Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Ringkasan Berita
Dua petani di Poso Pesisir Utara tewas ditembak Satgas Tinombala.
Sebelumnya, seorang pemuda juga tewas diberondong Satgas Tinombala.
Kekerasan terhadap terduga terorisme berulang kali terjadi dan tak jelas penyelesaiannya.
HUJAN lewat tengah hari membuat Fardil berteduh di gubuk kebun miliknya di Pegunungan Kawende Kilometer 9, Kecamatan Poso Pesisir Utara, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah, pada Selasa siang, 2 Juni lalu. Bersama kakaknya, Syarifuddin, serta tiga temannya, Anhar, Agus, dan Muhajir, ia baru saja memanen kakao dan kopi. Hari itu, Agus juga membawa Firman, 17 tahun, anaknya.
Dor! Dor! Dor! Dor! Dor!
Tiba-tiba berondongan tembakan menghajar gubuk tersebut. Mereka berhamburan sambil berteriak-teriak. “Petani, petani! Warga, warga!” ujar Fardil menceritakan kembali peristiwa itu kepada Tempo pada Jumat, 5 Juni lalu. Fardil melompat dan bersembunyi di balik tumpukan kayu balok. Lelaki 30 tahun itu bergidik melihat tanah porak-poranda dihujani peluru. Ia melihat Anhar dan Muhajir lintang-pukang menjauh dari pondok.
Dua meter darinya, Firman, yang memiliki keterbelakangan atau retardasi mental, tiba-tiba berdiri. Seiring dengan bunyi tembakan, Firman rebah bersimbah darah. Peluru menembus rahang kirinya dan meninggalkan lubang sebesar jempol kaki. Namun Fardil tak berani menghampirinya. Ia pun tak ingat berapa lama tembakan menghujani mereka. Dia hanya bisa menekan tubuhnya agar lebih tenggelam ke dalam tanah.
Pegunungan Kawende merupakan daerah operasi Satuan Tugas Tinombala. Tim gabungan kepolisian dan Tentara Nasional Indonesia itu memburu kelompok Mujahidin Indonesia Timur pimpinan Ali Kalora. Pada 19 April lalu, seorang petani hilang diculik dan ditemukan tewas tak jauh dari lokasi penembakan Fardil. Hingga Jumat, 5 Juni lalu, belum ketahuan siapa pelaku penculikan tersebut.
Begitu tembakan berhenti, Fardil kembali berteriak bahwa mereka adalah petani. Tak ada yang menyahut. Merasa aman, dia menghampiri Firman. Ayah Firman, Agus, muncul dan langsung menggendong Firman, membawanya menjauh dari gubuk. Mereka menghilang di balik rimbun pepohonan. Setelah itu, Fardil menyaksikan kakaknya, Syarifuddin, terkapar dengan lubang di leher bagian bawah tembus ke belakang. Seperti Firman, Syarifuddin tewas.
Setelah itu, polisi yang mengenakan rompi antipeluru mendatanginya. Mengarahkan senjata laras panjang, mereka menyuruh Fardil tiarap. Menurut dia, polisi berteriak-teriak menanyakan keberadaan teman-temannya. Polisi lalu meminta Fardil menelepon Anhar dan Muhajir, yang berhasil kabur.
Fardil sempat memprotes karena terus ditembaki meskipun mereka sudah berteriak menyatakan diri sebagai petani. Seorang polisi, kata Fardil, menyatakan tak mendengar teriakan tersebut. Mereka juga mengklaim sudah memberikan tembakan peringatan. “Tidak ada di antara kami yang mendengar peringatan tersebut,” ujar Fardil.
Menjelang gelap, Anhar dan Muhajir kembali ke gubuk tersebut. Fardil meminta polisi membawa mayat kakaknya kembali ke perkampungan. Namun polisi menolak dan tetap menahan mereka. Fardil berkukuh kakaknya harus dimakamkan di kampung halamannya di Maros, Sulawesi Selatan. Akhirnya, polisi membiarkan mereka pergi.
Fardil mengabarkan peristiwa tersebut kepada sejumlah kerabatnya. Muhammad Yusuf, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Poso yang mendapat informasi itu, menunggu di titik terakhir yang bisa dilintasi kendaraan sebelum masuk ke Pegunungan Kawende. Yusuf menyaksikan, dari arah pegunungan, Fardil muncul. Di belakangnya terikat dengan sarung tubuh Syarifuddin yang sudah berpisah nyawa. “Dia membawa mayat dengan motor,” kata politikus Partai Keadilan Sejahtera itu.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo