Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

Hakim Setiap Hari Digoda

Muhammad Syarifuddin terpilih menggantikan Muhammad Hatta Ali sebagai Ketua Mahkamah Agung. Sepak terjangnya dalam bidang pengawasan pernah membawanya menduduki posisi Kepala Badan Pengawasan dan Ketua Kamar Pengawasan Mahkamah Agung. Sederet terobosan seputar metode pengawasan dan pembinaan hakim muncul di era kepemimpinannya.

6 Juni 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ketua Mahkamah Agung Muhammad Syarifuddin/Tempo/M Taufan Rengganis

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Ketua Mahkamah Agung Muhammad Syarifuddin menekankan pentingnya pengawasan untuk menjaga integritas serta profesionalisme hakim dan aparatur peradilan.

  • Pernah menjabat Kepala Badan Pengawasan dan Ketua Kamar Pengawasan Mahkamah Agung, Syarifuddin berpengalaman menghadapi hakim nakal.

  • Ketua Mahkamah Agung mengatakan hakim akan terus didekati pihak yang beperkara karena setiap orang yang terseret kasus hukum pasti ingin menang di pengadilan.

SAMA seperti para pemimpin lembaga tinggi negara lain, Ketua Mahkamah Agung Muhammad Syarifuddin tidak pernah menjalani kerja dari rumah sejak merebaknya pandemi Covid-19. Selama bekerja di kantor, ia harus mengakrabi konferensi video dari sebuah bilik khusus di salah satu sudut ruang kerjanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Melalui layar monitor, ia menggelar rapat baik dengan sesama hakim agung maupun semua hakim tingkat pertama dan banding di seluruh Indonesia. “Saya dulu tidak pernah melirik video conference, tapi sekarang malah hampir setiap hari,” kata Syarifuddin, 65 tahun, dalam wawancara khusus dengan Tempo pada Jumat, 15 Mei lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dua hari sebelumnya, dalam pidato perdananya kepada semua hakim dan publik melalui kanal YouTube Mahkamah Agung, Syarifuddin menyampaikan pentingnya pengawasan untuk meningkatkan integritas serta profesionalisme hakim dan aparatur peradilan. Ia mengimbau tidak ada yang alergi terhadap pengawasan.

Syarifuddin menerima wartawan Tempo, Mahardika Satria Hadi dan Linda Trianita, di ruang kerjanya. Dalam perbincangan yang diselingi gelak tawa selama hampir dua jam itu, penerus Muhammad Hatta Ali ini membicarakan program kerjanya dan upayanya membatasi ruang gerak hakim nakal.

Bagaimana cara Anda menjaga dan meningkatkan integritas hakim?

Saya berangkat dari pengawasan. Saya pernah menjabat Kepala Badan Pengawasan dan Ketua Kamar Pengawasan (Mahkamah Agung). Kami dulu punya 13 tim hakim tinggi pengawas, sekarang mungkin 20-an tim. Kami juga punya auditor keuangan dan kepegawaian. Setiap Senin, kami memberangkatkan tim pengawas itu ke daerah-daerah. Sebelum berangkat, kami briefing dulu, kami bekali dengan pengaduan-pengaduan.

Apakah kerja tim pengawas selalu berangkat dari pengaduan?

Pengaduan tertulis langsung dari para pelapor atau lewat media massa. Itu kami tindaklanjuti. Tim hakim pengawas ini mobilitasnya tinggi. Kadang-kadang baru selesai tugas di daerah, belum sampai Jakarta sudah mendapat tugas baru. Ada yang kami kirimi penugasan lewat e-mail. Ada yang ketemu di bandara. Istilahnya “tukar koper” di bandara. Koper bersih diambil, koper kotor ditinggalkan.

Apa saja yang dilakukan tim pengawas ketika terjun ke daerah?

Begitu ke daerah, kami tidak boleh memberatkan obyek pemeriksaan. Kalau perlu ndak ada orang yang mengetahui karena hakim yang diperiksa itu terkadang menangani perkara yang sedang berjalan. Itu sebabnya kami sangat silent. Pertama, yang kami periksa adalah pelapornya. Pemeriksaannya boleh di pengadilan, boleh di mana pun.

Dari pengalaman Anda di bidang pengawasan, kebanyakan kasusnya seperti apa?

Beragam. Di dalam kode etik kami ada sepuluh ketentuan. Salah satunya tidak boleh bertemu dengan pihak (beperkara). Kalau bertemu dengan pihak ini, kami harus hati-hati juga karena tidak semua yang bertemu dengan pihak itu harus dipersalahkan.

Mengapa?

Bagaimana kalau, misalnya, ketemu orang secara tidak sengaja di jalan atau di lokasi lain. Biasanya ada pihak yang melapor, “Pak si Anu itu katanya kemarin ketemu sama pihak di situ.” Ada mata-matanyalah. Hakimnya memang tidak selalu bisa kami persalahkan. Kalau memang hakim itu enggak mengerti bahwa itu pihak, ya mau bilang apa. Hakim kan tidak selalu ingat kepada orang-orang yang beperkara. Sidang ada banyak orang. Kadang kami ndak ingat siapa saja yang ada di situ.

Yang termasuk kategori pelanggaran itu seperti apa?

Kalau dia misalkan sudah tahu itu pihak, lalu bilang ndak tahu. Tapi kami lihat dia sudah tiga kali ketemu, masak ndak tahu? Karena laporan itu detail, ketemu di mana saja, jadi kami tahu. Prosedur operasi standar (SOP) kami, kalau ada pihak beperkara ke kantor, misalkan mau menanyakan jadwal sidang, dia ndak boleh sendiri menemui hakimnya. Dia harus didampingi oleh pihaknya atau didampingi petugas keamanan kami. Jadi hakimnya tahu si A itu pihak yang beperkara. Kalau dia datang ke rumah, ya jangan diterima, he-he-he....

Bagaimana dengan pelanggaran yang lebih berat?

Ada hakim yang memang menjanjikan (sesuatu kepada pihak beperkara). Ada juga yang menerima (sesuatu dari pihak beperkara).

Dengan pengawasan ketat, sesulit apa menutup celah pelanggaran oleh hakim?

Hakim kan manusia biasa. Walaupun sudah kami bina, kami didik sekian lama, kode etiknya sudah dipahami betul, yang namanya manusia pasti ada lemahnya. Kadang-kadang orang bisa bilang, “Oh, saya ini kan paling anti dengan korupsi. Saya tidak mau terima (suap).” Itu karena dia tidak pernah dicoba. Hakim setiap hari diintai orang yang mau ketemu dia karena semua perkara itu ndak ada yang mau kalah, ndak ada yang mau dihukum. Pasti maunya bebas semua, pasti maunya menang semua. Cara mendekati hakim itu, dari pengalaman kami, ada macam-macam. Bisa lewat teman, atasan, keluarga. Artinya, hakim itu setiap hari digoda.

Apakah pengawasan bisa mencegah hal tersebut?

Memang ada satu-dua yang tergoda kalau tidak tahan imannya. Karena itu yang mau tergoda, kalau dia mendengar ada pengawasan, paling tidak urung niatnya. Kalaupun sudah ada niat, umpamanya, begitu tahu ada pengawasan, jangan diteruskan. Apalagi kalau kami jatuhkan hukuman disiplin.

Apa sanksi terberatnya?

Diberhentikan. Kami umumkan hukuman itu tiga bulan sekali di situs kami. Jadi bisa dilihat semua orang. Cuma tidak menyebut nama, hanya inisial. Kami juga tidak menyebut pengadilan mana, tapi inisial.

Mengapa tidak dibuka saja identitasnya agar memberikan efek jera?

Yang salah itu kan oknum hakim. Kalau kami sebut nama jelasnya, anaknya malu, istrinya malu. Semua ikut malu gara-gara itu. Kalau disebut kantornya, orang sekantornya jadi kena semua. Padahal yang berbuat satu orang.

Anda memperingatkan bahwa hakim yang tidak bisa dibina akan dibinasakan. Anda gusar terhadap sepak terjang hakim-hakim nakal?

Saya memberikan peringatan. Maksud saya dibinasakan bukan dibunuh ya, tapi diberhentikan, ha-ha-ha.... Bahasa pengawasan ya begitu. Kalau pelanggarannya berat, betul-betul sudah tidak bisa ditoleransi lagi, lebih bagus kami berhentikan saja. Daripada dia merusak yang lain dan citra kami. Tapi pemberhentian khusus untuk hakim harus dengan Majelis Kehormatan Hakim.

Bagaimana pengalaman Anda terjun dalam bidang pengawasan?

Mungkin Anda masih ingat saat kami menyamar (pada 2017). Pak Artidjo (Alkostar, mantan hakim agung) jadi ustad ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Saya ke Pengadilan Agama Jakarta Selatan. Pak Hatta Ali (Ketua Mahkamah Agung saat itu) ke Pengadilan Agama Jakarta Barat. Saya pakai jaket kulit, wig, kacamata. Ndak ada yang mengenali, he-he-he....

Saat itu apa yang diawasi?

Kami pura-pura mendaftar perkara untuk mengetahui pelayanan yang diberikan, apa masih ada penyimpangan dari prosedur operasi standar. Semua kantor saya masuki. Ketika mau pulang, baru saya panggil ketua pengadilannya.

Metode pengawasan apa lagi yang biasanya digunakan?

Kami membentuk mystery shopper, orang kami dan beberapa teman dari luar kami rekrut. Seperti Komisi Pemberantasan Korupsi itu, lho. Kami juga bekerja sama dengan KPK. Mystery shopper kami lengkapi dengan alat (perekam). Dia kan pakai topi, di topi itu ada alatnya, di pulpen, kancing baju, jam tangan juga ada.

Bagaimana Anda memastikan anggota tim pengawas tidak bermain mata dengan hakim yang diawasi?

Tim pengawas itu dicampur. Kami ada peradilan militer, tata usaha negara, agama, umum. Jadi agak susah kalau dia mau bermain, he-he-he.... Jangan sampai kalau, misalkan, hakim yang melanggar itu dari peradilan umum tapi yang dikirim orang peradilan umum semua. Lalu di Badan Pengawasan juga dilakukan audit kinerja dan audit integritas. Kami juga punya kode etik sendiri.

 

Ketua Mahkamah Agung Syarifuddin (kanan) saat dilantik di Istana Negara, Jakarta, Kamis (30/4/2020)./Tribunnews/Irwan Rismawan

Komisi Yudisial pernah merekomendasikan sanksi bagi 130 hakim yang terbukti melanggar kode etik dan pedoman perilaku hakim selama 2019. Mengapa Mahkamah Agung tidak menindaklanjuti semua rekomendasi?

Itu lagu lama yang selalu diperdendangkan, he-he-he.... Saat itu kami sudah membuat empat peraturan bersama antara MA dan Komisi Yudisial (KY). Di situ sudah diatur KY berwenang mengawasi pelanggaran kode etik hakim. Di luar kode etik, yang berwenang MA karena MA pengawas tertinggi jalannya teknis peradilan. Ketika itu, katakanlah putusan bebas, ternyata di balik putusan bebas itu disinyalir ada uangnya. Putusan bebas itu teknis. Siapa pun tidak boleh memeriksa hakim yang membebaskan perkara karena itu kewenangan hakim. Membebaskan orang yang tidak bersalah, benar dong. Sebaliknya, menghukum orang yang bersalah juga benar dong. Berarti bebas dan dihukum itu sama benar asalkan sesuai dengan bukti yang ada. Jika memang menurut KY di teknis itu ada nonteknis yang perlu diperiksa, semestinya KY meminta MA melakukan pemeriksaan bersama.

Benarkah saat itu hanya 10 usul sanksi yang ditindaklanjuti MA?

Lebihlah. Kalau memang pelanggaran yang dilakukan itu mengenai kode etik, semuanya kami laksanakan. Bahkan ada yang kami naikkan sanksinya. Tapi, kalau yang disalahkan itu mengenai teknis, ya ndak bisa kami proses.

MA kerap dikritik karena dinilai memberikan vonis ringan untuk koruptor. Pembelaan Anda?

Kasus per kasus, ya. Ada kasus yang korupsinya cuma Rp 10 juta atau Rp 5 juta. Ada yang agak besar tapi uangnya sudah dipulangkan semua. Tapi ada yang enggak dipulangkan sama sekali, yang jumlahnya besar juga ada. Kalau yang besar-besar itu tidak ada yang (vonisnya) ringan. Kami sedang menyusun pedoman pemidanaan khusus untuk Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. Mungkin peraturan Mahkamah Agung-nya akan bisa segera dikeluarkan.

Apa yang diperbaiki lewat pedoman tersebut?

Dengan pedoman pemidanaan ini bukan berarti kami membatasi kemandirian hakim. Kemandirian dan kemerdekaan hakim tidak bisa kami batasi. Tapi parameternya disebutkan di situ. Misalkan, kalau dia korupsi Rp 25 miliar ke atas bagaimana? Bagaimana jika sudah dipulangkan Rp 5 miliar, enggak dipulangkan sama sekali, atau yang akibatnya sangat merugikan masyarakat? Itu kami bikin kriterianya. Nanti ada kisaran hukumannya.

Bagaimana proses penyusunannya?

Sebelum menyusun ini, kami dibantu lembaga swadaya masyarakat CEGAH. Mereka sudah pernah riset ke beberapa negara, termasuk Amerika Serikat, untuk melihat bagaimana pedoman pemidanaan di sana. Sekarang kami kombinasikan. Dalam menetapkan itu, kami bekerja sama dengan KPK dan Kejaksaan. Kami harapkan ini sinkron, menjadi panduan bagi hakim dalam menjatuhkan pidana.

Apakah MA sebelumnya tidak memiliki pedoman sejenis?

Dulu MA pernah menyusun pedoman. Tapi karena terlalu rigid, mengekang hakim, hakim merasa tidak punya independensi lagi. Jadi ditinggalkan. Makanya sekarang kami susun sedemikian rupa tanpa menghilangkan kemandirian hakim.

Di masa pandemi ini, MA meminta KY melakukan seleksi calon hakim agung. Apa alasannya?

Sekarang hanya ada 47 hakim agung. Kami minta ke KY tambahan 16 orang. Menurut undang-undang, minimal 60 hakim agung, tapi sepanjang sejarah belum pernah terpenuhi. Kami minta masing-masing delapan hakim ad hoc dan hakim agung. Cuma, KY mengalami kendala. Karena pandemi Covid-19, mereka tidak bisa melakukan investigasi langsung ke orangnya. Kami berharap secepatnya.

Sejauh mana kekurangan hakim agung itu mengganggu kinerja MA?

Hakimnya ini sudah setengah mati. Sehari kalau bisa 24 jam kerja, ndak tidur ndak makan, he-he-he.... Berat sekali. Hakim agung ini walaupun bersebelahan kamar ndak pernah ketemu. Ketemunya kalau pas sidang saja. Kami di kantor setiap hari baca berkas. Kalau ndak selesai, kami bawa pulang. Besoknya kami bawa lagi ke kantor.

Berapa berkas yang bisa Anda selesaikan dalam sehari?

Tergantung kasusnya. Kalau kasus korupsi yang berkasnya tebal-tebal itu sehari saja ndak selesai bacanya. Jangankan mau mempertimbangkannya. Yang membikin perkara ini banyak, yaitu pembatasan di undang-undang sangat minim. Kami maunya, kalau bisa, ada perubahan undang-undang yang membatasi perkara yang kasasi. Jangan semua perkara bisa kasasi dibawa ke sini. Perkara yang kecil-kecil sudahlah selesai di tingkat pertama, bila perlu di tingkat banding.

Bagaimana solusinya?

Di Pasal 45A Undang-Undang Mahkamah Agung, batasannya perkara yang ancaman hukumannya setahun bisa kasasi. Dulu pernah kami usulkan, mungkin ancamannya dinaikkan, misalnya 4 tahun. Itu kami terbantu sekali. Jadi perkara-perkara kecil sudah selesai di bawah. Sekarang gugatan sederhana sudah kami naikkan menjadi Rp 500 juta dari semula Rp 200 juta. Ini dalam upaya mengurangi perkara yang masuk ke MA.

Anda pernah dikritik karena mengurangi hukuman beberapa terpidana korupsi di tingkat peninjauan kembali. Mengapa hukuman koruptor tidak diperberat?

Itu perasaan keadilan kami setelah kami mempelajari kasus mereka dan memori peninjauan kembali (PK). Berdasarkan memori itu muncullah perasaan keadilan tadi. Ini hanya perasaan keadilan. Menurut kami, yang adil seperti itu. Bukan berarti semua PK akan dikabulkan. Cuma memang kadang-kadang mereka yang mengajukan permohonan PK itu untung-untungan saja. Karena putusan di PK itu ndak boleh nambah. Kalau kasasi kan boleh nambah. Ya, maju sajalah, mana tahu dikurangi. Kalau pun ditolak, ya sudahlah tetap segini (hukumannya).

 


 

MUHAMMAD SYARIFUDDIN

• Tempat dan tanggal lahir: Baturaja, Sumatera Selatan, 17 Oktober 1954 • Pendidikan: Sarjana hukum di Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta (1980), Magister hukum di Universitas Djuanda, Bogor (2006), Doktor ilmu hukum di Universitas Katolik Parahyangan, Bandung (2009) • Karier: Hakim di Pengadilan Negeri Kutacane, Aceh (1984-1991); Hakim di Pengadilan Negeri Lubuk Linggau, Sumatera Selatan (1991-1995); Hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (2003); Ketua Pengadilan Negeri Bandung (2006-2011); Hakim tinggi di Pengadilan Tinggi Palembang (2011); Kepala Badan Pengawasan Mahkamah Agung (2011-2013); Hakim Agung (sejak 2013); Ketua Kamar Pengawasan Mahkamah Agung (2015-2016); Wakil Ketua Mahkamah Agung Bidang Yudisial (2016-2020); Ketua Mahkamah Agung (2020-2025)

 


 

Apa yang membuat hukuman terpidana bisa dikurangi di tingkat PK?

Yang jadi alasan di PK mudah betul. Pertama ada novum, ini susah kalau ndak ada bukti. Kedua, adanya pertentangan di antara putusan, itu kan susah mencarinya. Ketiga, kekhilafan hakim, ini yang paling gampang. Yang paling banyak PK lewat situ. Di samping tidak akan menambah putusan hukuman, juga masuknya lewat itu.

Anda unggul dalam pemilihan Ketua MA padahal nama Anda kurang diperhitungkan. Bagaimana ceritanya?

Saya bersyukur saja. Saya sama saja seperti kawan-kawan saya itu, ndak lebih baik. Apalagi kalau dibandingkan dengan pendahulu saya yang hebat-hebat. Pak Hatta, Pak Bagir Manan, Pak Harifin Tumpa, itu kan ndak sebanding kalau sama saya. Tapi saya yakin, kalau kita semua bersatu padu, satu tekad, menjalankan apa yang sudah kita gariskan, kita bisa lebih baik.

Seberapa dekat Anda dengan Hatta Ali?

Wah, kalau sama Pak Hatta mulai dari pertama jadi hakim, he-he-he.... Pak Hatta ditempatkan di Aceh, saya juga di Aceh. Sudah dari awal terus bersama-sama. Banyak kemajuan yang dicapai selama kepemimpinan beliau, pelaksananya ya saya. Saya motornya, he-he-he.... E-litigasi, misalnya, saya yang menjalankannya. Makanya saya hanya ingin melanjutkan yang sudah beliau kerjakan. Ada modifikasi sedikit-sedikit itu biasalah.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Mahardika Satria Hadi

Mahardika Satria Hadi

Menjadi wartawan Tempo sejak 2010. Kini redaktur untuk rubrik wawancara dan pokok tokoh di majalah Tempo. Sebelumnya, redaktur di Desk Internasional dan pernah meliput pertempuran antara tentara Filipina dan militan pro-ISIS di Marawi, Mindanao. Lulusan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus