Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Direktur Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Sigit Reliantoro menyatakan hanya 16 persen wilayah ekosistem gambut dalam keadaan baik.
Sebanyak 1,2 juta hektare ekosistem gambut mengalami kondisi rusak sangat berat dan rusak berat.
Masih terdapat kanal-kanal dan kebakaran berulang di kawasan gambut, termasuk di kawasan yang telah dipulihkan.
HASIL inventarisasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada 2022 mengungkap fakta bahwa 83,43 persen atau 20,207 juta hektare dari 24,667 juta hektare total luas ekosistem gambut rusak. Direktur Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan (PPKL) KLHK Sigit Reliantoro mengatakan hanya 16 persen atau sekitar 4,024 juta hektare lahan gambut yang tidak rusak. Tingkat kerusakan gambut bervariasi, dari ringan, sedang, berat, hingga sangat berat.
“Yang rusak berat 1.053.886 hektare dan yang rusak sangat berat 206.935 hektare," kata Sigit dalam media briefing di kantor Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM), Selasa, 19 Juli lalu. Jika dijumlahkan, luas ekosistem gambut yang rusak berat dan sangat berat 1,259 juta hektare. Angka itu mirip dengan target restorasi ekosistem gambut yang menjadi tugas BRGM sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 120 Tahun 2020. BRGM menggantikan Badan Restorasi Gambut (BRG) yang dibentuk pada 2016 dan berakhir tugasnya pada 2020.
Menurut Didy Wurjanto, Kepala Kelompok Kerja Kerjasama, Hukum, dan Hubungan Masyarakat BRGM, selama bertugas sejak 2016 hingga 2020, BRG telah merestorasi gambut seluas 835.288 hektare di tujuh provinsi prioritas. Angka itu hanya memenuhi 92,4 persen dari target restorasi gambut seluas 903.889 hektare yang menjadi porsi BRG. “Kebijakan penghematan alokasi anggaran saat itu berdampak pada realisasi pembangunan infrastruktur pembasahan gambut,” ucapnya kepada Tempo, Jumat, 29 Juli lalu.
Sebetulnya, Didy menambahkan, luas target restorasi lahan gambut yang diberikan presiden kepada BRG sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 1 Tahun 2016 adalah 2 juta hektare. “Berdasarkan kalkulasi ulang oleh BRG, luas gambut yang harus dibasahi adalah 2.676.601 hektare,” tuturnya. Tapi, Didy melanjutkan, penanganan lahan seluas 1.772.712 hektare yang berada di wilayah konsesi menjadi kewenangan Direktorat Jenderal PPKL. Sisanya, seluas 903.889 hektare di luar wilayah konsesi, menjadi tanggung jawab BRG.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada tahun pertama masa tugasnya, kata Didy, BRGM sudah memenuhi 25 persen target pelaksanaan restorasi yang diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 120 Tahun 2020. Pada 2021, capaian luas lahan yang direstorasi adalah 300.346 hektare atau 25 persen dari target 1,2 juta hektare. Pada 2022, area restorasi yang harus diselesaikan BRGM adalah 30 persen (377 ribu hektare), pada 2023 sebesar 25 persen (300 ribu hektare), dan yang terakhir pada 2024 sebesar 20 persen (251 ribu hektare).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bagaimana dengan porsi KLHK? Program Officer Hutan dan Perubahan Iklim Yayasan Madani Berkelanjutan, Yosi Amelia, mengaku bingung terhadap klaim luas restorasi lahan gambut oleh KLHK. “KLHK mengklaim telah melakukan restorasi 3,5 juta hektare lahan gambut sampai akhir 2020," ucapnya. "Kita tidak bisa memverifikasi lokasi yang diklaim telah direstorasi itu ada di mana. Data mengenai jumlah itu tak pernah dibuka meski kami sudah memintanya.”
Ihwal kurangnya transparansi KLHK juga disampaikan Juru Kampanye Hutan Senior Greenpeace Indonesia, Syahrul Fitra. Menurut Syahrul, ada kesan KHLK menghitung realisasi kerja hanya berdasarkan laporan yang disampaikan perusahaan pemilik konsesi. Pada awal 2019, misalnya, KLHK mengklaim telah memulihkan 3,1 juta hektare ekosistem gambut selama 2016-2019, yang terdiri atas 68 area konsesi perusahaan hutan tanaman industri seluas 2.226.779,94 hektare dan sisanya berada di area perkebunan kelapa sawit dan masyarakat.
Syahrul mengatakan penetapan angka tersebut hanya didasari dokumen rencana pemulihan gambut perusahaan. Syahrul memberikan bukti, dalam dokumen rencana pembangunan jangka menengah nasional restorasi gambut 2020-2045, disebutkan bahwa capaian restorasi gambut di wilayah konsesi baru mencapai 143.448 hektare dari target 1,78 juta hektare. "KLHK tidak pernah transparan. Apakah sudah ada verifikasi ke lapangan atas rencana kerja pemulihan gambut oleh perusahaan pemilik konsesi?" Syahrul bertanya.
Petugas pemadam kebakaran berusaha memadamkan kebakaran lahan di Desa Sukarame, Pemulutan Barat, Ogan Ilir, Sumatera Selatan, 28 Juni 2022. ANTARA FOTO/Nova Wahyudi
Menurut Syahrul, rencana pemulihan gambut oleh perusahaan konsesi amat penting dilakukan dalam satu kesatuan hidrologis gambut (KHG). Terlebih perusahaan pemilik konsesi kerap membuka kanal-kanal untuk mengeringkan gambut agar lahan dapat ditanami. Keberadaan kanal, Syahrul menjelaskan, menjadi indikator kekritisan gambut dan mengancam program-program pemulihan gambut karena akan membuat gambut kering. Dalam situasi kemarau, gambut yang kering akan mudah terbakar.
Greenpeace Indonesia mencatat kebakaran hutan berulang kerap terjadi di lahan-lahan gambut yang memiliki kanal di 520 KHG yang berada di tujuh provinsi prioritas. Dari 520 KHG tersebut, terjadi kebakaran di 61 KHG dengan luas hampir 2 juta hektare pada 2015-2019. Mayoritas lahan ini terbakar pada 2015, seluas 1,28 juta hektare. Setelah 2015, kembali muncul kebakaran di 186 KHG dengan luas area terbakar hingga 936 ribu hektare.
KHG Sungai Sugihan-Sungai Lumpur di Sumatera Selatan, Syahrul menambahkan, menjadi contoh kebakaran berulang akibat keberadaan kanal-kanal dalam ekosistem gambut. Dalam KHG tersebut, menurut data Greenpeace, terdapat kanal-kanal yang panjangnya 13,7 ribu kilometer. KHG ini menjadi langganan kebakaran dengan wilayah yang terbakar pada 2015-2019 seluas 232,5 ribu hektare.
BRGM mencatat, di semua kesatuan hidrologis gambut di Indonesia, terdapat kanal-kanal yang panjangnya jika disambungkan mencapai 239.803,38 kilometer. Itu artinya panjang kanal-kanal ini setara dengan enam kali keliling bumi. Keberadaan kanal-kanal itulah yang memicu kebakaran lahan gambut yang terjadi berulang.
Dalam catatan Greenpeace, masih terjadi kebakaran di lahan yang telah direstorasi BRG pada 2016-2018 seluas 62.706 hektare. Menurut Didy Wurjanto, meskipun gambut sudah dibasahi, tumbuhan dan semak belukar di atasnya akan tetap kering selama musim kemarau. "Ini yang disebut kebakaran permukaan. Semak dan tumbuhan yang mengering akan jadi bahan bakar yang mudah terbakar," katanya. Namun, Didy mengimbuhkan, kebakaran area gambut yang sudah diintervensi dengan sekat kanal akan lebih mudah dipadamkan karena tak ada bahan bakarnya di bawah tanah.
Kategori restorasi gambut
- Prioritas restorasi pasca-kebakaran 2015-2017: 0,96 juta hektare
- Prioritas restorasi gambut lindung berkanal: 4,29 juta hektare
- Prioritas restorasi gambut tidak berkanal: 5,74 juta hektare
- Prioritas restorasi gambut budi daya: 1,86 juta hektare
Panjang kanal di tujuh provinsi prioritas
- Riau, Jambi, dan Sumatera Selatan: 137.616 kilometer
- Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Selatan: 86.248 kilometer
- Papua: 541 kilometer
Panjang kanal di kesatuan hidrologis gambut (KHG)
- Sebaran kanal terdapat di 239 KHG dari 520 KHG (45,96 persen)
- Kanal kurang dari 100 kilometer: 75 KHG
- Kanal 100-1.000 kilometer: 103 KHG
- Kanal lebih dari 1.000 kilometer: 61 KHG
Sementara itu, menurut Syahrul, program pembasahan (rewetting) tak bisa dilakukan dengan hanya berbasis proyek. "Bukan sekadar mengaliri air kembali ke gambut atau menutup kanal, tapi juga memastikan ekosistem di atasnya mendukung dengan menanam tanaman asli kawasan gambut (revegetasi)," ujarnya. Syahrul menjelaskan, selama kanal terus dibiarkan, rewetting tak akan pernah berhasil.
Yosi Amelia menyebutkan pembagian wilayah kerja berdasarkan area konsesi di luar lahan konsesi bisa mengancam upaya pemulihan gambut. "Yang namanya KHG adalah satu kesatuan ekosistem. Gambut tak mengenal konsesi atau di luar konsesi," tuturnya. Ia mengatakan upaya rewetting, revegetasi, dan revitalisasi yang dilakukan lembaga lain akan sia-sia jika dalam kesatuan KHG tersebut masih ada praktik pembukaan kanal, pengeringan kanal, ataupun pembakaran lahan.
Di sisi lain, Juru Kampanye Hutan Greenpeace, Iqbal Damanik, menyebutkan lemahnya aspek penegakan hukum memperlemah upaya restorasi gambut. "KLHK sebagai pemberi izin konsesi seharusnya memiliki fungsi pengawasan yang melekat. Di sana ada aspek penegakan hukum juga," ujarnya. Menurut Iqbal, sampai saat ini tidak ada penegakan hukum terhadap perusahaan-perusahaan yang masih membuka kanal di lahan gambut.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo