Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Penelitian ilmuwan Belanda mengungkap bahwa komunikasi yang sukses melibatkan lebih dari sekedar berbicara. Sinyal non-verbal seperti menggunakan postur tubuh, ekspresi wajah, dan gerakan tangan punya dampak lebih dari sekadar hiasan atau pemanis.
Penelitian Hans Rutger Bosker dari Max Planck Institute for Psycholinguistics di Nijmegen, Belanda dan David Peeters dari Tilburg University menunjukkan bahwa jentikan tangan yang paling sederhana pun dapat mengubah suara ucapan yang terdengar.
Hasil penelitian ini dapat digunakan untuk mengatasi masalah komunikasi di masa pandemi, seperti saat masker menghalangi orang membaca bibir kita, partisi kaca membuat sulit untuk mendengar apa yang orang lain katakan, atau pertemuan melalui Zoom yang han
ORANG sering kali menggerakkan tangan ke atas dan ke bawah untuk menekankan apa yang mereka katakan. Apakah gerakan ketukan seperti itu penting dalam komunikasi? Peneliti Belanda Hans Rutger Bosker dari Max Planck Institute for Psycholinguistics di Nijmegen, Belanda, dan David Peeters dari Tilburg University di Tilburg, Belanda, menunjukkan bahwa gerakan ketukan yang dilihat oleh orang mempengaruhi apa yang mereka dengar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hasil penelitian Bosker dan Peeters itu dimuat dalam jurnal Proceedings of the Royal Society B: Biological Sciences edisi 27 Januari lalu dengan judul “Beat gestures influence which speech sounds you hear”. Menurut Mohammad Umar Muslim, pengajar Program Studi Indonesia Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, penelitian ilmuwan Belanda itu seperti mengkonfirmasi intuisi kita. “Kalau ada tekanan (pada kata tertentu), tangannya juga ikut," tutur Umar, Jumat, 19 Februari lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bosker mengatakan komunikasi yang sukses lebih dari sekadar berbicara. Dalam percakapan tatap muka, kita menggunakan postur tubuh, ekspresi wajah, dan gerakan tangan untuk menyampaikan pesan. Namun beberapa dari kita mungkin menganggap sinyal nonverbal ini sebagai sesuatu yang membuatnya sedikit lebih baik atau the icing on the cake (tambahan yang menarik tapi tidak penting). Pesan komunikatif utama dibawa oleh kata-kata yang diucapkan, sisanya dianggap sebagai hiasan.
Padahal, menurut Bosker, sinyal nonverbal berupa gerakan tangan punya dampak lebih dari sekadar hiasan atau pemanis. "Penelitian terbaru yang saya lakukan dengan David Peeters menunjukkan bahwa jentikan tangan yang paling sederhana pun dapat mengubah suara ucapan yang Anda dengar," ucapnya dalam laman psychologytoday.com, Rabu, 27 Januari lalu. Penelitian bersama David itu dilakukan dalam tiga tahap dan melibatkan 120 responden.
David Peeters./mpi.nl
Dalam studi tersebut, peserta diminta melihat video pembicara yang mengucapkan kalimat yang diakhiri dengan kata yang memberi tekanan pengucapan pada suku kata pertama, sehingga terbaca seperti "OBject", atau suku kata kedua yang terdengar seperti "obJECT". Terkadang pembicara mengeluarkan isyarat ketukan pada suku kata pertama dan terkadang pada suku kata kedua. Tugas responden adalah menunjukkan kata apa yang mereka dengar, "OBject" atau "ObJECT"?
Menurut Bosker, hasil penelitian menunjukkan bahwa partisipan lebih cenderung merasakan tekanan pada suku kata yang disertai gerakan ketukan. Artinya, jika pembicara mengeluarkan isyarat ketukan pada suku kata pertama, peserta lebih cenderung mendengar kata "OBject", bukan "obJECT". Menariknya, menurut dia, efek ini bahkan ditemukan ketika suara tak cocok dengan video. Bahkan, saat pembicara dengan jelas mengatakan "obJECT", peserta masih mungkin untuk mendengar kata "OBject" jika gerakan ketukan jatuh pada suku kata pertama.
Dalam penelitian itu, ada video pembicara yang juga mengucapkan kata "PLAto", dengan penekanan pada suku kata pertama, yang merujuk pada filsuf dari Yunani kuno. Juga, kata "plaTO", diucapkan dengan penekanan pada suku kata kedua, yang mengacu pada dataran tinggi (plateau). Hasilnya, Bosker menambahkan, pendengar lebih cenderung mendengar tekanan pada suku kata jika ada isyarat ketukan pada suku kata tersebut. "Pendengar tidak hanya mendengarkan dengan telinga mereka, tapi juga dengan mata mereka," ujar dia.
Peneliti juga menguji pertanyaan, dapatkah ketukan tangan mengubah cara orang mendengar suara ujaran tunggal? Peneliti menggunakan perbedaan vokal dalam bahasa Belanda antara "a" pendek dan “aa” panjang. Peserta diminta menunjukkan apa yang mereka dengar: "bagpif" atau "baagpif". Hasil penelitian menunjukkan bahwa, ketika pembicara mengeluarkan isyarat ketukan pada suku kata pertama, peserta mendengar "bagpif". Tapi suara yang sama dikombinasikan dengan gerakan ketukan pada suku kata kedua membuat peserta mendengar "baagpif". Karena itu, menurut Bosker, gerakan ketukan bahkan dapat mempengaruhi vokal yang Anda dengar.
Umar menjelaskan ada pola antara yang seseorang katakan dan gerakan tangan yang dilakukannya. Menurut dia, kalaupun misalnya orang berbicara tapi suaranya tidak terdengar, lewat gerak tangannya kita bisa tahu orang itu kira-kira mengatakan apa. “Kata-katanya tidak terdengar pun kita bisa menebak karena ada penekanan di situ. Itu bukan masalah makna, melainkan pola bunyi," ucapnya.
Gerak tangan seperti yang banyak dilakukan oleh pembicara seminar atau orang yang berpidato tentu berbeda dengan bahasa isyarat untuk kaum difabel. Bahasa isyarat memiliki medium yang berbeda dengan bahasa lisan. "Sementara bahasa lisan mediumnya bunyi, bahasa isyarat itu gerak tangan. Sifatnya lebih ikonis. Kalau mau mengatakan rumah, gerak tangannya menyerupai bentuk rumah," kata Umar. Ia menegaskan, gerakan tangan itu memperkuat arti kata yang diucapkan.
Penelitian Max Planck Institute for Psycholinguistics dan Tilburg University ini, menurut Umar, menegaskan bahwa bukan hanya ujaran bunyi yang penting dalam komunikasi. Ada hal lain yang perlu dipertimbangkan. "Cara manusia berkomunikasi memang seperti itu (dengan ikut menggerakkan tangan atau badan). Kalau orang berkomunikasi tapi tangannya tak bergerak alias diam saja, ini sama dengan robot, bukan seperti manusia," tuturnya.
Umar mengatakan hasil penelitian ini, dalam penerapannya terhadap teknologi, bisa dipakai untuk memperbaiki aspek komunikasi robot. Misalnya, kalau sudah membuat robot berbicara, selanjutnya yang perlu dikembangkan adalah menambahkan aspek geraknya. "Dengan begitu robotnya akan lebih manusiawi," tutur Umar.
Hans Rutge Bosker./mli.nl
Peneliti sosiologi pendidikan di Pusat Penelitian Kependudukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Anggi Afriansyah, mengatakan penelitian ini menegaskan bahwa gerak tangan dan badan bisa memperkuat makna pesan yang disampaikan. Seharusnya, menurut Anggi, hal ini juga bisa diterapkan oleh guru yang mengajar murid dari jarak jauh pada masa pandemi. "Penelitian ini bisa membantu mengefektifkan komunikasi di tengah keterbatasan komunikasi melalui layar saat pembelajaran jarak jauh," ucap Anggi, Selasa, 16 Februari lalu.
Berkaca dari hasil penelitian tersebut, Bosker menambahkan, ia dan David akan menindaklanjuti dengan menggunakan realitas virtual untuk menguji seberapa spesifik efek ini. Pertanyaan selanjutnya adalah apakah prinsip tersebut disebabkan oleh gerakan ketukan saja atau juga jenis isyarat komunikatif lain, seperti anggukan kepala dan gerakan alis.
Bosker menambahkan, hasil penelitian ini sangat penting ketika kata-kata yang Anda ucapkan sulit untuk didengar, misalnya dalam kerumunan besar dan kondisi sekitar yang bising. Termasuk pada masa pandemi sekarang saat masker menghalangi orang membaca bibir kita, partisi kaca membuat sulit untuk mendengar apa yang orang lain katakan, atau pertemuan melalui Zoom yang hanya memperlihatkan bagian dari wajah kita. "Penggunaan gerakan tangan yang sederhana tapi menonjol sangat membantu komunikasi," ujarnya.
ABDUL MANAN (MAX PLANCK INSTITUTE, PROCEEDINGS OF ROYAL SOCIETY B: BIOLOGICAL SCIENCES, PSYCHOLOGYTODAY.COM)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo