Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Cina terus mengembangkan kapasitas militernya di kawasan Laut Cina Selatan.
Kerja sama Indonesia dan Cina berada dalam jalur positif.
Indonesia seharusnya bisa mendorong negosiasi terus dilakukan oleh negara-negara ASEAN yang bersengketa dengan Cina.
PEMANDANGAN unik muncul dari citra satelit yang merekam wilayah Pulau Hainan di selatan Cina. Foto dari satelit perusahaan Amerika Serikat, Planet Labs, pada 18 Agustus lalu itu menunjukkan sebuah kapal selam nuklir berada di depan gerbang masuk fasilitas bawah tanah Pangkalan Angkatan Laut Yulin di selatan Pulau Hainan. Pangkalan ini merupakan salah satu andalan militer Cina untuk memantau kawasan Laut Cina Selatan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Radio Free Asia, yang pertama kali melaporkan aktivitas kapal selam tersebut, menyebutkan bungker yang diakses dari laut tersebut merupakan pangkalan konstruksi dan fasilitas perawatan kapal selam. Lokasi itu juga menjadi pangkalan strategis sebagian besar kapal Armada Laut Selatan Cina. Dalam foto itu terekam pula dua kapal tunda sedang mendorong kapal selam yang diperkirakan tergolong Tipe 093 atau Kelas Shang tersebut ke dermaga.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Aktivitas armada laut Cina ini memperkuat prediksi bahwa Negeri Tirai Bambu terus membangun kekuatan militernya di kawasan Laut Cina Selatan. Selama lebih dari 50 tahun terakhir, kawasan itu merupakan “wilayah panas”. Cina terlibat sengketa batas maritim dengan sejumlah negara Asia Tenggara, seperti Vietnam, Filipina, Malaysia, dan Brunei Darussalam, di kawasan tersebut. Perairan itu juga menjadi titik persaingan militer Cina dan Amerika Serikat, yang memiliki sejumlah pangkalan angkatan laut di Samudra Pasifik.
Bekas pejabat Kementerian Pertahanan Amerika Serikat, Drew Thompson, seperti dilansir CNN, menyebutkan foto kapal selam itu adalah hal langka. Namun kemampuan Cina menyembunyikan fasilitas militer dan peralatan tempur bukan hal baru. “Cina berpengalaman membangun fasilitas bawah tanah dan ini sesuai dengan strategi mereka,” kata Thompson, yang kini bergabung dengan National University of Singapore.
Keberadaan kapal selam ini, menurut Thompson, menunjukkan perkembangan dan kualitas armada laut Cina. Thompson memperkirakan jumlahnya sangat besar dan terus bertambah. Lawan pun bakal kesulitan memantau keberadaan peralatan tempur Cina karena “melindunginya di fasilitas bawah tanah”.
Militer Cina berkembang pesat dalam 20 tahun terakhir. Laporan Departemen Pertahanan Amerika Serikat kepada Kongres pada tahun 2000 menyebutkan Cina mempunyai angkatan bersenjata yang besar, tapi perlengkapannya kuno. Misil-misil Cina hanya memiliki jangkauan pendek. Kemampuan teknologi informasi negeri itu pun ketinggalan zaman. Militer Cina dianggap tak memiliki kemampuan dan organisasi dalam menghadapi situasi perang modern.
Namun laporan departemen tersebut pada Agustus lalu menyatakan Cina sudah lebih maju dalam pembangunan armada perang laut, pembuatan peluru kendali lintas benua, dan sistem pertahanan udara terintegrasi. Presiden Republik Rakyat Cina yang juga Sekretaris Jenderal Partai Komunis Cina, Xi Jinping, sejak tiga tahun lalu memasang target negaranya memiliki militer berkelas dunia pada 2049.
Cina kini memiliki armada laut terbesar di dunia yang diperkuat lebih dari 350 kapal dan 130 kapal perang. Adapun armada Angkatan Laut Amerika Serikat, hingga awal 2020, berkekuatan 293 kapal. Cina juga memiliki lebih dari 1.200 misil balistik dengan jangkauan hingga 5.500 kilometer. Sistem pertahanan udara Cina pun merupakan salah satu yang terbaik di dunia dengan dilengkapi jaringan peluncur rudal S-300 dan S-400 buatan Rusia.
Pesatnya perkembangan militer Cina disokong gelontoran dana besar. Amerika sejauh ini masih menjadi negara dengan pengeluaran militer terbesar di dunia, mencapai US$ 732 miliar pada 2019. Namun Cina membuntutinya dengan pengeluaran militer lebih dari US$ 175 miliar dan menjadi yang tertinggi di Asia. Total pengeluaran untuk militer dari dua pesaing terdekat Cina di Asia, India dan Jepang, bahkan tak lebih dari US$ 120 miliar.
Kawasan Laut Cina Selatan saat ini menjadi faktor strategis dalam pertahanan dan ekonomi Cina. Sepertiga perdagangan global melewati jalur tersebut. Lebih dari 80 persen impor energi dan hampir 40 persen perdagangan Cina juga melewati kawasan ini. Untuk mendukung posisinya di kawasan tersebut, Cina membangun beberapa pos jaga dan permukiman di sejumlah pulau serta rutin menggelar latihan militer.
Cina juga aktif melakukan lobi diplomatik terhadap negara tetangga. Sepanjang pekan lalu, delegasi Cina yang dipimpin Menteri Pertahanan Wei Fenghe melakukan tur ke Malaysia, Indonesia, dan Filipina. Pada Selasa, 8 September lalu, Menteri Pertahanan Prabowo Subianto menerima kunjungan Wei dan delegasinya di Jakarta.
Kunjungan ini menjadi sinyal perkembangan relasi Indonesia dan Cina setelah Menteri Prabowo bertandang ke Beijing pada Desember 2019. Pada Juni lalu, keduanya juga bertemu di Moskow saat menghadiri perayaan 75 tahun Kemenangan Rusia dalam Perang Dunia II.
Dalam pertemuan yang digelar di Aula Bhineka Tunggal Ika, menurut laporan situs Kementerian Pertahanan, kedua menteri membahas sejumlah hal, seperti strategi pencegahan pandemi Covid-19, kerja sama industri pertahanan, pendidikan, dan isu kawasan Asia-Pasifik. Adapun Menteri Wei, seperti dilaporkan Xinhua, mengatakan militer Cina siap meningkatkan kerja sama di bidang pertahanan dan keamanan.
Meski aktif menjalin kerja sama, Cina juga berada di pusaran konflik kawasan Laut Cina Selatan. Cina mengklaim sebagian besar kawasan itu sebagai wilayah maritim mereka berdasarkan batas sejarah nine-dash line yang dibuat pemerintahan Kuomintang pada 1947. Batas-batas dalam klaim Cina itu memotong zona ekonomi eksklusif dan batas negara Vietnam, Filipina, Malaysia, serta Brunei. Pada 2016, pengadilan arbitrase internasional di Den Haag, Belanda, memenangkan klaim Filipina, yang memprotes klaim Cina atas wilayah mereka.
Parlemen Filipina pada pertengahan Agustus lalu mengesahkan Undang-Undang Nomor 6399 mengenai pencetakan peta negara di paspor. Peta itu memasukkan zona ekonomi eksklusif Filipina sejauh 200 mil dan wilayah Sabah, Malaysia. Menurut Rufus Rodriguez, anggota parlemen dari Kota Cagayan de Oro yang memprakarsai aturan tersebut, peta baru itu mempertegas kedaulatan Filipina di wilayah Laut Filipina Barat. Rodriguez, seperti dilaporkan Inquirer, juga memasukkan Sabah ke peta itu karena menjadi bagian dari hak sejarah Filipina.
Langkah Filipina ini memanaskan hubungannya dengan Malaysia. Apalagi Menteri Luar Negeri Filipina Teodoro Locsin Junior menyebut Sabah bukan lagi bagian Malaysia. Sabah, yang berada di ujung utara Borneo atau Kalimantan, adalah negara bagian Malaysia. Mengklaim Sabah sejak 1961, Filipina menyebut kawasan itu sebagai hadiah dari Sultan Brunei kepada sultan di Sulu, yang kini menjadi bagian Filipina.
Menteri Luar Negeri Malaysia Hishammuddin Hussein, lewat cuitan di Twitter, menyebut Locsin memberikan pernyataan tidak bertanggung jawab yang mempengaruhi hubungan kedua negara. Perselisihan kedua menteri via Twitter itu berlanjut setelah Locsin menyatakan Malaysia akan selalu berusaha menghindari klaim Filipina.
Peneliti dari Centre for Strategic and International Studies, Evan Laksmana, mengatakan Cina sebenarnya masih berkeras mengenai klaim dan posisi mereka di Laut Cina Selatan. Cina bahkan tidak mengakui putusan pengadilan arbitrase yang mendukung Filipina. Meski demikian, Cina kini mengajukan narasi yang tidak lagi eksplisit seperti konsep nine-dash line atas klaim mereka di Laut Cina Selatan. Cina berusaha menyesuaikan konsep klaimnya dengan Konvensi Hukum Laut Internasional (UNCLOS). “Seolah-olah klaim mereka lebih valid dibanding UNCLOS, padahal mereka sendiri dulu terlibat dalam pembuatan UNCLOS dan meratifikasinya," tuturnya kepada Tempo, Selasa, 8 September lalu.
Evan mengungkapkan, perselisihan Filipina dengan Malaysia dapat mempengaruhi kekuatan ASEAN. Apalagi mereka masih terlibat dalam sengketa Laut Cina Selatan dengan Cina. “Sangat disayangkan Malaysia dan Filipina tidak bisa bersatu menghadapi persoalan Laut Cina Selatan. Ini menjadi tidak strategis kalau mau bernegosiasi dengan Cina," ujarnya.
Indonesia tidak memiliki sengketa langsung dengan Cina dalam soal perebutan wilayah Laut Cina Selatan. Isu antara Cina dan Indonesia yang paling mencolok adalah saat terjadi perselisihan antara kapal perang Indonesia dan kapal penjaga pantai Cina di kawasan perairan Natuna Utara. Juga soal adanya sejumlah kapal nelayan Cina yang ditengarai memancing di zona ekonomi eksklusif Indonesia. "Itu hanya masalah penegakan hukum,” ucap Evan.
Ihwal sengketa Laut Cina Selatan, menurut Evan, Indonesia bisa mengambil peran dengan mendorong proses negosiasi dan kode berperilaku antara negara-negara ASEAN dan Cina. “Ini mekanisme untuk meredakan ketegangan,” tuturnya.
GABRIEL WAHYU TITIYOGA (REUTERS, THE AUSTRALIAN, THE EXPRESS, AP, XINHUA)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo