Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI tengah arus simpati Indonesia terhadap Palestina, Kiai Haji Yahya Cholil Staquf tampil sebagai pembicara dalam pertemuan tokoh Yahudi sedunia yang diadakan American Jewish Committee di Yerusalem, Israel, 10 Juni lalu. Kehadiran Katib Am Pengurus Besar Nahdlatul Ulama itu makin jadi polemik lantaran jabatan barunya sebagai anggota Dewan Pertimbangan Presiden.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Yahya, 52 tahun, dituding membela Israel dan melanggar komitmen Indonesia, yang sejak masa Presiden Sukarno mendukung Palestina. Presiden Joko Widodo, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi, dan Ketua Umum PBNU Said Aqil Siroj buru-buru menyatakan kunjungan itu tidak mewakili negara ataupun organisasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kepada wartawan Tempo Sunudyantoro, Reza Maulana, Dini Pramita, dan Diko Oktara, Yahya mengatakan lawatan itu bertujuan menawarkan pintu masuk alternatif dalam resolusi konflik Israel-Palestina, yaitu agama. "Selama ini hanya politik dan militer. Semua gagal," ujarnya di kantor PBNU di Jalan Kramat Raya, Jakarta Pusat, Sabtu dua pekan lalu.
Perdamaian Israel dengan Palestina menjadi mimpi Yahya sejak 2011. Dia diminta melanjutkan cita-cita Abdurrahman Wahid alias Gus Dur (almarhum) mengupayakan hal tersebut lewat berbagai dialog, termasuk dalam forum American Jewish Committee, 16 tahun silam. "Upaya ini memang belum jelas hasilnya, tapi seseorang harus memulainya," kata cucu Kiai Haji Bisri Mustofa, ulama dan pejuang asal Rembang, Jawa Tengah, itu.
Duduk bersila di sofa ruang kerjanya, Yahya meladeni wawancara sampai dua setengah jam. Ditemani kopi hitam dan empat bungkus rokok, tanya-jawab diselipi guyon di sana-sini, seperti tulisan-tulisannya di situs komunitas humor santri, Terong Gosong, yang diasuhnya.
Apa latar belakang yang membuat Anda berbicara dalam forum global Yahudi di Yerusalem?
Ini bagian dari pekerjaan panjang. Gus Dur, terutama setelah lengser dari jabatan presiden, menghabiskan sebagian besar energinya untuk mencari solusi konflik antaragama. Di mana-mana agama menjadi justifikasi, dorongan, dan senjata untuk konflik. Fokus utama Gus Dur adalah Israel-Palestina, karena itu jumbleng (kakus)-nya. Cecerannya banyak, seperti di Irak dan Suriah. Kita kebagian bau-baunya saja. Pada 2009, saat kesehatan Gus Dur sudah sangat lemah, paman saya, Kiai Mustofa Bisri-biasa dipanggil Gus Mus-meneruskan sebisanya. Tidak tahu apakah itu permintaan Gus Dur atau inisiatif Gus Mus. Pada 2011, saya diajak Gus Mus ke pertemuan dengan Parlemen Uni Eropa di Brussels, kemudian ke Washington. Habis itu saya disuruh nerusin oleh Gus Mus, begitu saja.
Apa hal pertama yang Anda lakukan?
Kunci kampanye ini ada di Gus Dur. Begitu Gus Dur meninggal, macet semua. Saya mulai dari nol, berkenalan satu per satu dengan teman-teman Gus Dur di Eropa dan Amerika Serikat. Misalnya lembaga pemikiran The Heritage Foundation di Washington dan Policy Exchange di London.
Termasuk American Jewish Committee?
Ya. American Jewish Committee (AJC) ini berlingkup internasional, berdiri sejak 1918 dan tiap tahun mengadakan pertemuan Yahudi sedunia. Gus Dur berpidato di forum itu di Washington pada 2002. Mereka mengundang saya Maret lalu.
Anda langsung mengiyakan?
Saya enggak berani langsung jawab. Sebagai orang Nahdlatul Ulama, saya berkonsultasi dulu kepada kiai-kiai saya, antara lain Gus Mus. Mereka membolehkan.
Apa pesan Gus Mus?
Saya boleh datang ke sana, tapi enggak boleh kayak sekadar orang-orang diundang ke pengajian, ha-ha-ha. Maksudnya, mubalig kita sering diundang ke luar negeri, tapi cuma ikut pengajian terus pulang. Gus Mus minta kedatangan itu mempunyai dampak berkelanjutan.
Juga minta restu ke Ketua Umum Pengurus Besar NU Said Aqil Siroj?
Pokoknya sejumlah kiai, lah.
Adakah kiai yang menolak?
Enggak. Ini kan kiai-kiai yang tahu betul saya dan pekerjaan saya selama ini.
Minta masukan dari pihak lain?
Saya hubungi teman-teman saya, termasuk yang di Israel. Mereka bilang undangan itu kesempatan bagus karena AJC merupakan lembaga besar dan pasti mendapat perhatian luas. Pertimbangan lain adalah pembicaraan Israel-Palestina sudah macet bertahun-tahun. Mungkin kita bisa memberikan sesuatu untuk mendorong perundingan. Teman-teman menyarankan perpanjangan dari tiga hari jadi seminggu sehingga saya bisa berbicara di pertemuan lain, seperti di Truman Institute dan Israel Council on Foreign Relations. Saya juga bertemu dengan tokoh seperti Mohammed Dajani Daoudi, pemikir Palestina yang mengembangkan framework keagamaan dan politik untuk perdamaian, dan gerakan perdamaian Mothers for Peace. Selama seminggu, saya ajak tiga teman, yaitu Ahmad Nadhif dan Aunullah A'la Habib dari Gerakan Pemuda Ansor, serta Charles Holland Taylor, warga Amerika Serikat yang banyak menjembatani Gus Dur dengan organisasi Yahudi.
Sebagai anggota Dewan Pertimbangan Presiden, Anda minta izin ke Presiden Joko Widodo?
Saya ndak punya akses ke Pak Presiden. Saya berharap bisa bertemu dengan Presiden sejak sebelum berangkat, tapi belum sempat bertemu sampai sekarang.
Kunjungan ke Yerusalem menjadi kontradiktif, terlebih dengan posisi Anda di Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres). Ada pembelaan?
Pertama, saya sudah menginformasikan rencana kepergian ke Israel sejak jauh hari. AJC sudah bikin international release pada 14 Mei. Saat itu saya belum tahu mau diangkat jadi Wantimpres. Saya baru dilantik pada 31 Mei. Saat dihubungi Istana untuk pelantikan, saya sampaikan akan ke Israel. Asumsi saya, hal ini sudah menjadi pertimbangan dan mereka tidak berkeberatan.
Ada pihak lain yang berkeberatan?
Dua hari sebelum saya berangkat, Duta Besar Palestina Zuhair al-Shun datang ke ruangan ini. Dia marah-marah, bilang percuma berbicara dengan Israel, upaya saya tidak mungkin berhasil, dan seterusnya. Dia juga bilang akan menyampaikan keberatan ini ke Presiden.
Tanggapan Anda?
Saya bilang, silakan. Saya datang atas nama pribadi. Bukan NU, bukan pemerintah. Itu clear. Saya sampaikan ke Duta Besar bahwa niat saya baik. (Konselor Kedutaan Besar Palestina untuk Indonesia Taher Hamad membenarkan adanya pertemuan Duta Besar Al-Shun dengan Yahya pada 8 Juni lalu. Palestina menyarankan Yahya membatalkan rencana kunjungan. "Sayangnya, dia tetap pergi," kata Hamad kepada Tempo, pekan lalu. Namun, dia melanjutkan, Al-Shun tidak marah. "Kita tahu orang Arab kerap bicara dengan nada tinggi. Tidak seperti orang Indonesia, yang selalu lemah lembut.")
Mengapa Anda merasa harus memenuhi undangan itu?
Bagaimana saya bisa batalkan? Pertama, ini melibatkan kesepakatan dengan banyak pihak. Bukan sekadar saya datang, lalu pulang. Lalu, semua ini terkait dengan pekerjaan saya bertahun-tahun. Seperti pesan saya ke Bu Menteri Luar Negeri, saya akan tetap berangkat karena menyangkut kredibilitas pekerjaan saya bertahun-tahun. Saya menjaga posisi datang atas nama pribadi sehingga pemerintah bisa dengan mudah mengingkari hubungan apa pun dengan kedatangan saya. Sejak awal saya paham betul ini berisiko.
Apa yang mendasari konsep rahmah yang Anda sodorkan dalam pertemuan di Yerusalem?
Selama ini semua upaya perdamaian Israel-Palestina hanya melibatkan elemen politik dan militer. Semua gagal. Saat berpidato di pertemuan AJC pada 2002, Gus Dur melontarkan gagasan pentingnya menambahkan elemen moralitas agama. Artinya harus ada keterlibatan pemimpin-pemimpin agama. Saya bawa gagasan itu dan mengajukan konsep rahmah. Allah berfirman, "Aku tidak mengutusmu untuk tujuan apa pun selain sebagai rahmat bagi semesta alam." Jangan tanya surat apa, ayat berapa. Enggak hafal saya, ha-ha-ha.
Sepadan dengan welas asih?
Ya, walaupun tidak persis seperti itu. Rahmah itu welas asih dengan kemauan untuk memberi dan menolong. Ketika pihak yang bersengketa menuntut keadilan, masing-masing mengajukan kerugian dan meminta pihak lain menggantinya. Kalau keduanya tidak mau ngasih, tidak terwujud perdamaian. Maka, perlu rahmah, yang tidak butuh prakondisi. Kita bisa memilih rahmah dalam keadaan sakit hati. Kita bisa memilih rahmah dalam keadaan kuat dan berkuasa. Kita butuh itu sebagai titik awal dan framework mental untuk masuk ke perundingan Israel dan Palestina. Audiens menerima dengan sangat terbuka. Sebagian menangis. Di situ saya merasa orang-orang Yahudi ternyata stres juga dengan keadaan selama ini.
Kritik menjadi sangat keras karena Anda tidak menyebutkan soal Palestina di Forum Global AJC. Tanggapan Anda?
Saya sebenarnya dijadwalkan berpidato. Teman-teman di Israel, di luar AJC, meminta saya menegaskan posisi saya yang berpihak ke Palestina dalam pidato itu sehingga kedatangan saya menjadi benih rekonsiliasi. Saya juga diminta memasukkan pesan-pesan dalam bahasa Arab sehingga bisa ditangkap masyarakat Arab. Saya sudah susun teks untuk pidato sekitar 20 menit. Saya sebutkan datang bukan atas nama Nahdlatul Ulama dan Indonesia, tapi sebagai bentuk keprihatinan pribadi atas nasib 6 juta rakyat Palestina, baik yang tinggal di Tepi Barat, Gaza, maupun Israel. Kesengsaraan mereka juga menjadi kegelisahan seluruh kawasan Timur Tengah, dunia Islam, dan kemanusiaan. Begitu saya serahkan teks pidatonya, beberapa hari sebelum berangkat, mereka ribut.
Poin apa yang diributkan?
Pertama, saya menyebut orang Palestina di dalam Israel. Ini dianggap upaya memecah-belah warga Israel. Kedua, saya menyebut 6 juta rakyat Palestina. Ini dianggap menyamakan dengan 6 juta korban Holocaust. Mereka minta revisi, saya tidak mau. Panitia lalu mengganti pidato dengan talk show. Pewawancaranya Rabi David Rosen, yang kenal dengan Gus Dur sejak 1990-an.
Anda merasa penyampaian pesan jadi terbatas?
Jelas. Saya sulit menghindari pertanyaan-pertanyaan Rosen. Saat dia tanya tentang Gus Dur, saya harus jelaskan hubungan saya, supaya ada leverage. Orang sana kan tahunya Gus Dur. Menjelang akhir, saya paksakan ngomong soal rahmah tanpa menunggu ditanya.
Mengapa tidak menyampaikan soal keberpihakan?
Pikiran saya waktu itu, saya masih ada pembicaraan di forum-forum lain. Selain itu, selama di sana, saya tiap hari diwawancarai media, baik Yahudi maupun Arab. Hal pertama yang saya sampaikan selalu soal penegasan keberpihakan kepada Palestina.
Bukankah pesan itu menjadi lebih kuat kalau disampaikan di Forum Global AJC?
Kalau orang punya persepsi seperti itu, tidak ada masalah. Yang penting, saya berhasil membangun hubungan yang langsung dan kuat dengan berbagai pihak yang terlibat dalam upaya perdamaian. Soal persepsi, sudah terlalu mapan persepsi bahwa Indonesia adalah kawan Palestina. Enggak usah diomongin semua orang sudah ngerti. Enggak ada untungnya orang Indonesia bela Israel, sehingga, walaupun saya tidak ngomong soal itu di AJC, orang-orang Tepi Barat dan Gaza yang saya temui di sana memahami bahwa upaya ini untuk kepentingan mereka juga. Yang kita butuhkan sekarang adalah engagement dari pihak seberang. Kalau hanya berdialog dengan Palestina, istilahnya cuma bantu teriak-teriak.
Anda juga akan menemui pihak Palestina?
Pasti. Saya dan teman-teman sedang berusaha menindaklanjuti pertemuan ini. Rahmah harus diamplifikasi supaya tidak menguap.
Mungkinkah konsep rahmah diterima gerakan garis keras, baik dari Palestina maupun Israel?
Saya tidak bisa ngomong politik. Level agama dulu. Agama harus berfungsi untuk kedamaian, jangan cuma dijadikan penyebab konflik.
Narasi yang berkembang belakangan menyebutkan konflik Israel-Palestina adalah konflik teritorial, bukan agama.
Ya. Tapi mindset banyak orang tetap soal agama. Kenapa orang Yahudi ngotot mau tinggal di situ? Karena alasan agama. Kenapa kita di sini ribut, saya dituduh munafik, kafir, dan sebagainya? Karena ada alasan agama.
Apa yang Anda sampaikan kepada Perdana Menteri Benjamin Netanyahu?
Itu pertemuan dadakan. Saya bicara di AJC pada Minggu malam, 10 Juni, Senin siang diminta bertemu dengan Perdana Menteri pada Kamis, 14 Juni. Kami bertemu selama 30 menit. Sebagian besar waktu Netanyahu habiskan untuk presentasi upaya normalisasi hubungan Israel dan Indonesia. Saya bilang saya enggak tahu posisi pemerintah Indonesia. Menurut saya, masalah Indonesia dan Israel tidak bisa lepas dari soal Palestina.
Apa respons Netanyahu saat Anda menyinggung Palestina?
Kelihatan sih perubahan mimiknya. Dia begini (dahi Yahya mengernyit dan kepalanya bergerak ke belakang) dan diam. Tapi cuma sedetik-dua detik. Saya sampaikan, kami berlatar belakang organisasi Islam yang berupaya membangun pola pikir agama untuk mendorong perdamaian. Kesan yang saya tangkap, dia mengharapkan sesuatu yang lain.
Hal apa yang paling berkesan dalam pertemuan itu?
Netanyahu mengajak sepuluh pejabatnya. Pak Holland bilang penyambutan ini seperti pertemuan antar-kepala negara. Ya, kan, saya juga presiden, presiden Terong Gosong, ha-ha-ha. Lalu kami berfoto dengan latar belakang dua bendera Israel. Seharusnya satu bendera tuan rumah, satu negara tamu. Saya menyesal tidak membawa bendera Terong Gosong.
Bagaimana dengan Presiden Reuven Rivlin?
Saya sampaikan, kita harus melakukan sesuatu untuk menggeser konflik menjadi kerja sama, sama seperti presentasi saya di Israel Council on Foreign Relations. Lalu saya dikasih hadiah Al-Quran dalam bahasa Ibrani yang diterjemahkan ayah Rivlin. Tidak ada huruf Arab-nya. Saya bingung mana atas, mana bawah, ha-ha-ha.
Pertemuan dengan Wakil Presiden Amerika Serikat Mike Pence juga bagian dari resolusi konflik Israel dan Palestina?
Itu juga dadakan. Saat hendak terbang ke Washington dan transit di San Francisco, 16 Mei lalu, saya ditahan petugas bandara sampai ketinggalan pesawat. Saat menunggu, saya dapat pesan dari Gedung Putih yang mengatakan Wakil Presiden ingin bertemu.
Membicarakan apa saja?
Anak perempuan Pence masih suka ngomongin kunjungan mereka ke Masjid Istiqlal, April lalu. Pence mengatakan Amerika Serikat menghargai peran Nahdlatul Ulama dalam mengembangkan toleransi, Islam yang damai, dan seterusnya. Saya menanggapi bahwa kita hidup di tempat semua pengikut agama bertetangga. Kalau tidak mampu membangun harmoni, kita menghadapi potensi konflik yang berbahaya. Pertemuannya tidak lama. Cuma 20 menitan.
Ada yang menyebut NU mendapat kucuran dana Israel setelah kunjungan Anda….
Dari dulu biasa disebut begitu. Terserah orang yang mendiskreditkan ngomong apa.
Secara materi, apa yang Anda dapatkan dari kunjungan ke Israel?
Selain Al-Quran berbahasa Ibrani, saya mendapat menorah-tongkat lilin bercabang dalam peribadatan Yahudi. Ada juga buku dan ID card pertemuan AJC, ha-ha-ha.
Derasnya kritik membuat Anda sakit hati?
Kebanyakan kritik tertulis, termasuk di media sosial. Kalau tidak saya baca kan tidak ada masalah. Saya cuma sekali marah, waktu seorang kawan mempertanyakan keuntungan kunjungan saya bagi NU dan Indonesia. Kok, masih memikirkan keuntungan sendiri di saat orang-orang di sana terus meninggal karena konflik? Upaya ini memang belum jelas hasilnya, tapi seseorang harus memulainya. \
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo