Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PERSIS setahun lalu pasar finansial global sempat meleleh ketika wabah Covid-19 mulai menghantam negara-negara Barat. Harga berbagai aset keuangan, baik obligasi maupun saham, berjatuhan. Untung ada suntikan likuiditas dari bank sentral sejumlah negara maju yang membuat pasar tidak kolaps. Kini gejala serupa mulai muncul lagi, pasar kembali bergejolak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Suntikan likuiditas itu sudah menggelembungkan harga menjadi sangat tidak proporsional dengan kondisi fundamental ekonomi. Suntikan yang awalnya menyelamatkan pasar bakal menjadi penyebab runtuhnya harga lantaran dosisnya sudah berlebih. Dengan kata lain, sudah waktunya ada koreksi terhadap harga-harga yang melonjak tak masuk akal itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Investor sedunia tentu sudah mendapat cukup banyak peringatan. Yang terakhir, salah satunya, dari Guo Shu Qing, Ketua Komisi Regulator Bank dan Asuransi Republik Rakyat Cina. Pada Selasa, 2 Maret lalu, ia menyebutkan pasar finansial di Amerika Serikat ataupun di Eropa, cepat atau lambat, pasti bakal mengalami koreksi harga.
Pertanda gejolak sudah muncul di pasar obligasi. Harga-harga berjatuhan, yang berarti naiknya imbal hasil atau yield. Kecemasan investor bahwa inflasi akan datang kembali membuat pasar obligasi langsung bereaksi. Bahkan Warren Buffett pun mengirimkan peringatan yang bisa membuat merinding. “Investor obligasi di seluruh dunia, baik lembaga dana pensiun, asuransi, maupun pensiunan individual, menghadapi masa depan suram,” begitu Buffett, Chief Executive Berkshire Hathaway, perusahaan pengelola investasi, menulis dalam pesan tahunannya kepada pemegang saham.
Pasar makin panik ketika Jay Powell, Ketua The Federal Reserve, tak menunjukkan gelagat akan bertindak cepat agar harga obligasi tidak kolaps. Powell sebetulnya sudah menyampaikan garis kebijakan yang tak berubah: The Fed akan tetap bersabar, tak mengurangi suntikan likuiditas selama inflasi belum mencapai target. Bagi pasar, pernyataan itu tak cukup karena investor menafsirkan The Fed tak akan bertindak agresif saat harga obligasi rontok.
Jika pasar obligasi panik berkepanjangan, ada risiko besar bagi Indonesia. Saat ini pasar obligasi Indonesia memang masih terisolasi dari gejolak karena memberikan imbal hasil yang sangat besar kepada investor. Sebagai gambaran, imbal hasil obligasi pemerintah RI berjangka 10 tahun dalam rupiah pada akhir pekan ini mencapai 6,25 persen. Hal itu membuat investor asing masuk ke sini.
Ketika imbal hasil di negara-negara maju amat rendah, bahkan secara riil masih negatif, obligasi rupiah jelas merupakan pilihan menarik. Situasi ini tecermin pada besarnya kepemilikan investor asing terhadap surat berharga negara di pasar—per 4 Maret 2021 mencapai Rp 964 triliun dari total Rp 4.095 triliun.
Persoalannya, jika pasar obligasi sedunia terus tertekan kepanikan dan harga berguguran, kepemilikan asing dalam obligasi pemerintah yang begitu besar bisa menjadi sumber masalah. Jika investor mengikuti nasihat Buffett, cepat-cepat mereka akan melepas obligasi. Masalah serius dapat menimpa ekonomi Indonesia.
Kondisi serupa sebetulnya sempat terjadi setahun silam pada awal pandemi Covid-19. Investor asing sempat melepas obligasi pemerintah RI dalam jumlah besar. Kaburnya dana asing memicu rontoknya kurs rupiah hingga menyentuh 16.575 per dolar Amerika Serikat. Kepemilikan asing berkurang sekitar Rp 150 triliun hanya dalam tempo kurang dari sebulan. Sekali lagi, untung saat itu kepanikan pasar tidak berlangsung lama lantaran ada suntikan dari The Fed.
Setelah setahun, risiko ini sekarang muncul kembali. Ini pula yang membuat Indonesia kembali masuk radar analis dari Bank HSBC sebagai satu dari empat sekawan ekonomi berkembang yang paling rentan terpukul dampak buruk jika pasar global bergejolak panik, bersama Brasil, Meksiko, dan Afrika Selatan.
Sebetulnya tak ada yang salah dengan masuknya dana asing ke obligasi pemerintah RI. Dana tersebut juga menjadi solusi untuk mengatasi defisit neraca transaksi berjalan. Persoalannya, solusi ini langsung berubah menjadi sumber masalah ketika pasar berbalik arah.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo