Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

wawancara

Masa Keemasan Film Bakal Balik

Joko Anwar memperkirakan film Indonesia akan kembali bangkit dibanding sebelum 2019. Mengapa film horor bisa laris?

30 Juli 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Film horor memimpin perolehan pendapatan terbesar di Indonesia.

  • Mengapa film horor digandrungi di Indonesia dan dunia?

  • Apa rahasia pembuatan film horor agar sukses?

FILM horor sedang naik daun. Situs Film Indonesia mencatat, dari lima film yang terbanyak ditonton tahun ini sampai Juli, dua film berjenis drama dan tiga horor. Ketiganya adalah KKN di Desa Penari, Ivanna, dan The Doll 3 dengan total jumlah penonton 13,2 juta orang. Dua film drama, Ngeri Ngeri Sedap dan Kukira Kau Rumah, ditonton 5,1 juta orang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sutradara film Joko Anwar menilai film horor memang sedang digandrungi. Sampai Juli ini KKN di Desa Penari menarik 9,2 juta penonton. Itu tak hanya membuatnya menjadi film dengan penonton terbanyak pada tahun ini, tapi juga sepanjang sejarah film Indonesia. Tahun lalu, film yang paling banyak ditonton juga bergenre horor, yakni Makmum 2 dengan 1,7 juta penonton.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film horor pertama besutan Joko Anwar adalah Pengabdi Setan. Saat dirilis pada 2017, film ini meraih jumlah penonton terbanyak, yaitu 4,2 juta. Film itu juga diputar di 26 negara. Itu film horor Indonesia yang paling luas penetrasinya ke luar negeri. Dari 10 film paling banyak ditonton saat ini, Pengabdi Setan berada di peringkat ketujuh. Film horor keduanya, Pengabdi Setan 2, mulai diputar di bioskop pada 4 Agustus mendatang.

Genre horor, menurut Anwar, adalah film paling jujur dibanding yang lain. Ia dibuat hanya untuk membuat orang mendapatkan sensasi kengerian. “Film horor, karena jujur, itu genre yang dibutuhkan ketika publik merasa butuh sesuatu yang murni hiburan,” ucapnya kepada wartawan Tempo, Abdul Manan dan Fransisco Rosarians, di rumahnya di Jakarta, Sabtu, 9 Juli lalu.

Dalam wawancara sekitar dua jam, Joko Anwar menjelaskan proses kreatifnya dan pandangannya mengenai kondisi industri film saat ini. Apa resep rahasianya dalam membuat film horor?

Apa yang membedakan Pengabdi Setan dengan Pengabdi Setan 2?

Ini bagian dari marketing, yaitu tidak menceritakan terlalu banyak. Kadang-kadang ada yang semua diceritakan kalau bikin film. “Halo, nama saya ini, saya berperan sebagai ini....” Jadi enggak ada lagi yang dirahasiakan. Setiap film kan selalu mencoba membuat excitement ada di filmnya, bukan di luar filmnya. Yang bisa diceritakan, kalau Pengabdi Setan kan ceritanya dalam sebuah rumah. Kengerian dan keseruannya di dalam rumah itu. Ini (Pengabdi Setan 2) lebih besar karena dalam sebuah rumah susun. Kengerian dan keseruannya lebih besar.

Apa yang menyebabkan film horor digandrungi?

Genre film horor itu paling jujur. Kalau film lain dibuat dengan maksud tertentu. Kalau film drama, ada yang ingin dikatakan dalam film, kepentingan politis tertentu, atau kepentingan personal pembuatnya. Demikian juga komedi, laga. Kalau genre horor jujur karena dibuat hanya untuk memberi sensasi kengerian dan keseruan kepada penonton. Kalau drama capaiannya apa? Banyak. Salah satunya pesan. Kalau film horor gampang: orang menjerit ketakutan saat menonton di bioskop. Film horor, karena jujur, menjadi genre yang dibutuhkan ketika publik merasa butuh sesuatu yang murni hiburan. Mungkin karena sewaktu krisis orang butuh sesuatu yang bisa membuat mereka lupa akan krisis dan masalah mereka. Mereka lari ke sesuatu yang memang dibuat untuk membuat mereka terhibur dan mendapatkan sensasi yang seru. Makanya (saya) memilih horor ketimbang genre yang lain.

Apa yang kira-kira membuat orang ingin jeda sejenak? Pandemi?

Bisa pandemi, bisa apa pun. Bisa krisis ekonomi. Bisa juga karena masalah pribadi.

Beberapa tahun terakhir ini apakah jumlah film horor memang banyak?

Dari kemarin, beberapa film horor rata-rata sukses secara komersial. KKN di Desa Penari jadi yang terlaris sepanjang masa justru ketika pandemi belum selesai. Film-film kecil juga laku. Pengabdi Setan 4,2 juta penonton, The Doll 3 1,7 juta, Kuntilanak 31,3 juta, Teluh 500 ribu. Pengabdi Setan merupakan film horor paling laku kedua setelah KKN di Desa Penari.

Kalau banyak ditonton, berarti bagus secara ekonomi?

Sekarang untuk produser Rp 18 ribu satu tiket. Bersihnya. Gross-nya 40 ribu. Sekitar Rp 4.000 untuk pajak dan sebagainya. Jumlah itu dibagi dua dengan bioskop. Jadi Rp 36 ribu dibagi dua. Untuk produser Rp 18 ribu. Jadi kalau 9,2 juta (penonton) kali Rp 18 ribu sama dengan Rp 165,5 miliar keuntungan bersihnya. (Lalu) dipotong biaya produksi. Biaya produksi film sekarang untuk low budget di bawah Rp 4 miliar, medium sampai Rp 7 miliar. Di atasnya adalah big budget, tak terbatas, ada yang Rp 15 miliar sampai Rp 50 miliar.

Kalau biaya produksi film horor Indonesia?

Film horor kelas A butuh Rp 10-15 miliar. Itu produksi saja. Kalau kelas B, Rp 6-10 miliar. Kelas C di bawah Rp 6 miliar. Pengabdi Setan tergolong murah. Kami syuting 17 hari. Kalau Pengabdi Setan 2 syutingnya tiga bulan. Karena sedang masa pandemi, kami tak bisa syuting lama-lama.

Ide film horor Anda dari mana?

Ide bikin film sama dengan ide bikin buku. Bukan hanya satu cara. Inspirasi kan bisa dari macam-macam. Bisa dari baca berita. Ditumpuk dulu. Dengar orang cerita. Tidur, mimpi. Kebanyakan dari respons aku terhadap situasi sosial, politik, lingkungan. Aku kan bukan hanya bikin film horor. Film hororku baru dua.

Janji Joni, misalnya. Itu dari mana inspirasinya?

Janji Joni aku bikin waktu kuliah di tingkat akhir (Institut Teknologi Bandung). Teman-temanku sebelum lulus kuliah saja sudah diijon oleh perusahaan-perusahaan besar. Gajinya besar. Pertanyaannya, pekerjaan terbaik buat kamu seperti apa, sih? Ketika bikin Janji Joni, aku bukan mau mengatakan sesuatu, tapi bertanya sesuatu. Film Kala (2007) gua bikin ketika Rancangan Undang-Undang Anti-Pornografi dan Pornoaksi diwacanakan. Kalau misalnya ini jadi undang-undang, Indonesia bakal mundur ke belakang. Makanya aku merespons dengan Kala, film yang bercerita tentang mitologi Jawa, tapi semua karakternya pakai baju Amerika 1940-an. Kayak gua (mau bilang), enggak mau dibatasin. Gua mau liar. Film Pintu Terlarang (2009) itu karena lingkungan kita terlalu mengikuti norma. Kalau kamu lulus kuliah, pasti ditanya, “Sudah punya pacar apa belum? Sudah nikah apa belum?” Kalau sudah nikah, ditanya, “Sudah isi atau belum?” Kalau sudah isi, “Sekolah di mana anaknya?” Jadi kita harus mengikuti kemauan masyarakat. Ketika bikin Modus Anomali (2012), aku mempertanyakan patriarki. Benar enggak, sih, di Indonesia harus selalu dibilang suami yang paling melindungi keluarga, bapak memimpin, dan lain-lain? A Copy of My Mind (2015) gua bikin ketika Indonesia terbelah antara pendukung Joko Widodo dan Prabowo Subianto.

Sutradara Joko Anwar di lokasi syuting. (Foto: Instagram.com/ @jokoanwar)

Kalau Pengabdi Setan?

Itu ada yang aku pertanyakan juga. Gua merasa orang Indonesia terlalu mempercayakan (diri) kepada sosok yang dikultuskan. Di Indonesia kita tak memegang kontrol terhadap diri kita sendiri. Kita adalah satu individu yang punya jalan tol untuk hidup maju tapi kita mempercayakan kepada sosok yang kita puja, entah politikus entah tokoh agama. Makanya aku bikin tokoh agamanya tak bisa menolong. Kalau Gundala, jelas sekali protes saya kepada situasi politik Indonesia, sama orang Indonesia yang terlalu mendewa-dewakan hal yang abstrak kayak moralitas. Perempuan Tanah Jahanam adalah protes gua terhadap represi terhadap perempuan dan anak-anak. Tapi gua enggak akan mengatakan itu ketika membuat filmnya dan filmnya belum keluar karena akan membuat filmnya jadi bias. Jadi gua enggak akan mengatakan kepada orang apa yang ingin gua katakan di Pengabadi Setan 2. Nonton aja dulu. Nanti, kalau sudah lama, dua-tiga tahun, baru aku ceritain.

Belakangan ini apakah industri film kita mulai bergairah?

Film kita sebelum masa pandemi itu tertinggi sepanjang sejarah film Indonesia. Kita menjual 54 juta tiket dalam setahun pada 2019. Bandingkan dengan 2017, yang 35 juta. Itu quantum leap. Jadi, dari segi penjualan tiket, komersial, itu masa keemasan. Capaian luar biasa. Banyak filmmaker terkenal di dunia internasional.

Sekarang kondisinya bagaimana?

Malah (bisa) lebih tinggi. Ada film terlaris sepanjang masa seperti KKN di Desa Penari. Bisa jadi masa keemasan juga. Kayaknya bisa bakal balik sebelum masa pandemi.

Apa penyebab makin banyaknya penonton film horor?

Kualitasnya makin baik. Orang mau menonton film kita kan kalau percaya filmnya bagus. Pengabdi Setan bukan hanya tayang streaming di over-the-top (seperti Netflix dan Amazon), tapi juga tayang di bioskop di 26 negara. Bahkan di Meksiko masuk box office, terlaris nomor enam pada 2017.

Mengapa bisa diterima di luar negeri?

Punya daya tarik internasional yang tinggi karena berbicara tentang tema yang universal: keluarga. Kan cerita tentang keluarga, tapi ada elemen lokalnya. Ada agama Islam, Jawa. Sama kayak Perempuan Tanah Jahanam. Itu juga masuk Sundance Film Festival.

Konsep hantu setiap negara kan beda. Apakah itu ada pengaruhnya?

Hantu atau setan itu kan representasi ketakutan kultural suatu masyarakat. Kalau di Indonesia, takutnya sama pocong karena orang mati di Indonesia pakai pocong. Di Amerika Serikat, ketakutannya sama zombi. Itu saja bedanya. Hantu kita—aku pernah bikin inventarisasi—ada 42 jenis, tidak termasuk turunannya, seperti kuntilanak, wewe gombel, tuyul, dan segala macam. Kita memiliki ketakutan kolektif yang besar, banyak, dan beragam. Artinya, kita memiliki kepustakaan hantu yang sangat luas. Kekuatan kita di situ. Mau film science fiction? Wong tidak banyak orang yang percaya sama UFO (makhluk asing). Saya sudah mengeksplorasi hantu dalam antologi horor Folklore dan Halfworlds di HBO.

Apakah orang Indonesia juga senang film horor dari luar?

Film hantu itu universal, walaupun ketakutannya beda-beda. Ada yang takut vampir, pocong, dan lainnya, tapi takutnya kan sama. Rasa takut itu universal.

Apa perbedaan besar dalam membuat film horor dibanding yang lain?

Film horor lebih teknis, lebih presisi. Kalau syuting film drama, kita bisa lebih punya keleluasaan dari segi timing. Kalau film horor, kita berhubungan dengan ekspektasi penonton.

Seperti apa contohnya?

Kalau kita menonton film, orang berpikir, “Ini bakal keluar hantunya, nih.” Setiap saat kita harus memikirkan ekspektasi penonton. Entah kita berikan harapan itu entah menahannya. Antara kita pembuat film dan penonton kayak menari tango. Ketika orang mengira setannya akan keluar, kita tahan, atau kita kasih. Jadi kita harus tahu kapan waktunya kita kasih, kapan kita tahan.

Anda sendiri apakah terkejut atau ada rasa takut melihat filmnya?

Sudah baal. Kalau aku ketika menulis (skrip) tidak merasa takut, aku ganti skripnya. Di Pengabdi Setan, saat di halaman 70, aku merasa skripnya tidak seram. Aku select all-delete, ulangi lagi. Kalau aku menulis skrip selalu ditemani karena takut. Kalau aku tidak takut, pasti tidak nyeremin filmnya.

Apa resep membuat film seram?

Ini rahasianya. Film horor hanya bisa menakutkan kalau kita peduli pada karakternya. Kita merasa seram karena khawatir karakternya kenapa-kenapa. Kalau, misalnya, kita tidak peduli, tidak seram. Mau setannya keren bikinnya, kalau kita tidak peduli sama karakternya, enggak seram. Pengabdi Setan seram karena takut anggota keluarga, seperti Rini, Bondi, Tony, dan Ian, kenapa-kenapa.

Apakah iklim kita mendukung untuk berkembangnya industri film?

Film ini kan ada dua. Satu, sebagai karya. Kedua, sebagai produk komersial atau industri. Sebagai karya, untuk membuat film ada alatnya (kamera dan lain-lain). Kedua, estetika. Untuk berkarya, siapa saja sekarang ini bisa asal menguasai teknisnya. Sebagai benda komersial, manusia Indonesia 270 juta jiwa. Bioskop sekarang ada 2.400 layar. Sekarang sudah banyak OTT (over-the-top) seperti Netflix, Amazon, Disney, We TV, Vidio, dan segala macam. Masalah terbesar industri film Indonesia adalah kita kurang sumber daya manusia (SDM).

Apa beda masalahnya dengan pada 2019?

Sama. Kurang orang. Kalau pada 2019 SDM-nya lebih tinggi, bisa lebih tinggi lagi (capaiannya). Masalah SDM ini kami hadapi sudah lama, sejak awal 2000-an. Sekolahnya kurang. Sekolah khusus film kan belum ada. Di Institut Kesenian Jakarta, film itu satu fakultas. Demikian juga kayak di Universitas Multimedia Nusantara, Binus. Ada Jogja Film Academy, tapi kan kecil. Di Amerika banyak sekolah film. Di Korea Selatan, sekolah filmnya gede banget.

Apakah masuk festival film internasional bisa jadi tolok ukur capaian?

Salah satu. Festival kan macam-macam. Ada 5.000 di dunia. Ada lima festival film terbesar. Yang tertua itu Venice Film Festival. Lalu ada Cannes Film Festival, Sundance, Toronto, dan Berlin. Itu lima festival film yang utama. Kalau menang di sini atau masuk di sini sudah capaian yang luar biasa.

Bagaimana dengan Oscar?

Oscar bukan festival film. Kalau bisa menang Oscar, luar biasa. Itu tolok ukur banget. Kita, jangankan menang, masuk short list saja belum pernah.

Film Anda apakah ada yang terkena sensor?

Pernah. Sekarang oke, kok. Enggak ketat. Sekarang kita swasensor. Kalau film kita tersensor, mereka akan bilang, “Ini bakal jadi film 17 tahun ke atas karena ada adegan ini.” Kalau kita oke dipotong, jadi turun untuk kategori 13 tahun ke atas. Bukan mereka yang potong. Makin ke sini, swasensor makin diperlukan. Sekarang sudah oke menurutku.

Apa dampak pandemi terhadap industri film?

Kacau. Kita mengalami penurunan 90 persen karena industri film Indonesia 90 persen bersandar ke bioskop. Dengan ditutupnya bioskop, pendapatan film turun 90 persen sewaktu pandemi 2020-2021.

Apa yang dilakukan pekerja film untuk bertahan?

Berjualan puding. Yang beli teman-teman juga, yang jual makanan lain. Seperti barter. Temanku ada yang jualan masker, pengait masker. Banyaknya berjualan makanan. Kalau aku kebetulan suka menabung. Aku punya dua anjing, yang awalnya makan raw food, jadi diberi makanan kering.

Apakah masih ada masalah dengan pembajakan?

Itu nomor satu.

Melalui apa? Bukannya DVD atau CD bajakan sudah jarang?

Lewat online. Model industri film ada dua yang utama. Bioskop 90 persen, 10 persen free to air televisi sama platform (seperti Netflix). Kalau sudah tayang, pasti dikopi. DVD bajakan sudah tidak ada tapi (ada) untuk video online. Mereka untungnya gila-gilaan.



Joko Anwar

Tempat dan tanggal lahir: Medan, 3 Januari 1976

Pendidikan
S-1 Teknik Penerbangan Institut Teknologi Bandung

Karya Film
Penulis skenario film Arisan! (2003), Jakarta Undercover (2006), Quickie Express (2007), dan Fiksi (2008). Penulis skenario dan sutradara film Janji Joni (2005), Kala (2007), Pintu Terlarang (2009), Modus Anomali (2012), A Copy of My Mind (2015), Pengabdi Setan (2017), Gundala (2019), Impetigore atau Perempuan Tanah Jahanam (2019), dan Pengabdi Setan 2: Communion (2022)

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus