunya peraturan desa untuk melindungi hutan adat mereka.
DALAM bahasa Indonesia, masewo berarti “kesayangan”. Masewo adalah nama desa di tengah kawasan hutan primer di Sigi, Sulawesi Tengah. Berada di ketinggian 1.200 meter dari permukaan laut, Desa Masewo berlokasi di Kecamatan Pipikoro, bersebelahan dengan Taman Nasional Lore Lindu. Sebanyak 60 keluarga masyarakat adat Masewo menahan gempuran modernisasi dengan mempertahankan adat dan tradisi leluhur.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perjalanan menuju Masewo memakan waktu lebih dari empat jam menggunakan kendaraan roda dua dari Gimpu. Ini desa terakhir yang bisa dijangkau dengan mobil. Jaraknya 100 kilometer dari Kota Palu, ibu kota Sulawesi Tengah. Di bawah panas terik matahari awal Juli lalu, saya bersama Florensius Bawu, seorang pegiat lingkungan dari Karsa Institute, memacu sepeda motor yang dimodifikasi menyerupai sepeda motor trail.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Florensius sudah lama menjadi pendamping masyarakat adat Masewo. Akhir 2019, ia mengantarkan masyarakat Masewo mendapatkan pengakuan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan atas hutan adat mereka seluas 829 hektare. Ia juga giat mendorong masyarakat adat mengorganisasi diri agar bisa mempertahankan tradisi dan aturan adat dalam pengelolaan desa.
Kaki laki-laki 45 tahun ini seperti punya mata yang hidup. Matanya juga awas terhadap medan jalan menuju Masewo yang naik-turun, berbatu, licin, dengan jurang di kanan-kirinya. Tapi Florensius seperti tak memakai tenaga untuk memutar gas sepeda motor. “Kadang saya sendirian ke Masewo malam-malam,” katanya, ketika kami beristirahat.
Desa Masewo pada tahun 2015 (kiri), dan Suasana Desa Masewo, 4 Juli 2023/masewo.files.wordpress.com, Tempo/ Erwan Hermawan
Setelah melewati tiga desa lain dari Gimpu, menembus puluhan jembatan kayu yang rapuh, mengarungi sungai besar dan kecil, kami tiba di Masewo. Menurut Florensius, dari Gimpu ada ojek bertarif Rp 600 ribu pulang-pergi. Tapi jarang ada yang memakai jasa pengojek karena medannya sulit
Desa Masewo berada di area penggunaan lain. Desa ini bagian dari masyarakat adat Topo Uma yang mendiami dataran tinggi Pipikoro. Menurut Florensius, Topo Uma adalah sebutan untuk warga Pipikoro dalam bahasa Kulawi dengan dialek uma.
Meski terpencil dan merupakan tempat masyarakat adat tinggal, Masewo seperti desa pada umumnya. Rumah-rumah penduduk sudah permanen, berdinding bata, serta beratap asbes. Dari puluhan rumah, tinggal tiga unit yang masih mempertahankan bangunan lama: panggung dengan atap, dinding, dan lantai terbuat dari kayu.
Menurut Florensius, perubahan di Masewo terjadi sejak dana desa pertama kali cair pada 2015. Para pendamping program dana desa menganggap rumah-rumah panggung khas Masewo tidak layak huni sehingga perlu direnovasi dan diganti dengan batu bata serta semen. “Pertama kali saya ke sini 2013,” tutur Florensius. “Semua rumah masih tradisional, semua masih panggung.” Ia lalu menunjukkan foto Desa Masewo tahun itu.
Dari tiga rumah panggung yang tersisa, salah satunya milik Semuel Bodja, Kepala Desa Masewo. Rumah yang dibangun pada 1992 itu masih berdiri tegak ditopang banyak tiang, meskipun melapuk di sana-sini. Semuel tak tertarik merenovasi rumah warisan orang tuanya itu. Ia yakin rumah kayunya tahan gempa dibanding rumah tembok. “Orang tua dulu pasti punya alasan bikin rumah seperti ini,” ujar pria 53 tahun itu.
Desa Masewo dilalui oleh Sesar Palu Koro. Sesar ini yang memicu gempa magnitudo 7,4 yang meluluhlantakkan Palu, Sigi, dan Donggala pada 2018. Lebih dari 2.000 orang meninggal karena gempa yang memicu tsunami dan likuefaksi itu. “Kami di sini beruntung karena tidak terkena dampak gempa,” ucap Semuel.
Sebagai kepala desa, Semuel berencana membangun kembali pengkoto atau rumah adat. Rumah-rumah adat Masewo sudah lama musnah karena dibakar gerombolan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia pengikut Kahar Muzakkar pada 1960-an. Pengkoto sama dengan lobo atau rumah adat daerah lain di Sulawesi Tengah. Bentuknya prisma segitiga dengan fondasi terbuat dari gelondongan kayu keras yang ditumpuk. Lobo tidak memakai paku. Penyambung kayu adalah rotan.
Pekerjaan penduduk Masewo umumnya berkebun kakao serta bertani padi ladang dan sawah. Rata-rata setiap penduduk memiliki kebun atau ladang lebih dari 5 hektare. Sebelum penetapan hutan adat, pemerintah menggolongkan penduduk desa sebagai perambah hutan karena membuka kebun dan ladang di kawasan hutan negara.
Ketua Masyarakat Adat Masewo, Yermia Bodja, mengatakan penduduk tak sembarangan membuka lahan karena ada beberapa wilayah yang tidak boleh dijadikan ladang atau kebun menurut aturan adat. Contohnya koolo kanakuhe. Yermia mengatakan koolo merupakan daerah keramat karena mereka percaya di situlah tempat leluhur tinggal.
Topografi koolo biasanya lereng curam dengan hutan lebat. Selain keramat, koolo merupakan sumber air sehingga, jika penduduk menebang pohonnya, desa akan mengalami kekeringan. “Kalau dibuka juga bisa longsor,” kata Yermia. Dengan keyakinan itu, masyarakat adat patuh pada aturan.
Jika ada penduduk desa yang melanggar aturan itu, hukumannya cukup berat. Menurut Yermia, sanksinya adalah denda satu ekor kerbau serta 13 mpole—baki yang terbuat dari kuningan untuk menyajikan makanan bangsawan di Masewo. Satu mpole bisa diganti dengan uang Rp 600 ribu.
Dalam pengelolaan hutan, masyarakat menerapkan pola berladang gilir balik. Mereka akan kembali ke titik awal pengolahan lahan setelah lima tahun. Dalam lima tahun itu, mereka berpindah-pindah. Pola berladang seperti itu yang membuat pemerintah menggolongkan penduduk adat sebagai perambah. Kini, setelah hutan adat diakui, penduduk akan menetap dalam pengelolaan hutan di wilayah mereka.
Pemerintah desa tengah menyusun peraturan untuk melindungi sumber daya alam di dalam kawasan hutan adat Masewo. Semuel Bodja mengatakan peraturan desa ini bertujuan mencegah perambahan hutan oleh orang di luar Masewo. “Kami sedang bikin aturannya,” ujarnya.
Perekonomian masyarakat Masewo bertumpu pada perkebunan kakao. Adapun padi ladang dan sawah hanya dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Yusup Warani, warga Masewo, menjadi penanam kakao pertama pada 1992. Sebelum kakao ia bawa dan kenalkan di Masewo, penduduk desa menanam cengkih dan kopi.
Penduduk Masewo mulai mengikutinya beralih menanam kakao setelah mengetahui harga jualnya lebih tinggi dibanding kopi ataupun cengkih. Penduduk menebang pohon cengkih dan kopi, menggantinya dengan kakao. “Pohon kopi masih ada, tapi tidak banyak,” ucap Yusup.
Saat ini harga kakao kering dibanderol para tengkulak di Gimpu Rp 45 ribu per kilogram. Menurut Florensius Bawu, setiap keluarga di Masewo menghasilkan 50-70 kilogram kakao kering per bulan. Artinya, pendapatan penduduk Masewo mencapai Rp 2-3 juta sebulan.
Uang sebesar itu digunakan untuk berbagai keperluan, termasuk membeli peralatan listrik. Semuel menyisihkan dana desa Rp 800 juta untuk membangun pembangkit listrik tenaga mikrohidro (PLTMH) pada 2021 berkapasitas 30 ribu watt. Setelah sepuluh bulan pembangunan, desa ini terang oleh bohlam.
Hidup masyarakat adat Masewo berubah sejak itu. Penduduk membeli televisi, setrika, kulkas, juga penanak nasi. Semuel mengatakan banyak ibu rumah tangga beralih menggunakan penanak nasi elektronik, meninggalkan kayu bakar. Masyarakat desa tak perlu lagi menyalakan obor jika hendak bertamu ke rumah tetangga pada malam. “Dampaknya, penebangan kayu berkurang,” katanya.
Peralatan elektronik lain yang mulai masuk Masewo adalah telepon seluler. Kementerian Komunikasi dan Informatika membangun menara pemancar atau base transceiver station (BTS) setinggi 32 meter di Masewo. BTS ini merupakan bagian dari 4.000 menara BTS proyek Kementerian Komunikasi senilai Rp 10 triliun yang belakangan bermasalah karena diduga anggarannya dikorupsi.
Samuel mengatakan sinyal BTS sempat berfungsi selama dua bulan meskipun lelet. Sinyal hanya bisa digunakan untuk mengirim pesan WhatsApp. Di luar urusan itu, dia menambahkan, Internet tak bisa dipakai. Meski begitu, ia bersyukur karena sinyal seluler membuat ia dan penduduk desa bisa berkomunikasi dan mengetahui perkembangan dunia luar. “Setidaknya jika membuat laporan ke kabupaten saya tak perlu turun ke Gimpu,” tutur Semuel.
Ia berharap sinyal Internet kembali menyala karena penduduk merasakan banyak manfaatnya. Ia mencontohkan, momen acara adat seperti syukuran panen raya bisa diunggah ke media sosial sehingga menarik wisatawan berkunjung ke desa. “Kami punya banyak acara adat,” ucap Semuel. “Akan bagus jika orang luar tahu.”
Pemerintah desa juga mencoba menghidupkan kembali kerajinan pembuatan kain kulit kayu di Masewo yang vakum selama dua dekade. Para ibu antusias menghidupkan kembali tradisi leluhur mereka. “Saya terakhir membuat kain kulit kayu sekitar tahun 2000,” ujar Olif Odi, 52 tahun.
Olif mengatakan jumlah kain kulit kayu di Masewo tinggal dua lembar saja. Penduduk menjual atau menukar kain kulit kayu dengan selimut dari katun. “Saya menukarnya dengan pakaian adat Sulawesi Tengah,” kata Olif. “Padahal lebih hangat jika memakai kain kulit kayu ketimbang selimut biasa.”
Base Transceiver Station (BTS) yang dibangun Kementerian Komunikasi dan Informatika di Masewo, 4 Juli 2023/Tempo/ Erwan Hermawan
Satu lembar kain kulit kayu Masewo biasanya berukuran 4 meter persegi. Kain ini terbuat dari kulit kayu sejenis pohon beringin. Proses membuat kain memakan waktu sebulan. Caranya adalah 50 kulit kayu disusun secara tumpang-tindih, kemudian dipukul-pukul dengan tujuh jenis alat pukul.
Sebelum dipukul, Olif menerangkan, kulit dibersihkan serta direbus menggunakan abu kayu agar lunak. Setiap alat pukul memiliki gerigi dengan tingkat kehalusan berbeda. Olif mengaku membutuhkan waktu seminggu untuk memukul-mukul kulit kayu sampai menjadi kain. Setelah itu, ia memberinya pewarna alami, biasanya cokelat, untuk menegaskan warna kayu.
Florensius Bawu mengatakan kain kulit kayu juga bisa menjadi bahan kerajinan lain, seperti tas atau dompet. Namun, dia menambahkan, ada hambatan utama dalam soal pemasaran kain kulit kayu. Karena itu, ia berharap pemerintah turut membantu membuka akses ke pasar nasional. “Caranya memaksimalkan acara-acara adat agar makin dikenal orang luar,” ucap Samuel Yansen Pongi, Wakil Bupati Sigi.
Dengan terbukanya akses ke dunia luar, adat desa Masewo akan makin dikenal. Dengan begitu, Florensius berharap semua orang menyayangi adat dan tradisi Masewo yang unik. Seperti namanya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Desa Kesayangan di Sesar Palu Koro"