Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BARU dua hari bertugas menjadi Duta Besar Norwegia, Rut Krüger Giverin menerima kenyataan pemerintah Indonesia memutus kerja sama penurunan emisi gas rumah kaca melalui pencegahan deforestasi dan degradasi lahan (REDD+) pada 10 September 2021. Melalui nota diplomatik Kementerian Luar Negeri, pemerintah Indonesia menghentikan kerja sama yang sudah berlangsung sepuluh tahun itu. Pemerintah Indonesia menilai Norwegia tak kunjung merealisasi pembayaran berbasis hasil atau result-based payment senilai US$ 56 juta atas pengurangan 11,2 juta ton emisi karbon pada 2016-2017.
"Bagi diplomat, ini juga merupakan tantangan yang menarik bagaimana ketika Anda memulai dari nol untuk mencoba membangun dan menjalin hubungan baik lagi," kata Giverin kepada wartawan Tempo, Abdul Manan dan Tara Reysa, di kantornya di Jakarta, Rabu, 16 November lalu.
Giverin mengatakan pemerintah Norwegia memahami keputusan pemerintah Indonesia itu. Ia pun mulai mendekati kembali Kementerian Luar Negeri serta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk memulai perundingan lagi. Usahanya berhasil. Indonesia dan Norwegia kemudian menandatangani Nota Kesepahaman tentang Kemitraan Mendukung Upaya Indonesia Mengurangi Emisi Gas Rumah Kaca dari Sektor Kehutanan dan Penggunaan Lahan Lainnya.
Menteri Iklim dan Lingkungan Norwegia Espen Barth Eide yang menandatangani perjanjian kerja sama itu bersama Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya di Jakarta pada 12 September 2022. Setelah itu diikuti oleh penandatanganan kesepakatan kontribusi antara Giverin dengan Kepala Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) Djoko Hendratto pada 19 Oktober lalu.
Selama sekitar satu jam Giverin memaparkan apa saja yang ia lakukan untuk memulihkan program kerjasama di bidang perubahan iklim itu serta berbagai tantangan dalam melakukan transisi dari energi fosil ke energi terbarukan.
Bagaimana Anda membangun kembali kerja sama dengan Indonesia setelah penghentian kerja sama REDD+ pada 2021?
Indonesia adalah negara yang sangat menarik bagi diplomat untuk bekerja. Terkadang agak menantang, tapi sangat menarik dan ada pekerjaan penting. Bukan hanya untuk Norwegia dan Indonesia dalam hal iklim dan kehutanan, tapi demi kepentingan global. Jadi, bagi kami, itu memberi banyak motivasi.
Apa tanggapan Anda terhadap penghentian kerja sama itu?
Kami menghormati keputusan tersebut dan kemudian melihat ke depan. Kami berupaya dapat bekerja sama lagi. Kami mencoba langkah demi langkah membangun kepercayaan dan kebersamaan yang setara. Itu semua soal diplomasi. Saya banyak berdiskusi dengan kolega di Kementerian Luar Negeri, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dan banyak orang. Saya bertemu dengan menteri. Kami berdiskusi. Langkah demi langkah kita perlukan untuk membangun kepercayaan sehingga memiliki kemitraan yang setara berdasarkan pemahaman dan rasa hormat yang sama. Norwegia adalah negara kecil. Indonesia negara yang penting secara global. Ini penting, bukan hanya di isu kehutanan, tapi secara umum. Bagi Norwegia, sangat penting menghormati dan berbicara dengan Indonesia dengan cara seperti itu. Dalam hal pengurangan emisi dari hutan hujan, Indonesia telah memberikan hasil yang luar biasa selama bertahun-tahun.
Apa yang Anda lakukan?
Ketika letter of intent dihentikan, Norwegia menyampaikan dua hal: kami menghormati keputusan pemerintah Indonesia dan sangat siap berdiskusi kapan saja untuk melanjutkan dukungan kami. Perlahan tapi pasti kami mengadakan pertemuan, membahas bagaimana kita maju bersama. Kami juga memiliki pemerintahan baru di Norwegia pada Oktober tahun lalu. Menteri kami sangat berkomitmen dan mencoba membuat kerja sama ini berhasil. Komitmen politik yang kuat dari menteri itu sangat penting. Menteri Lingkungan Norwegia datang ke sini pada September dan menandatangani nota kesepahaman (MOU). Sekarang pembahasannya berlanjut di tingkat menteri dan duta besar.
Apa beda skema saat ini dengan REDD+ dulu?
Perjanjian sebelumnya dibikin pada 2010. Jadi sudah lama sekali. Saya pikir wajar jika diperbarui. Elemen utama perjanjian baru mengandalkan sistem Indonesia karena kami memberikan "kontribusi berdasarkan hasil". Kontribusi diberikan ke Indonesia melalui Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) dan dikelola sepenuhnya oleh Indonesia.
Setelah perjanjian kontribusi antara Anda dan BPDLH pada 19 Oktober lalu, ada pembahasan apa lagi?
BPDLH membuat rencana detail dan kerangka kerja. Pada dasarnya kami mendukung Forestry and Other Land Use (FOLU) Net Sink 2030 plus yang sudah dikembangkan oleh pemerintah Indonesia. MOU bukan hanya tentang pembayaran berbasis hasil, juga kemitraan luas untuk masalah yang menjadi kepentingan bersama.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
(FOLU Net Sink 2030 adalah tercapainya penurunan emisi karbon dari sektor kehutanan dan penggunaan lahan lain pada 2030 yang seimbang dengan serapan emisinya atau bahkan lebih tinggi.)
Bagaimana Norwegia memantau penggunaan dananya?
BPDLH sudah memiliki prosedur pelaporan yang sangat baik. BPDLH punya sistem pelaporan sendiri dan kami mengikuti sistem itu.
Bagaimana Anda melihat FOLU Net Sink 2030?
Perubahan iklim merupakan tantangan terbesar yang dihadapi dunia. Perubahan iklim adalah masalah global dan Anda tidak bisa menyelesaikannya kecuali bekerja multikolaborasi. Kami melihat satu langkah lebih jauh dan, harus diakui, untuk mengatasi tantangan perubahan iklim secara global Anda harus melindungi hutan hujan karena peran pentingnya dalam mengurangi emisi. Pemikirannya dari situ. Indonesia adalah pemimpin dalam pelindungan hutan hujan. Apa yang dilakukan Indonesia berdampak secara global. Jadi, bagi Norwegia, sangat logis kami mendukung Indonesia karena apa yang dilakukan Indonesia penting bagi dunia dan juga kami.
Apa untungnya bagi Norwegia?
Norwegia memiliki komitmen kuat untuk berkontribusi terhadap tujuan Perjanjian Paris. Itu komitmen internasional. Kami menyadari Indonesia memiliki peran penting untuk dimainkan di tingkat global.
Ada kerja sama apa lagi antara Norwegia dan Indonesia saat ini?
Banyak. Kami memiliki hubungan yang sangat kuat dengan Indonesia. Untuk menyebutkan beberapa program, saya pikir bidang utamanya adalah kolaborasi dalam masalah laut. Norwegia pada 2018 membentuk panel tingkat tinggi untuk pemanfaatan laut yang berkelanjutan dan Presiden Joko Widodo menjadi bagian dari panel bersama 17 kepala negara. Panel ini mencoba mempromosikan keberlanjutan penggunaan sumber daya laut. Kami juga mendukung prakarsa baru lautan Indonesia. Kami pun mendukung beberapa proyek pengurangan sampah laut di lautan bersama pemerintah. Kami mendukung mangrove dunia dengan US$ 50 juta melalui Bank Dunia. Kami juga bekerja sama dalam (pemberantasan) penangkapan ikan secara ilegal, tak dilaporkan, dan tidak diatur (IUU Fishing). Norwegia dan Indonesia adalah negara laut yang penting. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia. Norwegia memiliki garis pantai terbesar kedua di dunia. Ada banyak kesamaan antara Norwegia dan Indonesia di lautan. Kami juga bekerja sangat dekat dengan Indonesia dalam isu seperti hak asasi manusia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Duta Besar Norwegia untuk Indonesia Rut Kruger Giverin saat wawancara dengan Tempo di Jakarta, 9 November 2022. TEMPO/Tony Hartawan
Bagaimana dengan kerja sama perdagangan?
Saya belum ada angkanya saat ini. Tapi Indonesia adalah pasar besar yang sangat penting.
Ada kerja sama di bidang pertahanan?
Perusahaan Norwegia, Kongsberg, menyediakan teknologi modern mutakhir di bidang maritim kepada Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut. Itu salah satu bidang yang sangat penting.
Rut Krüger Giverin
Tanggal Lahir: 10 Oktober 1971
Pendidikan
• Master of Art Studi Eropa, College of Europe, Belgia, 1996-1997
• Certificat d’Etudes Politiques, Institut d’Etudes Politiques, Prancis, 1995-1996
• University of Oslo, 1992-1995
Karier
• Sekretaris Pertama Kedutaan Besar Norwegia di Jakarta, 2001-2004
• Sekretaris Pertama Kedutaan Besar Norwegia di London, 2004-2006
• Bagian Penasihat untuk Perdamaian dan Rekonsiliasi Departemen Urusan Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Kemanusiaan • Kementerian Luar Negeri Norwegia, 2006-2008
• Konselor Politik Kedutaan Besar Norwegia di Khartoum, Sudan, 2008-2011
• Duta Besar Norwegia untuk Meksiko dan Amerika Tengah, 2017-2021
• Duta Besar Norwegia untuk Indonesia, 2021-sekarang
Ihwal energi terbarukan, apa bentuk dukungan Norwegia terhadap Indonesia?
Kami memiliki perusahaan yang tertarik mengembangkan tenaga surya. Kami memiliki minat mengembangkan tenaga air. Saya pikir, beberapa tantangannya adalah soal kerangka peraturan di Indonesia. Kami coba terlibat dalam dialog. Peran kami sebagai kedutaan adalah untuk mencoba dan memfasilitasi dialog antara perusahaan dan pemerintah. Saya pikir, untuk Indonesia, transisi energi juga rumit, seperti halnya Norwegia, karena pendapatan Norwegia bergantung pada minyak dan gas sejak akhir 1960-an. Jadi ekonomi kami berada di atas pendapatan besar dari minyak dan gas. Indonesia mengandalkan batu bara untuk energi dan pasokan listrik dan Anda tidak bisa menghentikannya begitu saja. Meskipun berasal dari negara yang berbeda, kita memiliki beberapa tantangan yang sama. Tapi kita tidak punya pilihan. Kita harus mengembangkan sektor energi terbarukan dan pemerintah Indonesia telah menunjukkan komitmen yang besar untuk melakukan itu. Tapi mewujudkannya dalam praktik merupakan tantangan, baik bagi Norwegia maupun Indonesia.
Norwegia memakai energi fosil?
Tidak.
Lalu energi fosil untuk apa?
Untuk ekspor. Kami adalah produsen minyak dan gas yang besar, tapi untuk konsumsi energi internal kami menggunakan energi terbarukan karena kami memiliki sumber daya tenaga air yang sangat besar. Tapi bahan bakar fosil, untuk sektor minyak dan gas, ini akan makin tidak penting di masa depan karena perubahan iklim dan kebutuhan untuk beralih ke energi terbarukan, bukan hanya di Norwegia, tapi di Eropa dan di mana-mana. Banyak konsumen juga akan menuntut agar produksi dilakukan tanpa bahan bakar fosil, misalnya. Tapi, karena situasi di Eropa sekarang, perang di Ukraina, keadaan menjadi sulit karena banyak negara di Eropa masih bergantung pada impor gas Norwegia. Kami berada dalam posisi yang sulit. Di satu sisi kami perlu tetap berfokus pada transisi hijau, tapi pada saat yang sama kami tahu bahwas beberapa negara (masih) bergantung pada gas Norwegia. Ini dilema yang kami hadapi.
Apakah Norwegia akan sepenuhnya beralih ke energi terbarukan?
Norwegia sedang melakukan upaya besar-besaran untuk mengubah ekonomi kami, dari yang memiliki fokus besar pada minyak dan gas ke pengembangan industri energi baru seperti angin lepas pantai, juga area seperti produksi baterai, dan perkapalan ramah lingkungan. Transisi hijau (tetap) menjadi prioritas pemerintah.
Apakah ada proyek energi terbarukan perusahaan Norwegia di Indonesia?
Ada. Mereka memiliki proyek energi tenaga air di Sumatera dan Sulawesi.
Pasar Indonesia cukup menarik?
Kalau dilihat dari perspektif jangka panjang, Indonesia adalah pasar yang besar untuk energi terbarukan. Saya pikir banyak perusahaan di Norwegia yang melihat potensinya, tapi kapan tepatnya dan apa yang ingin mereka lakukan, itu bukan area kedutaan, tapi diserahkan kepada mereka.
Apa dampak invasi Rusia ke Ukraina terhadap transisi energi?
Satu perspektif adalah bahwa saat ini gas menjadi makin penting bagi negara seperti Norwegia karena banyak negara Eropa bergantung untuk membeli lebih banyak gas dari Norwegia. Hal itu menunjukkan betapa bergantungnya kami pada gas. Jadi kami perlu mengembangkan jenis sumber energi lain, tapi (perang) itu memperlambatnya. Bagaimanapun juga, (perang) itu tidak boleh memperlambatnya. Dunia membutuhkan transisi hijau. Menurut saya, ada kemauan politik di Norwegia dan Eropa untuk memastikan bahwa krisis Ukraina tidak berarti kami memperlambat transisi hijau. Kami masih harus berfokus pada itu karena, jika tidak, kami akan tertinggal karena butuh waktu untuk membangun sumber energi baru dan energi alternatif.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo