Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

Yusuf Qardhawi: ”Islam Tidak Membenarkan Kekerasan”

15 Januari 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RUANG pertemuan di lantai lima kantor Pengurus Besar (PB) Nahdlatul Ulama, Kamis pekan lalu itu, mendadak bergetar oleh aplaus meriah. Hadirin seperti mengamini pernyataan yang dilontarkan Kiai Haji Maghfur Usman, Rois Syuriah PBNU. ”Seandainya Syaikh lahir di Indonesia, pasti beliau akan menjadi jemaah NU. Beliau juga berpotensi besar menjadi rois aam (ketua Rois Syuriah—Red.),” katanya disambut keplok. KH Hasyim Muzadi, ketua umum saat ini, pun tertawa lepas mendengar kata-kata itu.

Syaikh yang disebut Maghfur adalah Yusuf Qardhawi, figur istimewa dalam dunia Islam modern. Ia memiliki dua kompetensi yang saling menunjang: kedalaman pemikiran sebagai faqih (ahli hukum agama Islam), dan ketegasan bersikap yang dipetiknya sejak aktif di Ikhwanul Muslimun.

Qardhawi menulis lebih dari 120 buku—separuhnya sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. ”Penyakit yang banyak menghinggapi para aktivis adalah sikap ekstrem (thatarruf) yang terlalu mudah mengkafirkan orang,” katanya berkali-kali.

Lahir di sebuah desa kecil 150 kilometer dari Kairo, 81 tahun silam, Qardhawi sudah mendulang pujian para gurunya sejak kanak-kanak. Belum lagi usianya genap 10 tahun, Qardhawi sudah hafal seluruh isi Al-Quran. Bocah Qardhawi juga sudah mulai terbius pandangan Hasan al-Banna ketika untuk pertama kalinya mendengar khotbah pendiri Ikhwanul Muslimun itu saat duduk di ibtida-iyah (setingkat SD—Red.).

Kala itu Al-Banna menggambarkan betapa compang-campingnya kondisi umat Islam akibat perpecahan. Sebabnya, begitu banyak kepentingan yang membelit dunia Islam. Untuk mengatasinya, kata Banna, dibutuhkan sebuah persatuan. Pokok pikiran ini menghunjam dalam di benak Qardhawi kecil.

Lulus dari Universitas Al-Azhar, Qar-dhawi merintis jalan sebagai ulama berpengaruh. Posisinya kerap disandingkan, dan dibandingkan, dengan Muhammad al-Ghazali. Sementara Al-Ghazali dianggap mewakili kaum pembaharu, Qardhawi dianggap mewakili kaum tradisionalis. Namun keduanya mampu berdialog dengan empatetik, sehingga seorang ulama besar lainnya, Thariq al-Busyra, menyebut keduanya sebagai ”dua buah lautan yang bertemu di sebuah muara (Multaqa al-Bahrain)”.

Belakangan, di bidang fikih, Qardhawi dikenal dengan sikap moderatnya yang menjembatani antarmazhab. Menurut dia, jika umat Islam memi-lih berpegang pada mazhab tertentu—entah Syafi’iyah, Hanafiyah, Hambaliyah, atau Malikiyah—maka sebaiknya mempelajari langsung dari buku induk yang ditulis para pendiri mazhab. ”Ini akan menghasilkan toleransi yang makin besar antarpengikut mazhab. Tetapi jika semakin jauh dari sumber-sumber asli, semakin besar kemungkinan timbulnya fanatisme buta yang mementingkan kelompok sendiri dan mengabaikan hujjah (alasan),” ujarnya satu ketika.

Qardhawi juga menekankan perlunya fikih keseimbangan (fiqh al-Muwazanah). Menurut dia, di zaman kita hidup sekarang ini sangat sulit mencari sesuatu yang halal seratus persen, atau haram seratus persen. Karena itu, bagi Qardhawi, boleh saja sebuah kemudaratan kecil dilakukan untuk mendapatkan kemaslahatan lebih besar.

Sikap moderat dan toleransinya yang besar dibuktikan lewat caranya mendidik keluarga. Dua dari tujuh anaknya meraih gelar doktor nuklir dan doktor kimia dari Inggris. Bagi Qardhawi, ilmu dan agama adalah dua hal yang bisa berjalan bersama.

Pekan lalu, Qardhawi yang kini tinggal di Doha, Qatar, untuk keenam kalinya mengunjungi Indonesia atas undangan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Selesai pertemuan tertutup di kantor PBNU, Kramat Raya, Kamis silam, ia dijamu makan siang oleh Menteri Agama Maftuh Basyuni di Restoran Rindu Alam, Puncak, Jawa Barat.

Awalnya Qardhawi menolak wawancara khusus dengan majalah ini karena butuh waktu untuk istirahat. Namun, berkat bujukan Duta Besar Indonesia untuk Qatar, Abdul Wahid Maktub, Qardhawi akhirnya bersedia menerima wartawan Tempo Akmal Nasery Basral, Istiqomatul Hayati, Adek Media Roza, dan fotografer Wahyu Setiawan, seraya menunggu jamuan makan siang.

Wawancara berlangsung dalam bahasa Arab dengan bantuan seorang penerjemah. Qardhawi selalu menyebut dirinya sendiri dengan kata ganti ”kami”, bukan ”saya”. Meski wajahnya terlihat letih, kualitas seorang orator pada dirinya tak mengendap sedikit pun.

Apa makna undangan Presiden Yudhoyono bagi Anda?

Kami senang berjumpa dengan Bapak Presiden. Ketika beliau berkunjung ke Doha beberapa bulan lalu, beliau menyampaikan keinginannya bertemu dengan kami. Dalam pertemuan itu beliau katakan tidak bagus jika seorang pemimpin tidak bersedia mende-ngarkan kata-kata ulama. Ini adab yang baik. Kami mengerti apa yang beliau maksudkan. Presiden lalu mengundang kami datang ke Indonesia kapan saja kami punya waktu luang. Kami sangat menghormati niat Presiden, karena itu kami datang ke sini untuk mempererat silaturahmi. Ini merupakan kunjungan keenam. (Dalam penjelasannya di kantor PBNU, Qardhawi mengatakan ia berkunjung pertama kali ke Indonesia pada 1976. Sebelum itu, dia sudah mengenal Dr Idham Chalid [alm] yang pernah memberikan ceramah di Universitas Al-Azhar Kairo, dan mengagumi Presiden Soekarno yang disebutnya menerima lebih dari 20 gelar doktor kehormatan, tapi ”Soekarno selalu membanggakan gelar yang diperolehnya dari Al-Azhar.”)

Apa yang Anda bicarakan ketika bertemu Presiden?

Kami berbicara panjang-lebar mengenai Indonesia dan masalah yang sedang dihadapi bangsa ini. Bagaimana mengatasi problematika itu dan membangkitkan Indonesia—sebuah masyarakat yang terdiri dari banyak agama dan suku bangsa. Bagaimana pula Islam bisa digunakan sebagai dinamo untuk memajukan bangsa.

Apa saja problem khusus yang disebutkan Presiden, dan apa saran Anda?

Presiden mengatakan masalah pe-ngangguran, buta huruf, kepemudaan, perumahan, kemiskinan, dan berbagai penyakit seperti yang biasa dihadapi dunia ketiga. Kami mendiskusikan bagaimana meminimalisasi pengangguran, mengatasi berbagai penyakit, sambil terus berupaya mewujudkan sebuah masyarakat yang maju dan makmur bagi Indonesia. Dengan demikian, masyarakat mudah mendapat kebutuhan pokok, pengobatan, dan tempat tinggal.

Caranya?

Jika melihat kondisi negeri ini, Indonesia pasti mampu. Indonesia memiliki semua syarat yang diperlukan untuk menjadi negara yang kuat. Ada sekitar seperempat miliar penduduk, punya potensi material dan ekonomi, minyak, tanah yang subur, air berlimpah, hutan lebat, ikan berbagai jenis, dan lain-lain. Indonesia memiliki semuanya.

Bagaimana Islam bisa berperan?

Dengan semangat dan kekayaan jiwa, dengan jumlah agama yang dimiliki, khususnya Islam sebagai agama mayoritas, ini semua dapat menggerakkan Indonesia. Islam memberikan insentif spiritual yang dibutuhkan untuk mengimbangi pembangunan material. Kami yakin (Indonesia sebagai negara yang kuat) itu bisa tercapai.

Apa reaksi Presiden?

Beliau sangat memahami apa yang kami katakan karena sama optimistisnya dalam memandang masa depan. Terakhir kami datang pada 1998. Setiap kali kami datang, kami lihat Indonesia selalu berubah ke arah lebih baik.

Anda menyarankan Indonesia lebih berperan aktif dalam konflik Irak pasca-kematian Saddam Hussein. Mengapa?

Indonesia adalah negara muslim terbesar, negara yang dapat diterima di seluruh dunia dan umat Islam seluruhnya. Indonesia juga tidak punya masalah dengan kelompok Islam mana pun. Konflik di Irak yang kian memprihatinkan memaksa kami berbicara apa yang terjadi di Irak. Di sana muncul fitnah antargolongan. Apinya akan membakar rumput yang kering dan yang masih hijau. Jika kita biarkan, apinya akan berkobar tanpa bisa dipadamkan. Keadaan makin tak terkendali. Kami mengatakan kaum muslimin wajib mematikan api itu dan berdialog dengan semua pihak. Kami melihat Indonesia punya kesempatan menjalankan peran penting ini. Kami mengharapkan Bapak Presiden punya waktu untuk berpartisipasi menyelesaikan masalah ini secara nyata, dan memainkan peran yang kita harapkan. Alhamdulillah, beliau menyatakan kesiapannya.

Posisi politik Anda selama ini dikenal moderat, tapi mengapa sekarang bersikap keras terhadap Iran?

Iran mempunyai bobot, peran penting, dan kunci-kunci untuk mempengaruhi orang-orang Syiah di Irak. (Perdana Menteri Irak, Nouri al-Maliki, berasal dari Partai Dawa yang beraliran Syiah, dan kini menjadi mayoritas di parlemen—Red.) Mereka memiliki tentara, dominasi politik, dan determinasi yang sangat tinggi di Irak. Bahkan mereka juga membentuk tim-tim berani mati. Indonesia harus bekerja sama dengan Iran untuk mencari jalan keluar. Tanpa kemauan Iran untuk sungguh-sungguh memperbaiki keadaan, sulit membayangkan keadaan akan membaik di Irak.

Selama lima tahun terakhir, semakin sering terjadi pengeboman di Indonesia. Muslim menjadi tertuduh, bahkan dijuluki sebagai teroris. Komentar Anda?

Itu merupakan tuduhan yang tidak benar sama sekali, seakan-akan kekerasan identik dengan Islam. Setiap agama apa pun memiliki pengikut yang melakukan kekerasan, termasuk di Amerika Serikat, Inggris, Israel, India, atau Jepang. Kenapa hanya umat Islam yang dituduh melakukan teror? Dalam pertemuan dengan Presiden Yudhoyono, beliau katakan munculnya kekerasan (dari umat Islam) sebenarnya reaksi akibat kezaliman yang dilakukan negara Barat, zionis, yang terus bertumpuk.

Artinya, kekerasan sebagai pilihan reaksi bisa ditoleransi?

Tidak. Islam tidak membenarkan kekerasan, apalagi melakukan pembunuhan terhadap orang-orang yang tidak bersalah. Kekerasan bisa ditoleransi dalam rangka membela negara dan mengusir penjajah. Amerika Serikat dan orang-orang zionis menganggap orang Islam yang membela negara sebagai teroris. Contoh yang paling jelas adalah di Irak. Orang Irak yang menolak penjajah di negaranya, menolak pendudukan tentara Amerika, dianggap teroris. Lalu, Hamas di Palestina dan Hizbullah di Libanon, yang mempertahankan negerinya, juga dianggap teroris. Padahal membela negara adalah wajib hukumnya dalam Islam. Kami menolak tuduh-an zalim seperti itu. Kami berdamai dengan orang yang suka damai, namun kami akan terus memerangi orang yang memerangi kami.

Prof Dr Syaikh Yusuf Al-Qardhawi

Lahir: Shaft Turab, Mesir, 9 September 1926

Buku-buku terpenting:

Bidang Fikih:

  • Halal dan Haram Menurut Islam
  • Fiqh Zakat

Bidang Pergerakan Islam (harakah Islamiyah):

  • Al-Shahwah al-Islamiyah Baina al-Juhud wa al-Thatharuf
  • Al-Shahwah al-Islamiyah Baina al-Ikhtilaf al-Masyru wa al-Tafarruq al-Madzmum
  • Al-Shahwah al-Islamiyah wa Humum al-Wathan
  • Aulawiyyat al-Harakah al-Islamiyah fi al-Marhalah al-Qadimah

Empat buku di atas adalah ”tetralogi” yang berisi panduan etik bagi aktivitas harakah, misalnya: memprioritaskan sikap moderat (wasthiyah), menghindari sikap ekstrem (tatharruf), menghindari sikap terlalu mudah mengkafirkan orang (takfir), dan membuka pintu dialog dengan sebanyak mungkin kalangan, termasuk penganut ateisme.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus