Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEBAGAI pemilik rawa gambut terbesar keempat di dunia, Indonesia tak bisa menjaga kawasan penahan laju krisis iklim itu. Luas gambut yang rusak mencapai 20 juta hektare atau 84 persen dari total ekosistemnya. Sejauh ini belum ada langkah strategis pemerintah untuk melindungi dan mencegah berlanjutnya kerusakan gambut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Maraknya kebakaran hutan dan ekspansi perkebunan menjadi ancaman serius kerusakan kawasan gambut. Di Sumatera dan Kalimantan, angka deforestasi dan konversi lahan gambut menjadi lahan kering melonjak dua kali lipat dibanding pada 1990-an. Ekspansi perkebunan kerap memakai metode pembersihan lahan paling murah dengan cara dibakar. Padahal pembakaran lahan gambut memicu pelepasan emisi karbon menjadi gas rumah kaca yang menyebabkan krisis iklim.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) hanya mampu merehabilitasi 52 ribu hektare dari target 122 ribu hektare pada 2020. Kecilnya area yang bisa direstorasi membuat Indonesia terancam gagal mencapai target penurunan emisi gas rumah kaca dalam proposal mitigasi krisis iklim yang disampaikan ke Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun lalu.
Rawa gambut adalah ekosistem terbaik dalam menyerap dan menyimpan emisi karbon. Seharusnya Indonesia memanfaatkan “anugerah” alam itu secara ekonomi ataupun ekologi, yakni dengan melindungi gambut untuk membantu mencegah krisis iklim sekaligus mendatangkan pendapatan dan devisa.
Cara terbaik mencegah kerusakan gambut adalah dengan merestorasinya, yakni melindungi yang utuh dan mengembalikan yang rusak. Masalahnya, area gambut terserak di banyak jenis tipe hutan dan lahan. Ada banyak lembaga dari kementerian hingga pemerintah daerah yang menguasai gambut dengan kepentingan masing-masing. Data kerusakan gambut, karena itu, tak pernah benar-benar eksak.
BRGM dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sama-sama memiliki data. Pemerintah daerah dengan wewenang otonominya juga bisa mengubah gambut menjadi lahan konsesi swasta untuk menaikkan pendapatan daerah. Silang sengkarut ini membuat restorasi gambut Indonesia tak kunjung beranjak dari klaim-klaim sepihak soal keberhasilannya.
Perlu ada kemauan politik yang kuat dari pemerintah untuk melindungi gambut. Misalnya dengan menyetop pemberian konsesi perkebunan, pertambangan, atau pertanian di lahan-lahan gambut. Setelah itu, ciptakan sistem insentif bagi siapa saja yang melindunginya. Cara paling cocok yang sejalan dengan mitigasi krisis iklim adalah perdagangan karbon.
Lewat perdagangan karbon, siapa pun yang melindungi gambut—masyarakat, pemerintah daerah, pemerintah pusat, ataupun swasta—bisa mendapatkan insentif dengan menjual jasa merestorasi gambut kepada produsen emisi di dunia. Dengan perdagangan karbon pula restorasi dan rehabilitasi gambut tak hanya menjadi proyek yang menghabiskan anggaran negara tanpa evaluasi seperti selama ini terjadi.
Sayangnya, kebijakan pemerintah sering berkebalikan dengan kepentingan ekologi—yang sebetulnya juga bisa mendatangkan keuntungan ekonomi. Skema perdagangan karbon tak kunjung jelas. Keputusan politik pemerintah pun lebih sering memanjakan industri ekstraktif yang merusak ekosistem gambut serta memproduksi emisi karbon lebih banyak.
Artikel:
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo