Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

Ini Bukan Kudeta Militer Biasa

Sejak kudeta militer meletus di Myanmar, Pemimpin Redaksi Myanmar Now Swe Win semakin intensif berkomunikasi dengan para jurnalisnya di lapangan. Meski tinggal di tempat persembunyian di Australia sejak tahun lalu, ia tetap menjalankan perannya dalam memimpin awak redaksi memberitakan setiap peristiwa yang terjadi di Myanmar. Swe Win mengatakan gelagat kudeta militer sebenarnya telah tercium sebelum pemilihan umum pada November 2020. Saat itu, junta militer melancarkan beberapa manuver politik untuk mendiskreditkan hasil pemilu. Hanya dalam satu hari, militer menggulingkan pemerintahan sipil terpilih yang dipimpin Aung San Suu Kyi dan Partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD). Myanmar didera krisis setelah kudeta militer memantik protes nasional dan aksi pembangkangan sipil di berbagai daerah. Puluhan korban tewas akibat bentrok dengan aparat keamanan. Ratusan demonstran, aktivis, hingga jurnalis ditangkap dan dipenjarakan.

6 Maret 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Swe Win, Pemimpin Redaksi Myanmar Now. Myanmar Now

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Melalui para koleganya di Myanmar, Pemimpin Redaksi Myanmar Now Swe Win memantau langsung perkembangan kudeta militer dari tempat persembunyiannya di Australia.

  • Swe Win mengatakan indikasi terjadinya kudeta militer di Myanmar sudah terendus sejak sebelum pemilu nasional ketika militer telah melancarkan manuver politik.

  • Menurut Swe Win, negara-negara ASEAN terutama Indonesia seharusnya terlibat lebih besar dalam meredakan krisis Myanmar.

DARI tempat persembunyiannya di Australia, Pemimpin Redaksi Myanmar Now Swe Win memantau keadaan rekan-rekannya yang meliput unjuk rasa nasional menentang kudeta militer di Myanmar. Mereka rutin berkomunikasi lewat aplikasi Zoom dan aplikasi pesan instan Signal. "Saya berusaha mengelola newsroom seperti biasa, bahkan lebih dari biasanya pada hari-hari belakangan ini," ucap Swe Win, 41 tahun, dalam wawancara khusus dengan Tempo, Selasa, 23 Februari lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Swe Win tak mengira ia dan keluarganya bakal menetap cukup lama di Negeri Kanguru. Ia semula hanya ingin pergi sementara dari Yangon, Myanmar, setelah beberapa kali dirisak dan diserang kelompok yang ia yakini berhubungan dengan intelijen militer dalam lima tahun terakhir. Sebagai pemimpin media independen yang memberitakan isu-isu sensitif secara mendalam dan kritis, dia kerap menjadi sasaran. Medianya antara lain menulis laporan investigasi perihal pembunuhan advokat muslim dan penasihat Partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD), Ko Ni, yang ditembak selepas kunjungan ke Aceh pada 29 Januari 2017. Ia juga digugat karena membuat tulisan yang mengkritik biksu radikal, Ashin Wirathu, yang memuji pelaku pembunuhan. Puncaknya, ia diserang sekelompok orang ketika berlibur bersama anak, istri, dan koleganya pada Desember 2019.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ia sebenarnya ingin memboyong keluarganya pulang selepas masa pemilihan umum nasional Myanmar pada Oktober-Desember tahun lalu. Ia memperkirakan situasi politik bakal kacau selama periode itu. Namun ternyata ia terjebak lockdown karena pandemi Covid-19. Swe Win makin tak memiliki alasan kuat untuk kembali ke Myanmar setelah prediksinya tentang kekacauan politik pasca-pemilu terbukti. "Kami pernah membuat analisis bahwa militer akan melancarkan kudeta," ucapnya.

Sejak 2 Februari lalu, sehari setelah kudeta militer, unjuk rasa dan pembangkangan sipil terus merebak di Myanmar. Junta militer merespons aksi damai itu dengan tangan besi. Aparat memukuli dan menembaki para pemrotes dan menewaskan puluhan korban. Bentrokan pecah di mana-mana. Tentara dan polisi telah menahan ratusan orang, dari aktivis hingga jurnalis. Rabu, 3 Maret lalu, merupakan hari paling berdarah. Sedikitnya 38 pengunjuk rasa tewas akibat bentrok dengan aparat. "Militer berusaha menanamkan rasa takut di masyarakat," tutur Swe Win, yang menugasi 35 jurnalisnya.

Kepada wartawan Tempo, Iwan Kurniawan, Mahardika Satria Hadi, dan Gabriel Wahyu Titiyoga, Swe Win menceritakan junta militer cukup lama mempersiapkan kudeta untuk menggulingkan pemerintahan sipil yang dinakhodai oleh Aung San Suu Kyi. Menguatnya popularitas NLD yang dipimpin Suu Kyi selepas memenangi pemilu membuat pemimpin militer Jenderal Min Aung Hlaing gerah. Menurut Swe Win, kudeta militer telah menyeret Myanmar, yang sedang menjalani transisi demokrasi, kembali ke era diktator.

Mengapa junta militer melancarkan kudeta terhadap pemerintah terpilih Myanmar?

Berdasarkan analisis kami, ada tiga alasan di balik kudeta itu. Pertama, meski mengontrol kekuasaan dan sektor ekonomi, militer sebenarnya kehilangan rasa hormat dan ketakutan yang begitu dinikmati di masa lalu. Sebelum transisi politik, banyak orang takut terhadap militer. Sekarang kami bisa mengkritik mereka. Militer kehilangan pengaruh dan privilese. Jadi mereka mau mendapatkannya kembali. 

Apa alasan lainnya?

Kedua, pemimpin militer sekarang mendapatkan posisinya bukan lewat kudeta. Dia hanya mewarisi kekuasaan dari pemimpin sebelumnya yang menjadi diktator. Dia sebenarnya tidak memiliki kontrol penuh di seluruh negeri. Ketiga, ini bisa jadi alasan terbesar, yaitu tak ada jenderal militer yang bisa melakukan kudeta dengan kekuatan sendiri. Ada pengaruh besar di belakangnya dan diduga datang dari Cina.

Apakah junta militer juga memiliki relasi dengan Cina?

Pengaruh besar Cina juga sampai ke para jenderal militer karena mereka berbisnis bersama. Cina melindungi para jenderal itu di dunia internasional. Misalnya, di Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa, Cina selalu membela para jenderal Myanmar. Cina tidak peduli atas pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi. Tanpa dukungan Cina, tak ada jenderal militer Myanmar yang bisa melakukan kudeta.

(Dewan Keamanan PBB gagal menyetujui pernyataan bersama atas kudeta militer di Myanmar dalam sidang 2 Februari lalu karena Cina tidak mendukungnya. Sebagai salah satu dari lima anggota tetap Dewan Keamanan PBB, Cina memiliki hak veto.)

Sekuat apa motif Jenderal Min Aung Hlaing untuk berkuasa?

Semua pemimpin militer sebenarnya mau menjadi raja. Mereka tidak mau berbagi kekuasaan dengan kelompok lain. Pemimpin militer saat ini, berdasarkan hukum, sudah harus pensiun pada usia 65 tahun, tapi dia tidak mau pensiun. Jadi kudeta ini terkait dengan ego personal dan ambisinya.

Anda membuat analisis bahwa militer akan melancarkan kudeta. Apa indikasinya?

Militer sudah menunjukkan indikasi secara jelas bakal melakukan kudeta sebelum pemilu. Misalnya, untuk pertama kalinya panglima militer menggelar pertemuan dengan pemimpin dari 43 partai politik pada Agustus 2020. Berdasarkan konstitusi, militer menguasai 25 persen kursi parlemen. Tapi mereka rupanya ingin lebih. Makanya mereka mencoba menarik dukungan dari partai-partai politik itu. Jenderal Min Aung Hlaing bahkan membuat ancaman terbuka bahwa tidak ada yang tidak bisa dia lakukan. Itu sinyal jelas bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi.

Apa yang terjadi dalam pertemuan itu?

Para pemimpin partai yang hadir dalam pertemuan itu meminta panglima militer mengintervensi jika hasil pemilu tidak kredibel. Jadi mereka sudah mengklaim bakal ada penipuan hasil pemilu bahkan tiga bulan sebelum pemilu digelar.

Petinggi NLD juga ikut dalam pertemuan?

Tidak. Sebab, pertemuan itu sama sekali tidak mengundang partai-partai politik yang sahih. Sebagian besar yang hadir adalah partai proksi (junta militer). Jadi sudah ada tanda-tanda militer merencanakan justifikasi politik untuk melancarkan kudeta. Mereka juga membuat lusinan pernyataan tentang bagaimana hasil pemilu tidak benar. Saat itulah kami menyadari ada potensi sekitar 70 persen kudeta akan terjadi.

Anda juga mendapatkan informasi tentang kapan kudeta militer saat itu akan dilancarkan?

Kami memperoleh bocoran dari orang dalam militer tiga-empat hari sebelum kudeta. Ada surat yang dikirimkan ke Aung San Suu Kyi. Isinya meminta NLD, yang memenangi pemilu, harus menunda sidang parlemen baru yang dimulai pada Senin pagi, 1 Februari lalu. Itu permintaan panglima militer. Jika permintaannya tidak dituruti, panglima militer menyatakan akan melakukan apa pun yang dia inginkan. Tapi Aung San Suu Kyi tidak menurutinya.

Apa yang Anda lakukan dengan informasi itu?

Kami mendapat kabar soal kemungkinan kudeta itu pada Kamis pagi, 28 Januari lalu. Kami sudah membuat beritanya di situs Myanmar Now bahwa akan ada kebuntuan politik di Naypyidaw (ibu kota Myanmar). Ketika menerbitkan berita itu, kami mendapat kritik dari asosiasi jurnalis yang menyebut berita itu dibuat-buat. Mereka beralasan kudeta belum terjadi, mengapa harus memberitakannya?

Bagaimana respons Anda dan kolega di Myanmar Now saat itu?

Itu bukan sekadar berita, karena kami harus melihat bukti-bukti pendukungnya. Kami membuat analisis tentang situasi yang mengantarkan kami hingga akhirnya mendapat petunjuk soal surat itu. Kami mendapat bocoran tapi tidak bisa mengungkap siapa pembocornya. Lagi pula, siapa yang berani secara terbuka mengungkap rencana kudeta itu? Jadi memang ada bukti sahih kudeta akan terjadi dalam 72 jam. Kami sudah menulis Aung San Suu Kyi bakal ditahan dalam tempo 72 jam. Kami jadi satu-satunya media yang menerbitkan cerita itu. Tapi dampaknya kami dikecam membuat berita palsu.

Ternyata kudeta benar-benar meletus pada Senin pagi itu.

Setelah terjadi kudeta, dalam waktu semalam sudah ada beberapa lusin orang yang ditangkap. Tidak ada satu malam berlalu tanpa penangkapan. Aparat keamanan menggerebek rumah-rumah di tengah malam. Orang-orang dimasukkan ke lori atau truk tentara.

Dari komunikasi Anda dengan para kolega Myanmar Now, bagaimana keadaan di Myanmar saat itu?

Militer menggunakan tiga strategi untuk menekan penentang kudeta. Penangkapan tengah malam itu salah satunya. Mereka berusaha menanamkan rasa takut di masyarakat. Misalnya, mereka tak cukup membawa 20 tentara hanya untuk menangkap seorang penduduk. Mereka datang beramai-ramai menggeruduk rumah. Mereka juga membawa senjata, senapan mesin. 

Apakah ada kolega Anda yang ditangkap?

Belum ada. Kami sudah melakukan evakuasi setelah menurunkan berita prediksi kudeta itu. Kami bahkan menutup kantor dua hari sebelum kudeta.

(Sedikitnya delapan jurnalis, termasuk reporter Myanmar Now Kay Zon Nway, telah didakwa setelah ditahan saat meliput unjuk rasa anti-kudeta di kawasan Sanchaung, Yangon, 2 Maret lalu. Kay Zon Nway ditangkap pada 27 Februari lalu dan ditahan di penjara Insein, Yangon, hingga 12 Maret 2021.)

Bagaimana para kolega Anda menjalankan kerja jurnalistik?

Sebagian besar awak redaksi bekerja diam-diam. Saya berusaha membuat rumah aman untuk kolega kami. Kami menandai sejumlah area yang tidak dikendalikan pemerintah, mengingat negara kami pernah mengalami perang saudara. Di wilayah sekitar perbatasan ada semacam daerah abu-abu, tersebar di timur, barat, sepanjang tapal batas dengan India dan Cina. Kami mengirim sejumlah kolega ke sana supaya mereka bisa bekerja tanpa takut ditangkap pada tengah malam.

Bagaimana Anda mengatur agar pemberitaan bisa terus berlangsung?

Kami tetap perlu memberikan liputan langsung soal protes yang berlangsung. Kami juga perlu memberikan laporan yang berfokus pada latar belakang; situasi kompleks pada topik yang beragam, dari politik, ekonomi, dan lainnya, termasuk soal strategi militer. Saya membagi awak redaksi dalam dua unit. Pertama, mereka yang bekerja tanpa terjebak hiruk-pikuk protes sehingga bisa berfokus menyusun laporan mendalam. Pada saat bersamaan, kami menerjunkan jurnalis yang bisa memberikan liputan real-time. Sebab, militer sudah memanipulasi Internet. Jadi kami tidak punya privasi lagi. Setiap hari, dari pukul 01.00 hingga 09.00, kami tak bisa mengakses Internet.

Swe Win memberikan keterangan pers di Myanmar. https://www.facebook.com/supportkoswewin

Junta militer menyatakan akan menggelar pemilu yang bebas dan adil. Apakah Anda optimistis pemilu akan dilaksanakan di Myanmar?

Saya pikir itu hanya manuver politik. Militer kini membentuk kabinet baru. Para menterinya adalah pemimpin partai politik yang tak pernah menang dalam pemilihan apa pun. Mereka justru kalah telak pada pemilu 2020. Jika melihat itu, siapa yang yakin pemilu akan diselenggarakan secara bebas dan adil oleh militer? Militer membubarkan komisi pemilihan dan membuat komisi pemilihan sendiri untuk mengawasi pemilu. Tanpa kredibilitas, siapa yang bisa mempercayai komisi pemilihan? Kalaupun pemilu digelar, semua pemimpin partai populer yang didukung rakyat telah dijebloskan ke penjara.

Bukankah NLD masih mendapat sokongan yang besar dari rakyat Myanmar?

Partai NLD sebenarnya sudah dihancurkan. Banyak pemimpinnya dijebloskan ke penjara. Ini seperti pertandingan sepak bola, misalnya tim nasional Indonesia versus Myanmar, tapi anggota tim Indonesia orang Myanmar semua, he-he-he. Jadi bisa dibayangkan seperti apa hasil pemilu nanti. Militer akan menggelar pemilu, tapi hanya ada partai politik mereka yang bersaing. Publik tak akan punya partai politik yang mereka dukung untuk dipilih. Kudeta adalah bukti militer tak akan pernah bisa mengatur pemilu yang bebas dan adil. Ini bukan kudeta biasa. Ini kudeta yang diluncurkan setelah pemilu, karena mereka tak bisa menerima hasil pemilu yang bebas dan adil. Militer tak bisa menerima kemauan mayoritas rakyat.

Myanmar memiliki banyak kelompok etnis minoritas. Apakah mereka mendukung kudeta militer?

Ada penentangan publik yang kuat di daerah-daerah kelompok etnis minoritas terhadap kudeta. Tapi partai politik etnis, yang secara tradisional menentang militer dan tidak pernah bangga dengan militer, bungkam. Mereka memiliki dilema politiknya sendiri. Mereka tidak suka militer, tapi sebenarnya juga tak menyukai Aung San Suu Kyi.

Mengapa mereka tidak menyukai Aung San Suu Kyi?

Sikap politik Aung San Suu Kyi adalah mencoba bekerja sama dengan militer. Ada beberapa partai politik etnis yang tak setuju dengan sikapnya, termasuk saya pribadi. Kami tidak bisa berkolusi dengan para jenderal militer. Dalam kasus penganiayaan terhadap 100 ribu muslim Rohingya, misalnya, partai berkuasa dan mayoritas rakyat bungkam. Saya tidak pernah setuju. Militer bertanggung jawab atas semua kekejaman itu. Militer perlu dikritik. Partai berkuasa harus mengkritik militer. Jika kita memiliki monster yang berbahaya, kita harus melawannya.

Generasi muda tampak mendominasi berbagai unjuk rasa menentang kudeta militer. Mengapa?

Kami mengalami empat-lima dekade kediktatoran militer. Lalu selama sepuluh tahun terakhir kami menikmati demokrasi terbatas. Rakyat menghargai perubahan ini. Orang berusia 40-an dan 50-an tahun bisa memahami sistem politik yang tak stabil. Tapi anak muda yang sekarang memimpin protes tidak pernah menderita karena kediktatoran militer. Untuk transisi politik, tentara mengontrol rakyat dengan sangat ketat. Bagi kaum muda, kediktatoran adalah hal baru. Mereka tak dapat menerima, misalnya, pemadaman Internet. Mereka tumbuh dengan Internet, tapi sekarang tidak bisa mengakses Internet.

Anak-anak muda Myanmar sangat marah terhadap kudeta militer?

Iya, karena masa depan merekalah yang akan dihancurkan. Bukan masa depan generasi lebih tua. Kami akan mati lebih dulu. Saya telah kehilangan masa muda, dari usia 20 hingga 27 tahun, karena hidup di penjara. Saya tidak perlu mengeluh. Tapi kaum muda menderita banyak kerugian karena kudeta. Sama halnya generasi muda Indonesia yang berusia 20-an tahun. Mereka tidak akan memahami kediktatoran. Misalnya, tentara Indonesia mengumumkan kudeta, saya kira anak muda yang paling marah dan tidak bisa menerimanya.

Sejauh mana Anda melihat peran ASEAN dalam mengatasi krisis di Myanmar?

ASEAN (Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara) secara keseluruhan harus berdiri dengan kemauan rakyat (Myanmar). Mereka harus membujuk militer memulihkan demokrasi, kekuasaan ke pemerintahan sipil yang sah yang dipilih rakyat. ASEAN harus membujuk militer menghormati hasil pemilu 2020. Jika tidak, publik Myanmar akan mulai mengkritik ASEAN.

Apakah langkah diplomasi yang diambil Indonesia sudah tepat?

Indonesia menjadi negara demokrasi selama dua dekade terakhir. Indonesia harus menjadi yang terkuat mewakili ASEAN untuk menyerukan pemulihan demokrasi di Myanmar. Apabila ASEAN ataupun Indonesia menyatakan akan membujuk junta militer menggelar pemilu lagi dan menghormati hasil pemilu, junta militer akan sangat senang. Ini menjadi pengakuan atas pembenaran yang mereka gunakan untuk melancarkan kudeta.


SWE WIN | Tempat dan tanggal lahir: Yangon, 4 Juni 1978 | Pendidikan: S-1 Bahasa Inggris dari Dagon University, Yangon (1998), Magister Jurnalistik dari University of Hong Kong (2009) | Karier: Reporter Senior Irrawaddy News Website (November 2009-Mei 2012), Jurnalis Lepas di Myanmar (April 2012-Desember 2013), Koresponden Senior Myanmar Now (Februari 2015-Mei 2016), Pemimpin Redaksi Myanmar Now (Maret 2016-sekarang) | Penghargaan: The Society of Publishers in Asia Award (2016), President's Certificate of Honor for Social Service (2016), The European Union's Schuman Award for Human Rights (2017), Ramon Magsaysay Award for Emergent Leadership (2019)

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus