Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia membentuk tim audit untuk memverifikasi data kematian 24 dokter yang diduga meninggal karena terinfeksi virus corona.
Pasokan alat pelindung diri yang belum merata di banyak daerah, termasuk Jakarta, telah membuat para dokter ketar-ketir saat menangani pasien corona.
Ketua Umum PB IDI Daeng M. Faqih mendesak pemerintah mempercepat tes swab untuk deteksi dini penderita corona sehingga siap menghadapi lonjakan jumlah pasien.
SAAT pertama kali mengumumkan enam dokter yang meninggal karena dugaan terinfeksi virus corona pada Sabtu, 22 Maret lalu, Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) seperti memiliki rutinitas baru. Sejak itu, setiap ada dokter yang berpulang akibat Coronavirus Disease 2019 (Covid-19), organisasi profesi dokter ini selalu memasang poster ucapan dukacita di laman media sosial komplet dengan potret hitam-putih almarhum berikut nama lengkap dan gelar akademisnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di tengah merangkaknya jumlah korban meninggal, pengumuman dari PB IDI itu membetot perhatian publik. Khalayak dikejutkan oleh kenyataan bahwa satu per satu tenaga medis, khususnya dokter, yang selama ini berjuang di garis depan dalam memerangi pandemi Covid-19 tumbang karena terpapar virus corona baru. “Kami selayaknya memberikan penghormatan kepada anggota kami yang wafat,” kata Ketua Umum PB IDI Daeng Mohammad Faqih dalam wawancara khusus dengan Tempo, Jumat, 17 April lalu. Ia menyebutkan jumlah dokter yang meninggal mencapai 24 orang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Alasan lain PB IDI mengungkap identitas para mendiang dokter itu adalah agar menjadi pengingat bagi koleganya untuk lebih berhati-hati dalam menangani pasien Covid-19. Terlebih alat pelindung diri (APD) masih belum merata diterima semua dokter di daerah. Menurut Faqih, minimnya persediaan APD adalah persoalan serius. PB IDI telah menyerukan pentingnya APD bagi keselamatan dokter sejak 27 Maret lalu, tapi pasokan APD, terutama di sejumlah rumah sakit daerah, tak kunjung terpenuhi.
Di sela kesibukannya mengurusi penyaluran bantuan masker dan baju hazmat untuk anggota IDI cabang di berbagai daerah, Faqih menerima wartawan Tempo, Mahardika Satria Hadi dan Nur Alfiyah, di kantornya. Dokter yang juga mendalami hukum kedokteran ini menjelaskan berbagai hal, dari masalah APD, pentingnya uji swab massal, penambahan rumah sakit rujukan, hingga perlunya membuka data pasien untuk mencegah meluasnya penularan.
Apa sebenarnya penyebab banyaknya dokter yang meninggal?
Ada dua faktor besar. Pertama, alat pelindung diri. Kami sangat khawatir terhadap kawan-kawan yang melakukan modifikasi dari jas hujan ataupun plastik karena itu tidak maksimal 100 persen bisa melindungi. Kedua, justru yang kami takutkan itu bukan dokter di rumah sakit rujukan, tapi mereka yang berpraktik seperti di puskesmas, tempat praktik pribadi, klinik, atau rumah sakit biasa.
Mengapa mereka lebih rawan tertular?
Pasiennya bercampur. Orang yang datang ke situ bisa jadi tidak tahu bahwa dia sakit Covid. Malah dia mungkin konsultasi penyakit lain. Kadang-kadang orang konsultasi penyakit lain itu orang tanpa gejala (OTG) yang punya Covid. Karena konsultasi penyakit lain, si dokter akhirnya tidak terlalu waspada. Dia tidak mengenakan APD, wong konsultasinya bukan penyakit Covid, malah misalnya penyakit yang berkaitan dengan tulang.
Apakah kejadian seperti itu banyak?
Banyak. Dokter yang meninggal itu kebanyakan justru bertugas di rumah sakit non-rujukan. Bukan hanya rumah sakit, ada yang praktik pribadi. Itu karena dia ndak tahu OTG tadi itu. Sewaktu periksa dari mulut pasien, pasti keluar (droplet). Di situlah yang sangat berisiko kena. Makanya kami mengeluarkan imbauan kalau bisa dokter mengurangi jam praktik. Kalau dia masih praktik, tatap mukanya dibatasi, kecuali kasus urgen dan darurat. Jika terpaksa tatap muka meskipun bukan pasien Covid, dia harus pakai APD.
Benarkah banyak dokter tidak mengindahkan imbauan itu?
Mungkin kawan-kawan masih pede bahwa dia sehat, pasien yang datang tidak sakit Covid, kemudian kewaspadaannya kurang. Bukannya tidak mengindahkan, ya. Siapa yang tidak takut kena Covid?
Banyak pasien tidak mengaku punya riwayat kontak atau perjalanan ke negara-negara terjangkit Covid-19 karena takut ditolak masuk rumah sakit.
Saya hanya mendengar cerita, tapi itu ndak banyak. Di Jakarta Selatan pernah ada kasus seperti itu. Memang itu sangat berisiko. Kalau dia tidak mengaku, apalagi OTG, ya itu berat bagi petugas kesehatan. Alasannya waktu itu setelah ditanyai kenapa dia ndak mengaku, karena takut ditolak dokter.
Bagaimana mengatasinya agar kejadian seperti itu tidak terulang?
Pemerintah harus menentukan rumah sakit yang memang untuk Covid dan yang tidak. Bagi dokter, strategi itu penting. Bagi pasien juga penting. Tapi syaratnya rumah sakit yang ditunjuk untuk Covid harus melihat perkembangan. Kalau memang penambahan pasiennya banyak, ya, segera ditambah tempat tidurnya.
Rumah sakit rujukan banyak yang mulai kewalahan karena membeludaknya jumlah pasien. Bagaimana solusinya?
Dengan kondisi seperti ini, kami ingin pemerintah menambah rumah sakit rujukan. Kemudian mengatur pasien yang kondisinya ringan dan sedang jangan di rumah sakit rujukan. Mereka sebaiknya dipindahkan ke rumah sakit darurat Wisma Atlet sehingga kuota tempat tidur di rumah sakit rujukan cukup banyak untuk menampung pasien yang gejalanya berat.
Bagaimana sistem rujukan yang ideal untuk pasien Covid-19?
Dilihat dari hasil tes swab dan klinisnya. Katakanlah hasil tesnya positif. Tapi dari klinisnya dilihat, tanpa gejala, ringan dan sedang, atau ada gangguan napas. Dari tiga kriteria itu, penanganan isolasinya berbeda meskipun sama-sama diisolasi. Pasien positif tanpa gejala cukup isolasi di rumah, gejala ringan-sedang isolasi di rumah sakit darurat, untuk yang berat isolasi di rumah sakit rujukan. Jadi yang dimaksud rujukan itu setelah ada hasil pemeriksaan.
Pemeriksaan idealnya dilakukan di mana?
Bisa di fasilitas kesehatan juga, kan. Pemerintah menentukan dulu fasilitas kesehatannya di rumah sakit mana. Kalau kami menganjurkan diperluas sampai rumah sakit paling bawah, tipe C dan D yang punya pemerintah. Atau kalau pemerintah lebih banyak mengadakan tes, itu bisa ke puskesmas.
Dengan keadaan seperti sekarang, berapa tambahan rumah sakit rujukan yang dibutuhkan?
Kita sulit menghitungnya karena kita tidak tahu di mana saja PDP (pasien dalam pengawasan) yang menurut pemerintah 11 ribu orang itu. Sementara itu, ODP (orang dalam pemantauan) 150 ribu. Mereka yang tidak dilaporkan positif sekarang banyak yang sedang dirawat. Kalau tahu posisinya dan kondisi PDP berat atau ringan, kita mengetahui cara mengaturnya. PDP kan banyak juga yang meninggal. Nah, itu belum sempat terlapor karena belum keluar hasil tesnya.
Seberapa penting keberadaan orang tanpa gejala dalam penanganan wabah Covid-19?
OTG yaitu orang yang sudah terpapar dari orang yang positif tapi tidak menunjukkan gejala. Dulu kriteria ini masuk ODP. Sekarang dipisah, OTG yang betul-betul enggak ada gejala, ODP ada gejala tapi ringan banget, masih bisa isolasi diri di rumah. OTG ini strategis dalam rangka membendung penularan. Mereka sengaja dipisah karena disinyalir 80 persen orang yang kena Covid-19 tanpa gejala dan berpotensi menularkan ke mana-mana. OTG tidak merasakan gejala dan orang yang didekati juga tidak merasakannya.
Bagaimana cara mendeteksi keberadaan orang tanpa gejala?
Lewat tes PCR (polymerase chain reaction), bukan rapid test antibodi. Kalau antibodi, yang tanpa gejala enggak akan ketemu. Makanya tes itu sangat strategis untuk memutus rantai penularan karena yang OTG ketahuan. Orang yang dinyatakan OTG enggak boleh ke mana-mana.
Apakah Anda menilai data pasien yang dilansir pemerintah masih simpang-siur?
Ini karena perkembangan yang cepat dan dinamis. Alat periksanya dari awal memang terbatas, baru secara periodik ditambah. Data memang masih banyak yang belum terkonsolidasi dengan baik. Harapannya, kalau tes sudah disiapkan semua, data bisa cepat keluar.
Adakah problem dalam penyajian data pasien oleh pemerintah?
Kami pernah mengusulkan kepada pemerintah agar data itu dibuka. Karena ini untuk kepentingan umum, untuk kepentingan contact tracing, penanganan, data itu sebaiknya dibuka. Kami melihat pada kasus-kasus lain, seperti demam berdarah, begitu ada warga tertentu masuk rumah sakit biasanya pihak rumah sakit langsung menelepon kepala desanya atau kepala puskesmas, sehingga kepala desa dan kepala puskesmas mendatangi tempat warga itu dan warga sekelilingnya dikumpulkan untuk diberi tahu supaya tidak tertular.
Apa kendalanya?
Saya tidak tahu pasti, ya. Tapi sebagian mengatakan itu dari segi etika dan aturan karena itu hak pasien, rahasia kedokteran, jadi jangan dibuka. IDI meminta datanya cukup nama dan alamat, itu pun dibuka bukan secara umum, tapi terbatas kepada orang-orang yang berkepentingan untuk melokalisasi infeksi dan melakukan contact tracing. Misalnya dari hasil tes si A positif. Ini harus disampaikan ke aparat, ke petugas kesehatan di wilayahnya. Si A positif, silakan ini nama dan alamatnya, lalu dikarantina dan dicari kontaknya.
Bukankah selama ini penelusuran kontak sudah dilakukan oleh petugas dinas kesehatan?
Seharusnya sampai level bawah. Kepala desa, ketua rukun tetangga dan rukun warga, bintara pembina desa, Badan Pembinaan Keamanan Polri harus tahu. Petugas kesehatan, kader kesehatan, bahkan mungkin tokoh masyarakat juga bisa membantu melacak dan melokalisasi. Karena ada orang yang diminta pakai masker pun melawan. Ada resistansi. Tapi kalau data dibuka, kemudian semua aparat tahu, mereka bisa memberikan edukasi kepada masyarakat, membimbing masyarakat.
Apa konsekuensi secara hukum jika data pasien dibuka?
Saya melihatnya ini bukan kondisi normal. Setelah saya mendiskusikan dengan beberapa pakar hukum, kalau untuk kepentingan umum, boleh dibuka identitas pasiennya. Kepentingan umum tentu berbeda dibandingkan dengan kepentingan etik dan pribadi. Apalagi ada prinsip bahwa keselamatan masyarakat adalah hukum tertinggi.
Apakah itu juga menjadi pertimbangan PB IDI membuka dan menyiarkan identitas para dokter yang meninggal karena dugaan Covid-19?
Pertama, kami sebagai asosiasi dokter sudah selayaknya memberikan penghormatan kepada anggota kami yang wafat. Kedua, maksudnya sebenarnya mengingatkan kawan dokter yang lain bahwa harus hati-hati karena sudah ada yang wafat. Jangan sampai kewaspadaannya menjadi tidak baik.
Apakah tidak ada peringatan dari Kementerian Kesehatan kepada para dokter?
Ada. Tapi kalau mengumumkan dokter yang meninggal sepertinya enggak.
Bagaimana PB IDI mengetahui informasi tentang dokter yang meninggal?
Kami juga mengetahuinya dari mulut ke mulut. Dari kawan-kawan yang mengabarkan setiap ada sejawat kami yang meninggal. Bukan dari pemerintah karena data belum dibuka. Misalnya kami mendapatkan informasi dari teman sekerjanya atau keluarganya (almarhum). Kami menelusuri lagi benar atau enggak dokter tersebut meninggal, apakah terkait dengan Covid. Makanya kami bentuk tim audit untuk memverifikasi final, apakah betul data yang kami peroleh bahwa dokter-dokter itu meninggal dan meninggalnya karena Covid.
Sejauh ini, ada berapa dokter yang tercatat meninggal karena dugaan Covid-19?
Sampai sekarang ada 24 dokter yang dilaporkan meninggal terkait dengan Covid. Kami finalkan dan telusuri semuanya. Kalau kami dapat data resmi dari pemerintah, ngapain kami telusuri lagi, termasuk soal kenapa sampai bisa tertular. Kami ingin memberikan rekomendasi, baik internal untuk aturan praktik dokter maupun rekomendasi nanti ke pemerintah, sebaiknya apa saja.
Bagaimana PB IDI menilai penanganan Covid-19 sejauh ini?
Ada yang perlu ditingkatkan, yaitu melakukan pemeriksaan secara cepat dan luas. Kecepatan deteksi dini dengan testing menjadi penting. Instruksi presiden sudah betul, tapi implementasi perlu lebih cepat dilakukan. Misalnya peralatan untuk tes segera didatangkan, reagennya harus cepat, tempat untuk tesnya segera ditunjuk.
Keadaan yang dihadapi para dokter di lapangan seperti apa?
Peningkatan pasien masih banyak, mungkin sekarang 400 pasien per hari. Di lapangan, terutama di zona merah seperti Jabodetabek, kapasitas pelayanan rumah sakit sudah overload.
Apakah karena meningkatnya jumlah pasien positif?
Bukan hanya positif, tapi sudah pneumonia, yang mengalami gangguan napas.
Apakah sejauh ini ada dokter yang mengeluh frustrasi atau putus asa karena kondisi penanganan seperti sekarang?
Kalau sampai putus asa sih enggak, ya. Tapi kalau ketakutan, khawatir, banyak yang mengeluhkan. Karena itu, kami terus teriak-teriak tentang APD. Kawan-kawan dokter di bawah itu sangat khawatir.
Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Daeng M Faqih saat melakukan wawancara bersama Tempo di Jakarta, Jumat, 17 April 2020. TEMPO/Hilman Fathurrahman W
Bukankah pemerintah sudah mendistribusikan ratusan ribu APD?
Yang sudah terpenuhi itu rumah sakit pemerintah di semua daerah. Sedangkan rumah sakit swasta yang menangani Covid kekurangan. Bukan hanya di daerah, tapi di sekitar Jakarta juga ada. Contohnya Rumah Sakit Kramat 128 dan Rumah Sakit Annisa, Bekasi. Kami tahu karena mereka meminta bantuan ke IDI.
Bagaimana PB IDI mengantisipasi dampak para dokter yang rawan terpapar virus Covid-19 dari pasien?
Seharusnya yang menjadi dokter penanggung jawab pasien Covid itu dokter spesialis paru, spesialis penyakit dalam yang konsultan paru dan konsultan infeksi tropis. Pada kasus anak juga begitu, dokter spesialis anak yang konsultan paru. Kemudian dokter anestesi pada kasus-kasus pasien dirawat di ruang perawatan intensif (ICU). Dokter yang lain tidak bisa. Tapi lantas kami berpikir bahwa semua dokter harus bisa menangani karena jumlah dokter penanggung jawab pasien Covid terbatas. Mungkin se-Indonesia hanya 6.000 dokter.
Caranya bagaimana?
IDI telah menginisiasi Gerakan Dokter Semesta Melawan Covid-19. Kami sudah rapat dengan seluruh perhimpunan, IDI wilayah, dan satuan tugas Covid PB IDI. Karena jumlah pasiennya tambah banyak, harus ada skenario jaga-jaga. Semua dokter dilatih untuk bisa menangani Covid. Ini penting, apalagi nanti pengetesan masif, bakal banyak membutuhkan pelayanan. Agar dokter penanggung jawab pasien Covid tidak keteteran, harus ada yang mendukung.
Dengan kondisi seperti sekarang, apa yang perlu dievaluasi dari penanganan oleh Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19?
Karena wabah ini sudah ditetapkan sebagai bencana nasional, Gugus Tugas tidak lagi hanya sebagai koordinator. Tapi juga bisa sebagai pemrakarsa dan eksekutor. Kalau dia hanya koordinator lalu pelaksanaannya oleh kementerian teknis, agak kurang cepat. Seharusnya Gugus Tugas sudah bisa leluasa melakukan eksekusi. Saya berpesan satu hal: cepatlah dilakukan pengetesan, kan direncanakan ada di semua kota. Lalu disiapkan rumah-rumah sakit rujukan.
Apakah PB IDI sering dilibatkan dalam diskusi dengan Gugus Tugas?
Meskipun bukan organisasi pemerintah, kami telah berkali-kali diminta datang rapat, misalnya membahas tentang testing dan pedoman penanganan pasien. Diskusi dengan Pak Doni Monardo malah sejak sebelum beliau ditunjuk sebagai Ketua Gugus Tugas.
PB IDI juga menjalin komunikasi dengan Kementerian Kesehatan?
Saya dalam kasus ini berkoordinasi dengan Pak Terawan (Menteri Kesehatan). Soal APD, pelayanan di rumah sakit, kawan-kawan dokter yang perlu ditingkatkan kompetensinya untuk menghadapi Covid. Kami ngobrol langsung di Kementerian Kesehatan. Silaturahmi untuk menghadapi kasus ini.
PB IDI dan Terawan Agus Putranto pernah bersitegang karena persoalan etik kedokteran. Apakah insiden itu mempengaruhi hubungan IDI dengan Terawan?
Kan, sudah selesai dan itu persoalan etik. Di profesi itu ada ranahnya sendiri di Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK). Putusannya keluar sudah lama, bahkan sebelum saya menjabat Ketua Umum PB IDI. Menjaga supaya semua dokter itu mematuhi, mengikuti etika, itu pasti. Persoalan etika itu kan ada pengawasan dan pembinaan. Itu tugasnya MKEK. Tapi menjaga hubungan kesejawatan, ya, tetap juga harus dilakukan.
Bagaimana dengan penegakan sanksi disiplin yang dijatuhkan terhadap Terawan?
Saya tidak tahu, ya, karena itu dieksekusinya di IDI cabang. Sewaktu ke kantor PB IDI tahun lalu, Pak Terawan menyampaikan, “Saya sudah ndak praktik.” Padahal itu (sanksi) sebenarnya untuk sementara, kan, kalau enggak keliru satu tahun. Tapi ini kan sudah lebih dari satu tahun. Kemudian beliau menjadi menteri, sepertinya makin tidak mungkin lagi untuk praktik. Kami menghormati beliau sebagai pejabat negara.
DAENG MOHAMMAD FAQIH | Tempat dan tanggal lahir: Pamekasan, Jawa Timur, 30 Juni 1969 | Pendidikan: Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya, Malang (1996); Magister Hukum Universitas Hasanuddin, Makassar (2011); Fakultas Hukum Universitas Jakarta (2014) | Karier: Dewan Pengawas Rumah Sakit Bukit Asam Medika; Dewan Pengawas Rumah Sakit Terpadu Dompet Dhuafa Parung, Bogor, Jawa Barat; Dewan Pengawas Rumah Sakit Kartika Pulomas | Organisasi: Wakil Ketua Biro Hukum, Pembinaan, dan Pembelaan Anggota Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (2009-2012); Anggota Pusat Studi Bio Etika dan Hukum Kesehatan; Anggota Masyarakat Hukum Kesehatan Indonesia; Anggota Panel Ahli Kolegium Dokter Pelayanan Primer; Sekretaris Jenderal PB IDI (2012-2015); Wakil Ketua Umum PB IDI (2015-2018); Ketua Umum PB IDI (2018-2021)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo