Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Kosmetik Biomassa Mengganti Batu Bara

Implementasi co-firing di PLTU Indramayu menyisakan dampak lingkungan dan kesehatan. Co-firing biomassa hutan tak mengurangi emisi?

27 November 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Co-firing biomassa dijadikan jembatan untuk transisi sekaligus mengurangi emisi di sektor pembangkit tenaga listrik.

  • Berpotensi menimbulkan deforestasi dan menghasilkan utang karbon dari pembukaan hutan tanaman energi.

  • Pelaksanaannya di PLTU Indramayu menyisakan persoalan.

EMPAT kali pengumuman lelang terbuka untuk pengadaan serbuk gergaji kayu sepanjang 2021 terpampang di situs lelang PT Pembangkitan Jawa-Bali untuk Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Indramayu. Tiga lelang di antaranya adalah pengadaan ulang untuk April 2021, yang lain untuk pengadaan Juli 2021. Serbuk gergaji ini akan digunakan sebagai campuran batu bara atau co-firing pada PLTU. Adapun spesifikasi yang diminta adalah serbuk kayu dengan total kelembapan sebesar 16,63 persen dan memiliki nilai kalori 3.921 kilokalori per kilogram (Kkal/kg). Jumlah yang diminta sebanyak 6.500 ton.

Kemudian tak ada lagi pengumuman lanjutan mengenai siapa pemenang tendernya. Belakangan, diketahui serbuk gergaji tersebut berasal dari usaha kayu rakyat yang didatangkan dari Subang, Cirebon, dan daerah sekitar Indramayu, Jawa Barat. Dalam diskusi yang diadakan Perkumpulan Inisiatif pada Selasa, 1 November lalu, Perusahaan Umum Kehutanan Negara Divisi Regional Jawa Barat dan Banten mengatakan tidak pernah memasok bahan baku biomassa berupa serbuk gergaji ataupun pelet kayu ke PLTU Indramayu.

Menurut Koordinator Jaringan tanpa Asap Batu Bara Indramayu, Tarmidi, tak pernah ada kejelasan mengenai siapa yang memasok serbuk gergaji ke PLTU Indramayu. Yang ia tahu, sejak ada “pengoplosan” dengan serbuk kayu tersebut, banyak pohon pisang yang mati begitu terkena asap yang keluar dari cerobong PLTU Indramayu. “Dulu pohon kelapa yang mati, sekarang pohon pisang ikut mati,” katanya. Selain itu, banyak penduduk yang mengidap infeksi saluran pernapasan akut dan infeksi mata.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PLTU Sumur Adem, d di Sukra, Indramayu, Jawa Barat/Antara/Dhedez Anggara

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Salah satunya Surmi, 54 tahun. Mata sebelah kirinya mengalami infeksi berat setelah berjibaku dengan kepulan debu hitam yang beterbangan dari arah PLTU saat ia bersama suaminya sedang beraktivitas di sawah. Kejadian itu ia alami pada 2020. “Mata saya harus dioperasi dan sudah bolak-balik rawat jalan setelah itu. Tidak ada bantuan dari PLTU Indramayu sama sekali,” tuturnya.

Meike Inda Erlina, Juru Kampanye Biomassa Trend Asia, mengatakan strategi co-firing biomassa tak lebih dari pelanggengan penggunaan batu bara. “Campuran yang hanya 5-10 persen tidak efektif untuk segera bertransisi energi,” ucapnya. Bahkan pemenuhan bahan bakunya penuh masalah dan berpotensi menimbulkan tekanan terhadap hutan alam. Namun PT Perusahaan Listrik Negara atau PLN (Persero) mengklaim, hingga September 2022, PLTU Indramayu telah mengurangi emisi karbon sebanyak 20.081 ton karbon dioksida (CO2), melalui penggunaan 18.703 ton biomassa dan menghasilkan energi hijau sebesar 21.902 megawatt-jam.

•••

DALAM dua perhelatan internasional belakangan ini, pemerintah menekankan program co-firing biomassa sebagai jembatan transisi energi hijau untuk mengurangi emisi pada subsektor pembangkitan listrik. Dalam Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa Ke-27di Sharm el-Sheikh, Mesir, 6-18 November lalu, Direktur Transmisi dan Perencanaan Sistem PT PLN Evy Haryadi mengatakan co-firing biomassa adalah cara PLN mengurangi emisi dari PLTU yang telah beroperasi. “Sembari secara bertahap mengurangi penggunaan energi fosil dan melakukan pensiun dini PLTU.”

Evy mengatakan PLN tengah mengimplementasikan teknologi co-firing itu di 33 lokasi PLTU. Jumlahnya akan diperbanyak sampai 52 lokasi dalam dua-tiga tahun ke depan. “Sampai saat ini PLN telah menghasilkan 653 gigawatt-jam energi bersih dari co-firing biomassa, yang setara dengan pengurangan 656 ribu ton emisi CO2,” ucapnya di Paviliun Indonesia di Sharm el-Sheikh, yang disiarkan secara langsung via YouTube.

Pada 2025, ia menjelaskan, PLN akan memanfaatkan 10,2 juta ton biomassa per tahun untuk menerapkan teknologi co-firing tersebut. Jumlah tersebut setara dengan 12 persen komposisi biomassa sebagai bahan baku co-firing. Ia mengatakan implementasi itu diharapkan dapat menurunkan emisi karbon dari subsektor ketenagalistrikan sebesar 11 juta ton setara karbon dioksida (CO2e) per tahun. Dalam presentasinya, ia menempatkan co-firing biomassa sebagai salah satu strategi jangka pendek periode 2021-2030 untuk mewujudkan kontribusi yang ditetapkan secara nasional (NDC).

Evy juga memaparkan keuntungan lain implementasi co-firing biomassa. Menurut dia, akan ada manfaat ekonomi senilai US$ 600 juta per tahun hanya dari rantai nilai biomassa. “Teknologi ini akan melibatkan masyarakat secara aktif untuk menanam tanaman biomassa, atau mengelola limbah rumah tangga mereka untuk diolah menjadi pelet yang akan digunakan sebagai bahan baku co-firing di PLTU,” tuturnya. Evy menyebutkan siklus ini akan menciptakan peluang ekonomi baru bagi masyarakat.

Dalam salah satu halaman yang dipresentasikan, Evy menuliskan, “Indonesia memiliki potensi biomassa yang melimpah dari berbagai sumber dan jenis bahan baku.” Dia lalu menjelaskan, “Kita memiliki hutan energi sebagai sumber untuk biomassa dan juga produk samping dari industri pertanian berupa limbah padi, limbah sawit, limbah dari industri bubur kertas dan kertas, serta limbah rumah tangga.”

Meski Evy menyebutkan potensi limbah yang dapat digunakan untuk menjalankan skema co-firing biomassa pada 52 lokasi PLTU, halaman presentasi yang ia tampilkan menekankan pemenuhan biomassa itu dari hutan tanaman energi (HTE). Dalam halaman dengan subjudul “Potensi pasokan biomassa dari hutan energi/lahan kering dalam jarak 50 kilometer dari PLTU” itu ia menggambarkan pemenuhan bahan baku co-firing di setiap region dengan total potensi 96 juta ton.

Dia menggambarkan pemenuhan kebutuhan biomassa terbanyak ada di Pulau Jawa, lalu diikuti Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua. Adapun potensi HTE yang ia gadang-gadang tertinggi ada di Pulau Jawa dengan nilai 34 juta ton. “Kebanyakan di Pulau Jawa karena kebanyakan pembangkit listrik ada di Pulau Jawa,” katanya.

Ihwal co-firing sebagai “jalan ninja” Indonesia dalam menurunkan emisi juga diungkapkan Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo dalam forum State Owned Enterprise International Conference 2022, rangkaian kegiatan untuk menyambut Konferensi Tingkat Tinggi G20 di Nusa Dua, Bali, pada Senin, 17 Oktober lalu. Darmawan mengatakan co-firing biomassa adalah salah satu ikhtiar untuk mencegah emisi di masa mendatang.

Persoalannya, berdasarkan analisis Trend Asia, pemenuhan kebutuhan biomassa dari HTE akan menyebabkan deforestasi dan menambah jumlah emisi. Mumu Muhajir, peneliti yang terlibat dalam riset yang dilakukan Trend Asia, menjelaskan, untuk memenuhi kebutuhan co-firing secara kontinu, diperlukan bahan baku yang berasal dari lahan yang dikelola secara intensif atau lahan produktif. “Kalau di lahan terdegradasi tanaman itu bisa mati atau tidak mencapai produktivitas optimal. Bisa saja, tapi harus ada treatment tambahan yang memakan ongkos, waktu, dan emisi yang lebih tinggi lagi,” ucapnya.

Terlebih aturan pencadangan hutan untuk hutan energi dan ketahanan pangan belum secara tegas menyatakan penyediaannya harus berada di lahan nonproduktif. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan, perubahan fungsi kawasan hutan yang semula hanya pada kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi, salah satunya untuk kegiatan ketahanan pangan dan energi, dapat dilakukan pada kawasan hutan produksi tetap dan dikecualikan dari ketentuan pengenaan penerimaan negara bukan pajak.

Sementara itu, dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 8 Tahun 2021 tentang Pengelolaan dan Pemanfaatan Hutan, terdapat dua pasal yang menyebutkan pemegang izin berusaha pemanfaatan hutan dapat bekerja sama dengan badan usaha lain dalam rangka menunjang ketahanan pangan dan energi. Kerja sama itu “diutamakan” pada area tidak produktif.

Mumu menjelaskan, dilihat dari nilai kalorinya, penggunaan pelet kayu untuk pembakaran adalah opsi yang paling masuk akal ketimbang serbuk gergaji atau sekam padi yang nilai kalorinya berkisar 2.000 kkal/kg. Ini jauh di bawah kalori batu bara yang rata-rata sebesar 5.311 kkal/kg. Karena itu, dalam penghitungan emisi dan deforestasi, ia menggunakan pelet kayu sebagai patokan hitungan.

Mumu lantas menghitung pemenuhan bahan baku bagi 107 unit PLTU di 52 lokasi yang direncanakan akan mengimplementasikan co-firing biomassa berdasarkan jenis tanamannya. Ia menghitungnya ke dalam enam skenario berdasarkan enam jenis tanaman yang direkomendasikan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, yakni akasia, kaliandra merah, gamal, eukaliptus pelita, turi, dan lamtoro gung.

Untuk akasia, Mumu menghitung lahan konsesinya seluas 3.885.632 hektare dengan area tanam 2.758.799 hektare. Hitungan itu memasukkan aturan luas lahan yang boleh ditanami hanya 71 persen. Area tanam kaliandra 1.988.984 hektare dengan luas lahan konsesi 2.801.385 hektare, sedangkan area tanam gamal 5.524.954 hektare dengan luas lahan konsesi 7.781.626 hektare. Untuk eukaliptus dibutuhkan area tanam seluas 2.646.896 hektare dan lahan konsesi 3.728.023 hektare. Sementara itu, total area tanam turi seluas 2.209.982 hektare dan lahan konsesi 3.112.650 hektare. Adapun area tanam lamtoro 1.657.486 hektare dan luas wilayah konsesi 2.334.488 hektare.

Kemudian dia bersama Trend Asia menghitung potensi deforestasi hutan alam di area hutan produksi yang akan dikonversi menjadi hutan tanaman energi. Dari hasil analisis itu, ia menemukan potensi deforestasi pada area tanam akasia dapat mencapai 1.048.344 hektare. Sementara itu, gamal memiliki potensi deforestasi terluas, yaitu 2.099.843 hektare. Disusul potensi deforestasi eukaliptus seluas 1.005.820 hektare. Adapun potensi deforestasi turi, kaliandra merah, dan lamtoro gung di bawah 1 juta hektare.

Mumu mengatakan dari deforestasi, pengelolaan HTE, dan pembuatan pelet, kemudian dihitung jumlah emisinya. Pertama, dia menghitung stok karbon hutan alam pada setiap jenis tanaman. Dari analisisnya, dia mendapat hitungan total stok karbon hutan alam HTE gamal tertinggi, yaitu 979.547.647 ton CO2e. Peringkat berikutnya adalah akasia dengan stok 489.121.661 ton CO2e, diikuti total stok hutan alam HTE eukaliptus sebesar 469.281.849 ton CO2e.

Setelah itu, dia menghitung stok karbon setelah deforestasi dan menghitung emisi net dari deforestasi. Dari analisisnya, dia menemukan ada emisi net deforestasi untuk semua jenis tanaman. Dengan kata lain, emisi yang terlepas dari aktivitas di lahan dan deforestasi lebih besar ketimbang stok karbon yang didapat dari penanaman keenam tanaman tersebut. Emisi berikutnya, dia menerangkan, datang dari aktivitas pengelolaan pelet kayunya. Kesimpulannya, emisi total co-firing 10 persen biomassa dengan batu bara sebesar 7,9-26,5 juta ton CO2e per tahun.

Berdasarkan hitungan ini, Mumu meyakini penggunaan pelet kayu tak dapat dinilai sebagai karbon netral. Pendapat ini senada dengan Kepala Pusat Riset Sistem Produksi Berkelanjutan dan Penilaian Daur Hidup Organisasi Riset Energi dan Manufaktur Badan Riset dan Inovasi Nasional, Nugroho Adi Sasongko. Dia menyatakan limbah yang memerlukan pemrosesan lebih lanjut untuk digunakan lagi tidak dapat dikatakan karbon netral. “Limbah dapat dikatakan sebagai karbon netral jika limbah itu langsung digunakan tanpa mengubah bentuknya atau memprosesnya lebih lanjut,” katanya.

Sementara itu, ihwal pemenuhan bahan baku biomassa dari HTE, menurut Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi Dadan Kusdiana, yang juga menjabat pelaksana tugas Direktur Jenderal Ketenagalistrikan, saat ini biomassa didominasi limbah hasil pertanian, perkebunan, dan kehutanan. Pemanfaatan biomassa berbasis hutan tanaman energi masih terhambat kendala keekonomian karena harganya melebihi harga batu bara dengan nilai kalori yang sama.

Dadan mengatakan aspek keberlanjutan, kelestarian lingkungan, dan keterlacakan sumber bahan baku menjadi prioritas utama dalam menyediakan biomassa untuk co-firing PLTU. “Terkait dengan dampak ekologi dan kesehatan, seperti polutan furan, telah menjadi parameter yang dipantau dengan batas kandungan klorin maksimal 0,02 persen untuk kelas premium dari bahan baku biomassa tersebut,” tuturnya. Selain itu, Dadan menjelaskan, emisi bahan baku biomassa dan angka produksi listrik PLTU co-firing selalu dilaporkan secara periodik.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Dini Pramita

Dini Pramita

Dini Pramita saat ini adalah reporter investigasi. Fokus pada isu sosial, kemanusiaan, dan lingkungan.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus