Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Lolosnya Resolusi 2538 tentang personel perempuan dalam misi pemeliharaan perdamaian merupakan kesuksesan pertama Indonesia di Dewan Keamanan PBB.
Retno Marsudi juga terlibat dalam perburuan vaksin Covid-19 bersama Menteri BUMN Erick Thohir dan Direktur Utama PT Bio Farma Honesti Basyir.
Retno Marsudi mengatakan rivalitas negara-negara besar dunia, termasuk Amerika Serikat dan Cina, telah mempengaruhi Dewan Keamanan PBB. Salah satu imbasnya adalah lambatnya resolusi tentang pandemi Covid-19.
DI tengah kesibukan berburu vaksin Covid-19, Menteri Luar Negeri Retno Lestari Priansari Marsudi berhasil memimpin presidensi Indonesia di Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa pada Agustus lalu. Indonesia meloloskan draf Resolusi 2538 tentang personel perempuan dalam misi pemeliharaan perdamaian PBB pada 28 Agustus lalu. Dewan Keamanan PBB mengesahkan secara konsensus resolusi tersebut. “Ini resolusi pertama Indonesia selama berada di Dewan Keamanan PBB,” kata Retno, 57 tahun, dalam wawancara khusus dengan Tempo, Jumat, 4 September lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Indonesia, satu dari sepuluh negara anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB, juga mengajukan rancangan resolusi tentang penanggulangan terorisme. Namun draf resolusi itu gagal diadopsi setelah Amerika Serikat memvetonya. Padahal Indonesia sudah mengantongi dukungan dari 14 negara anggota Dewan Keamanan PBB, termasuk empat pemegang hak veto. Menurut Retno, Negeri Abang Sam menginginkan isu kombatan teroris asing dimasukkan ke rancangan resolusi. Padahal draf resolusi usulan Indonesia tidak ditujukan untuk membahas hal itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam perburuan vaksin Covid-19, Retno bersama Menteri Badan Usaha Milik Negara Erick Thohir dan Direktur Utama PT Bio Farma Honesti Basyir telah melawat ke Cina dan Uni Emirat Arab. Dari dua negara itu, pemerintah Indonesia memperoleh komitmen pengadaan vaksin hingga 340 juta dosis sampai akhir tahun depan. “Kami juga sudah berbicara dengan banyak pihak, termasuk AstraZeneca dan Imperial College London serta Gavi, CEPI, dan COVAX Facility,” ujarnya.
Melalui konferensi video dari kantornya, Retno berbincang dengan wartawan Tempo, Sapto Yunus, Mahardika Satria Hadi, Abdul Manan, dan Hussein Abri Dongoran. Ia membicarakan peran Indonesia selama menduduki presidensi di Dewan Keamanan PBB, perburuan vaksin Covid-19, hingga larangan masuk bagi warga Indonesia ke sejumlah negara akibat pandemi. Wawancara dilengkapi dengan percakapan melalui aplikasi pesan instan WhatsApp, Rabu, 9 September lalu.
Apa pertimbangan Indonesia mengusulkan resolusi mengenai personel perempuan dalam misi pemeliharaan perdamaian?
Ini resolusi pertama Indonesia selama berada di Dewan Keamanan PBB. Kami memilih resolusi ini karena, kalau dilihat dalam beberapa tahun terakhir, isu perempuan, perdamaian, dan keamanan terus diarusutamakan dalam politik luar negeri Indonesia. Kami melihat perempuan selalu menjadi bagian dari solusi, termasuk saat kita berbicara mengenai isu perdamaian dan keamanan.
Bagaimana lobi-lobinya sampai resolusi ini bisa lolos?
Ada serangkaian inisiatif kegiatan yang melatarinya. Tahun lalu, misalnya, kami menggelar pelatihan para diplomat perempuan Asia Tenggara mengenai isu perempuan, perdamaian, dan keamanan. Tahun ini, kami melatih bukan hanya diplomat, tapi juga negosiator dan mediator. Kami ingin membentuk jaringan untuk para negosiator dan mediator perempuan di Asia Tenggara yang akan dihubungkan dengan jaringan lain di berbagai belahan dunia. Kami juga membentuk jaringan perempuan Indonesia-Afganistan.
Sejauh mana presidensi Indonesia membantu meloloskan sebuah draf resolusi?
Cukup penting. Ditambah lagi karena saya perempuan. Ini kedua kalinya Indonesia memegang presidensi. Presidensi kali ini tidak mudah karena, pertama, berlangsung di tengah pandemi. Kedua, presidensi dilakukan di tengah meruncingnya rivalitas negara-negara besar di hampir semua isu yang tentunya berdampak pada pembahasan isu-isu di dalam Dewan Keamanan PBB. Kami konsisten memainkan peran diplomasi sebagai "jembatan" dari berbagai macam perbedaan itu.
Apakah Anda memperkirakan Resolusi 2538 bakal meraup dukungan telak dari negara-negara anggota PBB?
Kami juga terkejut. Kami mengawali resolusi ini dari Dewan Keamanan PBB, dan ternyata banyak negara yang mau menjadi kosponsor. Resolusi 2538 didukung dan dikosponsori oleh semua negara anggota Dewan Keamanan PBB plus negara di luar Dewan Keamanan. Kalau ditotal, ada 97 negara yang menjadi kosponsor. Dukungan yang besar berarti pemberdayaan perempuan adalah isu yang hendak diperjuangkan oleh dunia.
Bagaimana peran perempuan dalam pasukan Indonesia pada misi-misi perdamaian PBB?
Saya pernah mengunjungi pasukan pemelihara perdamaian kita di misi-misi PBB. Terakhir di UNIFIL, Libanon. Pasukan terbesar kita di situ. Saya melihat peran perempuan sangat diperlukan karena di wilayah-wilayah konflik tersebut ada, misalnya, kebiasaan atau tradisi ketika perempuan lebih nyaman berbicara dengan perempuan. Khusus untuk perempuan dan anak-anak, peran pasukan perempuan lebih bisa diterima. Belum lagi pelayanan kesehatan dan pemulihan psikologis akibat konflik. Kalau tidak salah, jumlah personel pasukan pemelihara perdamaian perempuan kita 158 dari 2.800 total personel Indonesia. Dari segi persentase memang masih kecil.
Apakah dalam Resolusi 2538 juga ditekankan perlunya meningkatkan jumlah perempuan dalam pasukan perdamaian PBB?
Bukan hanya persentase, tapi yang lebih penting adalah meningkatkan kapasitas. Di lapangan, ilmu-ilmu yang diperlukan bukan hanya ilmu keras tentang ketentaraan atau kepolisian. Pada akhirnya, ilmu soft skills sangat diperlukan. Bagaimana kita berkomunikasi dengan masyarakat setempat, penguasaan bahasa, pemahaman psikologis masyarakat, atau budaya di negara tersebut.
Indonesia juga mengajukan resolusi tentang penanggulangan terorisme yang sudah disetujui 14 negara tapi diveto Amerika Serikat. Bagaimana ceritanya?
Draf resolusi tentang terorisme menyangkut isu penuntutan, rehabilitasi, dan reintegrasi. Elemen yang dimuat antara lain strategi penuntutan dan upaya pendekatan hukum. Ini disebut pendekatan keras. Lalu ada strategi rehabilitasi dan reintegrasi yang mencakup pemberdayaan dan pelibatan masyarakat madani yang disebut pendekatan lunak. Intinya, pendekatan komprehensif dalam menangani masalah terorisme. Apabila dapat diadopsi, resolusi ini akan memberikan panduan bagi negara-negara dalam mengembangkan dan melaksanakan strategi penuntutan, rehabilitasi, dan reintegrasi yang komprehensif. Resolusi ini juga dapat menjadi alat bagi Dewan Keamanan PBB, negara anggota PBB, dan sistem PBB dalam memperkuat kerja sama penanggulangan terorisme.
Apa yang menjadi persoalan sehingga Amerika Serikat memveto draf resolusi itu?
Saya ingin menekankan bahwa rancangan resolusi ini memang tidak ditujukan untuk membahas foreign terrorist fighters (kombatan teroris asing) mengingat kita paham betul bahwa hampir semua negara anggota Dewan Keamanan PBB belum siap membahas hal itu.
Mengapa?
Mereka perlu mempersiapkan kondisi negara masing-masing. Sedangkan Amerika Serikat ingin isu foreign terrorist fighters masuk rancangan resolusi. Tapi komitmen Indonesia tidak akan berhenti. Kita akan terus mengedepankan pendekatan komprehensif ini dalam penanganan kasus terorisme dan dalam setiap diskusi mengenai isu terorisme di dunia internasional.
Apa upaya delegasi Indonesia dalam melobi Amerika Serikat?
Kami sudah sangat maksimal melakukan semua upaya agar bisa dicapai konsensus. Tapi pada akhirnya memang tidak bisa dicapai konsensus. Kemudian Amerika menggunakan veto, dan itulah yang terjadi.
Bagaimana respons empat negara anggota tetap Dewan Keamanan PBB lain yang memegang hak veto seperti Amerika?
Di antara negara empat besar, di luar Amerika, ada negara yang pada saat itu memerlukan waktu bagi kita untuk meyakinkannya. Akhirnya dapat diyakinkan memberikan fleksibilitasnya sehingga 14 negara (anggota Dewan Keamanan PBB) setuju, satu negara memveto.
Amerika Serikat di era Presiden Donald Trump yang mengutamakan kepentingan dalam negeri dan terlibat perseteruan dengan Cina telah menyuguhkan peta baru bagi dunia diplomasi internasional. Sejauh mana keadaan tersebut menyulitkan posisi Indonesia selama menduduki presidensi Dewan Keamanan PBB?
Di masa pandemi ini, seharusnya kita bersatu dan bersama-sama menyelesaikan tantangan. Tapi justru kami melihat rivalitas di antara negara-negara besar makin runcing. Dalam banyak hal, sampai menyulitkan Dewan Keamanan PBB dalam pengambilan keputusan-keputusan penting.
Seperti apa contohnya?
Resolusi 2532 mengenai Covid-19. Resolusi itu merupakan tindak lanjut dari seruan Sekretaris Jenderal PBB António Guterres mengenai gencatan senjata selama pandemi. Diajukan ke Dewan Keamanan PBB pada 31 Maret lalu, resolusi baru diadopsi pada 1 Juli. Karena pembelahan di Dewan Keamanan PBB, butuh waktu lebih dari tiga bulan untuk mengadopsi rancangan resolusi yang sebenarnya merespons kondisi darurat. Okelah, secara alami, setiap negara memiliki posisi, tapi kita juga bertanggung jawab kepada dunia.
Investasi Cina cukup besar di Indonesia. Sejauh mana hal itu berpengaruh terhadap upaya diplomasi kita dan hubungan kita dengan Amerika Serikat?
Kita berteman dengan semua negara. Ini sejalan dengan politik luar negeri kita yang bebas aktif. Beberapa pihak menanyakan apakah itu relevan sekarang? Saya sampaikan, masih sangat relevan. Dengan bebas aktif, kita tidak tersandera oleh keberpihakan pada satu pihak. Keberpihakan kita satu, yaitu pada kepentingan nasional.
Donald Trump ketika menarik diri dari beberapa inisiatif internasional juga beralasan mengutamakan kepentingan nasional. Lalu apa bedanya?
Saya kira posisi semua negara sama. Indonesian first, American first, Chinese first. Pertanyaannya, kita ini hidup di dalam sebuah global village. Ada tanggung jawab kita sebagai warga dunia untuk menjadikan dunia ini aman, damai, setara.
Benarkah laporan Amerika Serikat bahwa Cina akan membangun pangkalan militer di sejumlah negara, termasuk Indonesia?
Saya sudah sampaikan posisi Indonesia. Sesuai dengan prinsip politik luar negeri Indonesia, wilayah Indonesia tidak dapat dan tidak akan dijadikan basis atau pangkalan ataupun fasilitas militer negara mana pun.
•••
Anda bersama Menteri BUMN Erick Thohir dan Direktur Utama PT Bio Farma Honesti Basyir aktif berburu vaksin Covid-19 ke beberapa negara. Seperti apa komitmen pengadaan vaksin yang diperoleh pemerintah?
Dari lawatan ke Tiongkok dan Uni Emirat Arab, kami bisa mengamankan komitmen sebanyak 20-30 juta dosis vaksin untuk tahun ini. Sedangkan komitmen yang sudah diamankan untuk tahun depan adalah 290-340 juta dosis.
Apakah pemerintah juga menjajaki kerja sama dengan negara lain?
Selain dua negara itu, sejak awal kami sudah berbicara dengan banyak pihak, termasuk AstraZeneca dan Imperial College London. Itu di jalur bilateral.
Menteri Luar Negeri Retno Marsudi meninjau Camp Kontingen Garuda Indobatt UNIFIL, di Adshid al Qusayr, Lebanon Selatan, 26 Februari 2018. Dok. Kementerian Luar Negeri
Bagaimana dengan jalur lain?
Ada Badan Kesehatan Dunia (WHO) dengan Gavi, CEPI (Coalition for Epidemic Preparedness Innovations), dan COVAX (COVID-19 Vaccines Global Access) Facility. Jalur multilateral berusaha menghimpun vaksin, kemudian membagikannya kepada negara-negara berpendapatan rendah, menengah, dan tinggi. Tentu dengan persyaratan. Semua akan membedakan harga dan sebagainya. Ini sedang dibahas terus di Jenewa (markas WHO) dan Oslo (markas CEPI). Kami sedang berbicara dengan CEPI untuk melakukan kerja sama dengan PT Bio Farma dalam konteks manufaktur vaksin. Dari bulk dimanufaktur menjadi dosis-dosis.
Seperti apa hasil penjajakannya?
Bio Farma sudah masuk daftar pendek CEPI yang berpotensi baik untuk menjadi mitra manufaktur vaksin.
Benarkah pemerintah juga sedang menjajaki kerja sama vaksin Sputnik V buatan Rusia?
Saya kira kami sekali melakukan komunikasi. Tentunya dalam komunikasi itu, selain masalah ketersediaan vaksin, kami berbicara mengenai harga, keamanan vaksin, dan hal lain. Saya bukan ahlinya. Tugas saya, para diplomat, membuka jalan, meratakan jalan agar kita memperoleh akses. Sedangkan yang menilai dari sisi keamanan, efikasi, dan sebagainya tentu para ahli.
Amerika Serikat memiliki banyak perusahaan farmasi yang berlomba membuat vaksin Covid-19 untuk kebutuhan dalam negerinya. Bagaimana upaya para diplomat kita menjajaki kerja sama dengan Amerika?
Kami secara periodik melihat referensi, yaitu WHO. Di WHO selalu ada data berapa ratus calon vaksin yang sedang diuji klinis, mana yang paling maju tahapannya. Kebetulan yang kami upayakan sudah masuk daftar WHO. Tapi kami juga menjalin komunikasi dengan banyak pihak. AstraZeneca salah satu yang paling maju tahapannya.
AstraZeneca dan University of Oxford beberapa waktu lalu memutuskan menghentikan uji klinis tahap ketiga vaksin Covid-19 buatan mereka karena peserta pengujian di Inggris mengalami efek samping yang serius. Bagaimana dampaknya terhadap kerja sama yang tengah dijajaki pemerintah?
Kami mengetahui berita tentang AstraZeneca tersebut dan akan kami dalami lebih lanjut.
Vaksin buatan Gavi dan Serum Institute of India diperkirakan lebih murah dari bikinan Sinovac, Cina. Apakah ada penjajakan lebih dalam dengan Gavi?
Saat membicarakan harga, sekali lagi, kami bukan ahlinya. Ada tim yang menghitung. Tapi kalau vaksin buatan Gavi jatuhnya lebih murah, sangat masuk akal. Di situ ada subsidi dari berbagai macam pihak, termasuk filantropis, karena peruntukannya buat banyak negara. Harga untuk setiap negara bisa berbeda, tergantung ukuran income negara itu. Inilah yang sedang dibahas sampai akhir September nanti.
Selain melibatkan Bio Farma dalam kerja sama vaksin dengan Sinovac, PT Kimia Farma digandeng dalam kerja sama vaksin dengan Uni Emirat Arab. Seperti apa bentuknya?
Ada dua perusahaan farmasi kita yang bekerja sama dengan G42 (Healthcare Holdings) dari Uni Emirat Arab, yaitu Kimia Farma dan Indofarma. Kimia Farma untuk manufaktur vaksin. Sedangkan Indofarma berkaitan dengan teknologi laser berbasis kecerdasan buatan yang mampu mendeteksi virus Covid-19 secara cepat dengan tingkat presisi lebih dari 90 persen. Mereka ingin bermitra dengan Indonesia untuk distribusinya.
Pemerintah Malaysia melarang warga Indonesia memasuki wilayahnya untuk mencegah bertambahnya angka kasus impor Covid-19. Tanggapan Anda?
Itu hak dia untuk melakukan pembatasan. Menteri Pertahanan Malaysia menyatakan terdapat 12 negara dengan jumlah kasus positif Covid-19 lebih dari 150 ribu, yang warganya untuk sementara waktu tidak diperbolehkan masuk ke Malaysia. Tapi jangan lupa bahwa pemerintah Indonesia mengimbau warga negaranya untuk sementara tidak melakukan perjalanan ke luar negeri, kecuali untuk urusan sangat mendesak. Sampai saat ini Indonesia pun belum membuka perbatasan untuk kunjungan warga negara asing secara umum.
Bagaimana dengan kegiatan bisnis yang masuk proyek strategis nasional?
Kami buatkan koridor yang aman untuk mengakomodasi kegiatan bisnis yang esensial. Satu lagi adalah untuk perjalanan kedinasan yang sangat mendesak.
Dengan negara mana saja koridor tersebut dibuat?
Uni Emirat Arab, Korea Selatan, Tiongkok, dan sekarang kami bernegosiasi dengan Singapura. Kami membuat koridor yang aman untuk kepentingan yang memang dinilai perlu. Kunjungan saya ke Tiongkok, Uni Emirat Arab, dan Singapura itu melalui pengaturan yang sangat ketat dan khusus karena secara umum mereka belum membuka perbatasannya untuk warga negara asing.
Beberapa negara tidak menerima kunjungan warga negara Indonesia karena penanganan Covid-19 di Indonesia dinilai buruk. Tanggapan Anda?
Kan, memang warga negara Indonesia diimbau untuk sementara tidak ke luar negeri dulu.
Adakah protes dari negara lain mengenai penanganan Covid-19 di Indonesia?
Kita fokuskan energi untuk penanganan Covid-19 dan mengelola dampak sosial-ekonominya.
RETNO LESTARI PRIANSARI MARSUDI
• Tempat dan tanggal lahir: Semarang, 27 November 1962 • Pendidikan: S-1 Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta (1985); S-2 Hukum Uni Eropa di De Haagse Hogeschool, Belanda; Human Rights Studies di University of Oslo, Norwegia • Karier: Deputi Direktur Kerja Sama Ekonomi Multilateral (2001), Direktur Kerja Sama Intra-Kawasan Amerika dan Eropa (2002-2003), Direktur Eropa Barat (2003-2005), Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh Republik Indonesia untuk Kerajaan Norwegia dan Republik Islandia (2005-2008), Direktur Jenderal Amerika dan Eropa (2008-2012), Duta Besar Republik Indonesia untuk Kerajaan Belanda (2012-2014), Menteri Luar Negeri (sejak 2014) • Penghargaan: Order of Merit dari Raja Norwegia (Desember 2011)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo