Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Mengapa Proyek Terminal Gas PGN Mangkrak

Terminal LNG Teluk Lamong di Surabaya kini mangkrak. Ada potensi kerugian negara di atas Rp 300 miliar. 

23 Juli 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Proyek Terminal LNG Teluk Lamong mangkrak.

  • BPK menilai PGN salah menghitung proyek.

  • PGN diminta melaporkan potensi kerugian negara kepada penegak hukum.

TERMINAL gas alam cair atau liquefied natural gas (LNG) Teluk Lamong seharusnya bisa beroperasi penuh tahun ini. Tapi, kenyataannya, instalasi pengolahan gas di Jalan Raya Tambak Osowilangun Kilometer 12, Surabaya, ini mangkrak. Akses menuju proyek itu pun ditutup dengan pagar.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Padahal sejumlah fasilitas utama, seperti terminal regasifikasi darat (onshore regasification unit/ORU), depot pelayanan pembelian gas skala kecil (filling station), serta pipa tangki kriogenik, sudah selesai dibangun. Hal ini terlihat dari video yang diunggah PT PGAS Solution, anak usaha PT Perusahaan Gas Negara Tbk atau PGN, di kanal YouTube pada 7 Juli 2020. Tapi belum ada kejelasan mengapa instalasi penting ini tak kunjung beroperasi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Juru bicara Terminal Pelabuhan Teluk Lamong, Putri Eka, mengaku tidak tahu mengapa proyek ini berhenti. “Tahun, bulan, dan lainnya saya tidak tahu," ujarnya pada Kamis, 20 Juli lalu. Putri hanya menjelaskan akses masuk ke proyek ORU berada di dekat dermaga. Fasilitas ini berada sekitar 2 kilometer dari jembatan timbang di samping lobi utama Terminal Pelabuhan Teluk Lamong. Adapun Sekretaris Perusahaan PGN, Rachmat Hutama, mengatakan  realisasi pembangunan saat ini menunggu pembangunan flat bottom tank. "Pembangunan flat bottom tank masih menunggu kesiapan calon pelanggan gas berdasarkan perencanaan manajemen sebelumnya," kata dia pada 22 Juli.

Secara keseluruhan, pembangunan terminal LNG Teluk Lamong digarap oleh PT PGN LNG Indonesia (PLI) bekerja sama dengan anak perusahaan PT Pelindo III, PT Pelindo Energi Logistik (PEL). PGAS Solution mengerjakan ORU, filling station, terminal LNG, serta pipa kriogenik. Fasilitas tersebut menjadi bagian dari proyek terminal LNG Teluk Lamong fase pertama yang digarap sejak Agustus 2019. Proyek tahap awal mulai berjalan pada Agustus 2019 dan selesai pada 28 Juli 2021.

Setelah fase pertama selesai, tahap berikutnya adalah pembangunan terminal pengisian LNG skala kecil untuk menyalurkan gas dari luar sistem pipa PGN, misalnya melalui kapal ke truk. Meski bangunannya sudah selesai, fasilitas itu juga tak bisa digunakan karena menunggu pengerjaan flat bottom tank, yang masuk proyek fase kedua.

Petugas di proyek pembangunan Terminal LNG Teluk Lamong Surabaya, Maret 2020. pgn.co.id

Masalahnya, PGAS Solution belum bisa menggarap fase kedua karena PGN selaku induk usahanya harus mempertajam sejumlah variabel keekonomian, seperti pasokan LNG serta permintaan. Direksi PGN juga belum meneken perubahan keputusan investasi akhir atau re-final investment decision lantaran proyek ini tidak memenuhi skala ekonomi.

Persoalan ini yang kemudian menjadi temuan Badan Pemeriksa Keuangan. Dalam laporan hasil pemeriksaan terhadap kinerja PGN tahun 2017 hingga semester I 2022, BPK menyebutkan proyek terminal LNG Teluk Lamong senilai Rp 383,2 miliar berpotensi tidak dapat dimanfaatkan. Berdasarkan temuan BPK, salah perhitungan terjadi sejak tahap perencanaan. “Kami menduga dari proyek tersebut ada potensi kerugian negara,” tutur Anggota VII BPK, Hendra Susanto, pada Kamis, 20 Juli lalu.

Menurut laporan BPK, manajemen PGN tidak memitigasi risiko yang muncul dalam tahap perencanaan. Sebab, penyusunan asumsi penambahan volume dari pelanggan baru hanya menggunakan data survei yang tidak lengkap. Padahal sebelumnya terminal LNG Teluk Lamong diharapkan dapat mengatasi defisit gas di wilayah Jawa Timur.

•••

INISIATIF proyek terminal gas alam cair Teluk Lamong muncul pada 2018, saat pasokan gas untuk Perusahaan Gas Negara di Jawa Timur terganggu. Masalah ini terjadi setelah pemasok gas, Husky-CNOOC Madura Ltd, mengalami gangguan pada 2016-2017. Dalam studi PGN, pada 2019, permintaan gas mencapai 171,8 billion British thermal unit per day (BBTUD), sementara pasokannya hanya 142,2 BBTUD. Defisit ini yang menjadi dasar untuk membangun terminal LNG Teluk Lamong.

Pada 19 Maret 2019, direksi PGN menyetujui proyek tersebut lewat final investment decision (FID) senilai US$ 30,7 juta atau sekitar Rp 461 miliar. Empat bulan kemudian, terjadi perubahan FID. Saat itu PGN menunjuk anak usahanya, PLI, bekerja sama dengan PEL selaku anak usaha Pelindo III untuk menggarap proyek ini. Kebutuhan pendanaan pun naik menjadi US$ 31,1 juta.

Belakangan diketahui bahwa perhitungan PGN mengenai pasokan dan permintaan gas di Jawa Timur tak sesuai dengan perkiraan. Kondisi kian parah karena jumlah konsumsi gas menurun saat terjadi pandemi Covid-19. Walhasil, serapan gas yang semula diperkirakan bisa mencapai 147 BBTUD melorot menjadi 130 BBTUD. 

Di tengah kondisi itu, Lapangan Gas Jambaran Tiung Biru (JTB) yang digarap Pertamina EP Cepu mulai beroperasi pada 20 September 2022. Gas dari lapangan JTB yang mencapai 192 juta metrik kaki kubik per hari (MMSCFD) mengalir untuk sejumlah industri, termasuk PGN. Juru bicara PT Pertamina (Persero), Fadjar Djoko Santoso, mengatakan suplai gas di Jawa Timur saat ini bisa dipenuhi dari lapangan JTB. “Saat ini sudah hampir beroperasi penuh,” katanya pada Jumat, 21 Juli lalu. 

Masuknya gas dari JTB memaksa direksi PGN mengubah asumsi mengenai defisit gas di Jawa Timur yang menjadi dasar pengerjaan proyek terminal LNG Teluk Lamong. Jika terlambat, proyek ini bakal mangkrak. Seorang pejabat PLI mengatakan pembahasan potensi mangkraknya terminal Teluk Lamong sudah berlangsung pada 2021. Saat itu, dia menjelaskan, hampir semua direktur dan komisaris PGN, PLI, dan Pelindo III mengikuti rapat di Teluk Lamong selama dua hari. Proyek ini, menurut sumber itu, ibarat buah simalakama buat PLI, PGN, ataupun Pelindo III. "Kalau dihentikan bapak mati, dilanjutkan ibu yang mati."

Sumber lain, seorang pejabat PGN, mengatakan ada pembahasan internal untuk mengatasi potensi mangkraknya proyek terminal Teluk Lamong. “Sempat ada rencana perubahan konsep menjadi receiving terminal dan pasarnya adalah kawasan Bali dan Lombok, tapi tidak dikerjakan,” ujarnya. 

Salah perhitungan ini yang kemudian terekam dalam laporan BPK. Menurut auditor negara, PGN kurang cermat memitigasi defisit pasokan gas serta tidak benar-benar memastikan kontrak pasokan dan kesiapan permintaan. Temuan BPK menyebutkan penyusunan asumsi penambahan volume dari pelanggan baru hanya menggunakan data survei kebutuhan bahan bakar calon pelanggan yang sudah dan belum beroperasi. “Tim survei tidak memberi tahu proyeksi harga jual gas selain itu tidak ada MoU (nota kesepahaman) dengan calon pelanggan,” demikian petikan laporan BPK.

Hal itu membuat asumsi permintaan dalam neraca gas yang dipakai PGN tidak didasari dokumen yang valid. Manajemen PGN, menurut BPK, menyusun angka proyeksi permintaan berdasarkan hasil survei pasar tanpa didukung dokumen pokok-pokok kesepakatan yang akan dituangkan dalam perjanjian. Dampaknya pada keuangan PGN cukup besar. Menurut laporan BPK, ada potensi kerugian negara atas pembayaran Rp 382,2 miliar dari PLI ke PGAS Solution untuk pembangunan fase pertama terminal LNG Teluk Lamong. 

Kerugian bisa kian besar jika ditambah dengan biaya pemeliharaan yang tahun lalu saja mencapai Rp 1,18 miliar dan potensi biaya operasional Rp 2,8 miliar setiap tahun. Biaya keamanan, perawatan mesin dan peralatan, juga pemakaian listrik dan air pun harus dibayar meski terminal ini belum beroperasi.

BPK merekomendasikan manajemen PGN menyusun rencana aksi pengelolaan dan pemanfaatan Terminal LNG Teluk Lamong, sekaligus melaporkan masalah ini kepada penegak hukum. Menanggapi temuan BPK, Direktur Utama PGN Arief Handoko hanya menjawab singkat. “Saya sedang melakukan pembahasan bagaimana memitigasi isu ini,” ucapnya pada Jumat, 21 Juli lalu.

Sekretaris Perusahaan PGN Rachmat Hutama mengatakan ada upaya mengoptimalkan terminal LNG Teluk Lamong, antara lain mencari potensi pasar baru LNG di luar jaringan pipa hingga membangun onshore storage dengan belanja modal yang efisien. "Setelah pasar teridentifikasi dan ada kepastian sumber LNG," tuturnya. PGN juga berkoordinasi dengan Pertamina dan Kementerian Badan Usaha Milik Negara untuk tindak lanjut rencana aksi ini.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Khairul Anam dan Hanaa Septiana dari Surabaya berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Simalakama Terminal Gas Surabaya". Koreksi pada 23 Juli 2023 pada kata "miliar" menjadi "juta" di alinea 10.

Aisha Shaidra

Aisha Shaidra

Bergabung di Tempo sejak April 2013. Menulis gaya hidup dan tokoh untuk Koran Tempo dan Tempo.co. Kini, meliput isu ekonomi dan bisnis di majalah Tempo. Bagian dari tim penulis liputan “Jalan Pedang Dai Kampung” yang meraih penghargaan Anugerah Jurnalistik Adinegoro 2020. Lulusan Sastra Indonesia Universitas Padjadjaran.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus